Hari sudah kembali berlalu dan sebelum matahari terbit, Ratih sudah selesai membersihkan diri dan mengenakan seragam kerjanya.
Hari ini dia mengenakan setelan berwarna merah muda lembut berlengan panjang dan celana panjang, persis seperti seragam yang biasa digunakan perawat. Menyisir rambut panjangnya dan mencepolnya di atas tengkuk, Ratih memasang jepitan supaya rambutnya nanti tidak berhamburan ataupun mengganggu pekerjaannya.
Ia memasang kaus kaki sewarna kulit yang mencapai betisnya sebelum mengenakan sandal rumah berbahan karet antislip yang memang digunakan oleh setiap karyawan yang bekerja di villa ini.
Tidak berias. Itu adalah aturan bekerja disini. Namun Ratih masih diperkenankan mengenakan produk perawatan dasar seperti pelembab, sunscreen, bedak dan lipbalm. Yang penting tidak berwarna mencolok. Dan Ratih memang tidak terbiasa berdandan. Dia hanya mengenakan pelembab kulit, bedak tabur dan lipbalm tanpa warna yang semuanya ia gunakan supaya kulit wajahnya tetap sehat saja.
Jelas Ratih sadar kalau dia tidak bisa melakukan perawatan mahal karena dia tidak punya biaya, tapi minimal dia tidak membuat kulitnya rusak karena wajah adalah satu-satunya modal yang bisa dia gunakan untuk bekerja di masa depannya nanti.
Menarik napas panjang, Ratih memegang pegangan pintu kamarnya. Rasa takut akan Shaka membuat jantungnya berdebar dengan sangat kencang hingga terasa menyakitkan. Namun benar kata Lasma, Ratih harus bisa menghadapi semuanya terlepas dia menyukainya atau tidak.
Satu tahun. Hanya sebanyak itu waktu yang harus Ratih habiskan untuk menjadi pelayan Shaka. Dan itu masih tiga ratus sekian puluh hari lagi. Tapi setelah itu, Ratih terbebas. Baik dari Shaka ataupun dari ibunya.
Ratih bersumpah, setelah semua ini selesai dia tidak akan kembali ke kediaman orangtuanya. Dia akan memilih pergi ke tempat yang jauh, bekerja dimanapun dia bisa bekerja dan baru akan kembali setelah dia memiliki cukup uang untuk bisa membawa neneknya tinggal bersamanya.
Ia tidak peduli orang mengatainya anak durhaka karena apa yang sudah ibunya lakukan padanya jauh lebih jahat. Jika saja ibunya tidak mengambil semua uang itu, maka Ratih tidak akan terjebak dengan monster rupawan seperti Shaka.
Ratih menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju bagian belakang villa. Disana, dia sudah melihat Lasma yang bersiap menyiapkan sarapan untuk tuan mereka.
"Pagi sekali." Komentar wanita itu seraya mengeluarkan daging ayam utuh dari chiller.
"Aku tidak tahu jam berapa Tuan bangun. Aku tidak mau membuatnya marah. Setidaknya aku harus meminimalisir kesalahan dengan bangun sangat awal." Jawab Ratih diplomatis yang ditanggapi senyuman Lasma.
"Semangat yang bagus." Ucap wanita yang kini kalau Ratih perhatikan mungkin akan seusia dengan ibunya. "Jika bangun sendiri, Tuan terbiasa bangun jam lima pagi. Namun jika tidak bangun sendiri, kau harus membangunkannya pada pukul enam. Tentu, jam berubah jika malam sebelumnya dia memberikanmu instruksi lain." Ucap Lasma seraya menguliti ayam utuh tersebut. Memisahkan kulit dari dagingnya sebelum kemudian memisahkan daging dari tulangnya dengan sangat ahli.
"Ada yang bisa kubantu?" Tanya Ratih ingin tahu.
"Tidak ada. Kau tidak perlu ikut campur pada pekerjaanku karena aku tidak mau suatu saat kau mengambil alihnya." Ucap Lasma dengan senyum penuh arti di wajahnya. "Lagipula Tuan tidak akan suka mencium bau amis dari tubuhmu. Jadi kalau kau mau belajar, kau bisa memperhatikanku dan bertanya sewaktu-waktu." Lanjutnya yang membuat Ratih memandanginya dengan bingung.
Ya, Lasma benar. Tuan mereka tidak bisa meluhat dan mengandalkan penciuman untuk banyak hal. Membantu Lama hanya akan menempelkan bau tertentu di pakaian ataupun tangannyan dan Ratih tidak mau tuannya semakin tidak menyukinya karena hal itu. Jadi Ratih memilih untuk duduk di kursi bar dan memperhatikan Lasma bekerja dalam diam seraya berusaha mengingat apa saja yang dilakukan wanita itu dengan bahan makanan di depannya.
Sebuah roti panjang yang Ratih biasanya lihat di drama yang tayang di televisi kini ada di hadapannya. Mengingat villa dimana kini dia berada dan rumahnya dulu sama-sama berada di tempat terpencil, Ratih yakin kalau roti itu bukan buatan toko melainkan buatan Lasma sendiri. "Apa membuat ini susah?" Tanyanya seraya menyentuh roti baguette yang Lasma letakkan dalam sebuah keranjang anyaman.
"Baguette itu?" Lasma balik bertanya seraya mengedikkan kepala pada baguette yang dimaksud disela kegiatannya membuat bumbu. "Tidak terlalu. Hanya perlu sabar saja karena jeda dalam pembuatannya." Jawabnya santai. "Membuat roti itu gampang-gampang susah. Kalau tidak teliti bisa-bisa berakhir bantat. Dan baguette sendiri unik karena tekstur luarnya yang keras tapi dalamnya harus tetap terasa lembut layaknya roti tawar."
"Apa itu sulit? Belajar memasak?" Lagi-lagi Ratih bertanya.
Lasma mengedikkan bahu sebagai jawaban. "Tidak ada yang sulit jika dilakukan karena 'butuh'." Jawabnya seraya tersenyum sinis. "Aku belajar memasak karena aku 'butuh' sebuah keahlian." Lanjutnya bercerita. "Kalau kau pikir aku bisa memasak karena sekolah di sekolah bagus layaknya chef-chef yang ada di tv, kamu salah.
"Aku belajar memasak pertama kalinya itu di penjara." Ucapnya yang membuat Ratih memandangnya tak percaya. "Kenapa? Kaget?" Lasma bertanya sambil terkekeh mengejek. "Ya, aku ini seorang mantan narapidana. Residivis." Ucap Lasma getir. "Aku keluar masuk penjara sejak usiaku lima belas tahun dengan beragam kasus.
"Pencurian. Kekerasan. Bahkan sempat penipuan." Ujarnya sambil menunjukkan senyum miringnya. "Jadi kalau kau mau tahu bagaimana rasanya hidup di penjara atau mau tahu bagaimana caranya supaya bisa bertahan disana, kamu bisa bertanya padaku karena aku termasuk ahli akan hal itu."
Jelas ucapan Lasma barusan tidak bisa Ratih percaya. Tapi dia juga tidak bisa mengatakan kalau wanita itu berbohong karena ia tidak mengenalnya. Namun pertanyaan yang ingin ia kemukakan adalah, kenapa Lasma bisa bekerja bersama Shaka jika dia seorang mantan narapidana? Kenapa Shaka bisa mempercayainya?
"Tanyakan saja apa yang ingin kau tanyakan. Jangan menunjukkan wajah menjengkelkan seperti itu." Ucap Lasma dengan senyum mengejek. Ia meraih baguette dari keranjang dan mulai memotongnya.
"Maafkan aku, tapi aku hanya merasa penasaran saja. Bagaimana bisa kamu berakhir disini jika sebelumnya... kau tahu, kupikir Tuan hanya mempekerjakan orang-orang tanpa kasus kriminal."
Lasma tertawa terbahak. Mengejek kepolosan Ratih. "Lebih baik bekerja bersama dengan 'mantan narapidana' daripada bekerja dengan 'dalang kejahatan'. Itulah yang Tuan Noam, kakek Tuan Shaka katakan padaku saat dia mempekerjakanku. Tentu saja dia memperkejakanku dengan perhitungan yang matang. Mungkin dia melihat kalau aku benar-benar mau berubah, jadi dia memberikanku kesempatan kedua saat yang lain tidak.
"Atau mungkin dia melakukannya karena dia merasa berhutang budi padaku karena di satu waktu aku pernah membantunya." Jawab Lasma ambigu.
"Berapa lama kamu bekerja bersama keluarga ini?"
Bola mata Lasma tampak bergerak ke sisi kiri dan kanan atas, tampak tengah berpikir. "Lebih dari setengah usia Tuan Shaka." Jawab wanita itu lagi.
Kenapa dia tidak menjawab angka pastinya saja? Lagipula sebenarnya berapa umur Tuan Shaka? Tiga puluh? Tiga lima? Empat puluh? Ratih tidak bisa menduga-duga.
Tapi satu hal yang bisa kembali Ratih simpulkan adalah, mereka bisa bertahan menghadapi Shaka untuk sekian lamanya. Itu berarti, Shaka tidak selamanya bersikap buruk. Bukan begitu?
Tapi pertanyaan lainnya adalah. Apakah Ratih akan bisa bertahan selama Lasma? Membayangkan melewati hari-harinya selama setahun kedepan saja rasanya sudah begitu suram.
~Jangan lupa kasih ⭐ dan komen ya~
KAMU SEDANG MEMBACA
Entangled by Your Charms
RomanceRatih yang putus asa meminta bantuan teman lamanya untuk mencarikannya pekerjaan. Dia ingin pekerjaan dengan gaji yang besar meskipun itu membuatnya harus bekerja keluar negeri sebagai seorang pelayan. Namun siapa yang menyangka kalau tanpa sepenge...