Part 28 - Aku Hanya Penasaran

1.1K 80 2
                                    

"Bagaimana tidurnya semalam?" Tanya Shaka untuk mengalihkan pikirannya dari Ratih. "Apa kamu bermimpi buruk?" Tanya Shaka ingin tahu. Shanaya menggelengkan kepala, namun karena tahu ayahnya tidak bisa melihat, dia kemudian menjawabnya dengan suara. "Kalau begitu, mimpi apa semalam?"

"Gak mimpi apa-apa." Jawab Shanaya dengan polosnya. "Sekarang Naya gak takut lagi sama hujan. Gak takut lagi sama petir." Ucap gadis kecil itu dengan nada percaya diri dan hal itu membuatnya menyunggingkan senyum.

"Hari ini, kamu mau kemana?" Tanya ayahnya ingin tahu.

"Gak kemana-mana." Jawab Shanaya santai. "Disini kan gak ada tempat bermain." Lanjutnya menikmati rotinya.

Shaka membenarkan dalam hati. Ini desa, tentu saja tidak ada apa-apa disini. Sekalipun ada, hanya permainan alam yang mungkin bisa Shanaya lakukan. Tapi kemana, dimana dan permainan apa yang bisa Shaka tawarkan sementara dirinya sendiri memiliki keterbatasan gerak saat ini.

Apa Ratih bisa mengajak anaknya pergi bermain? Tapi daerah ini juga bukan tempat dimana gadis itu lahir dan tumbuh kan? Jadi tentunya dia juga tidak akan tahu akan membawa Shanaya pergi kemana. Tapi sekalipun Ratih berani bereksplorasi, apakah Shaka akan mengijinkan? Tentu tidak.

Atau haruskah mereka kembali ke kota? Disana terdapat lebih banyak fasilitas untuk Shanaya.

Tapi tidak. Shaka belum ingin kembali pada hiruk pikuk dan kesibukan kota. Dia masih ingin menikmati keheningan dan kesunyian ini untuk beberapa saat lagi. Terlebih dia merasa ingin memiliki waktu lebih banyak dengan Shanaya dan Ratih.

Ratih? Kenapa tiba-tiba dia membawa nama gadis itu. Dan kemana juga gadis itu, kenapa dia belum menunjukkan batang hidungnya?

Dan kenapa Shaka masih menyebutnya gadis sementara Ratih sudah bukan perawan lagi?

Pikiran Shaka melantur kesana kemari. Bahkan dia tidak sepenuhnya menanggapi ucapan sang putri.

Suara langkah kaki menginjak rumput memenuhi pendengaran Shaka. Aroma segar sabun Ratih masuk ke penciuman Shaka dan hal itu membuat tubuh Shaka menegang.

Ratih mendekat dan berdiri di samping Naraga tepat setelah Shanaya baru menyelesaikan sarapannya.

"Darimana saja?" Tanya Naraga dengan nada yang tidak bisa dibilang pelan sehingga bisa masuk ke telinga Shaka yang hanya berjarak dua langkah di depannya.

"Saya baru selesai membersihkan kamar mandi Nona dan membersihkan diri di kamar, Tuan." Suara Ratih jauh lebih pelan dari suara Naraga sehingga Shaka harus menajamkan telinga untuk bisa mendengarnya.

"Kamu pakai parfum?" Tanya Naraga terdengar seperti teguran.

Ratih menggelengkan kepala. "Tidak, Tuan." Jawabnya terlalu pelan. "Saya mencuci tubuh saya dua kali dengan sabun karena takut Nona terganggu dengan bau pembersih toilet." Jawabnya jujur. Naraga hanya menganggukkan kepala dan tidak memberikan sanggahan apapun, tampak puas dengan jawaban yang diberikan Ratih padanya.

"Apa yang sedang kalian bicarakan? Kenapa kalian berbisik-bisik di belakangku?" Tegur Shaka ketus.

"Tidak ada, Tuan." Jawab Naraga datar. "Saya hanya bertanya kemana saja Ratih pergi dan apakah dia memakai parfum. Dia menjawab tidak mengenakan parfum dan hanya mengenakan sabun mandi sebab takut 'Nona' tidak suka dengan wangi pembersih toilet." Naraga menyebut kata Nona dengan penuh penekanan. Terkesan sengaja menekankan kalau Shanaya berada dalam urutan pertama orang yang harus Ratih perhatikan. Dan ucapan Naraga jelas mengusik Shaka karena pria itu tidak suka dijadikan nomor dua.

"Apa yang akan kau lakukan dengan Shanaya hari ini?" Tanya Shaka masih dengan ketus. Pria itu menolehkan kepala menunggu jawaban Ratih.

"Saya tidak tahu." Jawab Ratih apa adanya.

"Kenapa tidak tahu?" Tanyanya dengan sebelah alis terangkat.

Ratih menatap Naraga seolah meminta bantuan, pria itu lagi-lagi dan selalunya menanggapi kebingungan Ratih dengan mengedikkan bahu.

"Saya tidak tahu harus membawa Nona kemana ataupun mau bermain apa." Jawabnya jujur. "Nona, apa yang Nona sukai? Apa Nona mau menggambar?" Tanya Ratih kepada Shanaya. Shanaya balik menatap Ratih. Dahi gadis kecil itu tampak mengernyit selama beberapa saat seolah tengah berpikir sebelum kemudian menganggukkan kepala. "Nona mau menggambar, Tuan." Ucap Ratih pada akhirnya merasa lega. Ia jelas tidak tahu apa yang bisa dia lakukan bersama Shanaya karena Shanaya masih terlalu asing baginya. Dan membawa gadis kecil itu pergi pun bukan sebuah solusi karena sama halnya seperti ia yang tidak mengenal Shanaya, ia juga tidak mengenal tempat dimana ia tinggal saat ini.

Bahkan Ratih tidak pernah menginjakkan kakinya diluar pagar villa. Jadi dia bisa menawarkan apa? Bahkan di villa ini tidak ada tayangan televisi. Entahlah, mungkin ada tayangan yang bisa dilihat di televisi tapi Ratih tidak paham bagaimana cara menggunakannya dan selama ini dia juga tidak pernah melihat Lasma ataupun Naraga menyalakannya.

Lasma membereskan meja makan dan Shaka masuk ke ruang kerjanya ditemani Naraga. Sementara Ratih membawa Shanaya kembali ke kamar untuk membawa perlengkapan menggambar gadis kecil itu. Mereka memilih untuk duduk di teras belakang dan menikmati pagi yang mendekati siang.

"Kakak bisa menggambar?" Tanya Shanaya saat ia membuka tempat krayon yang memiliki terlalu banyak warna.

Ratih merasa terkejut sekaligus kagum saat melihatnya. Pasalnya selama sekolah dia hanya bisa menggunakan pensil gambar dua belas warna, itupun yang berukuran pendek. Dan kalaupun ia pergi ke toko buku, dia biasanya melihat pensil gambar itu hanya ada empat puluh delapan warna. Sementara milik Shanaya? Orang kaya memang berbeda. Kagumnya dalam hati.

"Tidak, Nona. Saya tidak bisa menggambar." Ucapnya yang membuat Shanaya cemberut. "Tapi saya bisa mewarnai." Ratih melihat salah satu buku mewarnai milik Shanaya yang menarik perhatiannya. Dia tidak tahu apa nama pola buku mewarnai tersebut, yang pasti saat melihatnya Shanaya seperti melihat pola-pola perhiasan India. (Maksudnya motif Mandala) Shanaya tersenyum dan gadis kecil itu berbaik hati memberikan pensil warnanya pada Ratih.

Mereka duduk berdua berselonjor kaki di depan sofa teras. Mewarnai dengan beralaskan meja kaca. Saking asyiknya, mereka mewarnai dalam keheningan.

"Apa yang sedang Shanaya lakukan?" Tanya Shaka pada Naraga karena merasa villa terlalu hening.

"Mereka sedang mewarnai di teras belakang." Jawab Naraga apa adanya.

"Mewarnai?" Tanya Shaka heran.

"Ya, Anda tahu kertas putih yang sudah memiliki pola gambar entah itu pemandangan, binatang-binatang, putri-putri yang hanya tinggal diberikan warna yang kita suka."

"Aku tahu apa itu mewarnai, aku tidak bodoh." Ketus Shaka yang membuat Naraga mengulum senyum.

"Saya pikir Anda tidak tahu karena Anda seperti kebingungan." Ledek Naraga yang sadar akan kepenasaran sang majikan.

"Aku bukannya tidak tahu, aku hanya penasaran memangnya orang dewasa seperti Ratih suka hal seperti itu?"

Naraga mengedikkan bahu. "Dia tampaknya menikmatinya." Jawab Naraga apa adanya. "Dia mungkin sudah dewasa secara umur dan bentuk tubuh. Tapi siapa yang tahu kalau tanpa kita sadari ada jiwa anak-anak yang terbelenggu dalam dirinya dan minta untuk dibebaskan. Anda tahu, semacam orang dewasa yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Atau orang dewasa yang tidak bisa menikmati masa kecilnya dengan seharusnya."

Jawaban Naraga membuat Shaka mengernyitkan dahi. Membuatnya bertanya-tanya tentang bagaimana masa kecil Ratih.
_________________________________

Ayo tinggalkan jejak

Entangled by Your CharmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang