"Pohon apa itu?" Tunjuk Shanaya pada sebuah pohon berukuran besar yang ada di salah satu sisi halaman villa.
"Pohon mangga?" Ratih balik bertanya. Ia sendiri mendongakkan kepala dan melihat daun pohon besar itu. Belum berbuah sehingga ia tidak bisa menjawab dengan benar namun melihat dari bentuk daunnya, Ratih menduga kalau itu adalah pohon mangga.
"Belum berbuah?" Tanya Shanaya ingin tahu.
"Mungkin belum musimnya." Jawab Ratih lagi.
"Kapan musimnya?" Shanaya kembali menanyakan hal yang Ratih tidak tahu. Apakah dia harus melakukan pencarian di browser tentang kapan pohon mangga berbuah? Tanyanya dalam hati. Tapi ia sendiri tidak bisa melakukannya mengingat ponselnya disita oleh Lasma saat mereka pergi ke villa.
"Saya tidak tahu, Nona." Hanya itu jawaban yang tersisa. Shanaya mencebik, namun gadis kecil itu tak banyak lagi bicara.
Ya, seperti yang sudah diperintahkan, Ratih kini bertugas menjaga Shanaya sementara majikannya sudah kembali ke dalam villa setelah makan siang dan melanjutkan pekerjaannya.
"Kalau itu apa?" Shanaya menunjuk bagian batang pohon tinggi dimana sebuah tambang besar berada. Ada benda hitam yang juga terikat dengannya yang membuat Ratih menyipitkan mata untuk memperhatikannya secara seksama.
"Saya rasa itu ayunan, Nona." Jawab Ratih setelah ia memperhatikan dengan lebih teliti. Ya, ayunan dengan dudukan dari potongan ban mobil yang ukurannya cukup besar.
"Ayunan?" Shanaya menoleh memandang Ratih dengan tatapan bingung. Ratih menganggukkan kepala. "Kenapa disana?"
"Mungkin seseorang mengikatnya supaya tidak digunakan." Ucap Ratih lagi.
"Kenapa?"
"Karena berbahaya?" Tanya Ratih ragu.
"Kenapa ayunan berbahaya? Di sekolahku ada ayunan, tapi gak berbahaya." Ujar bocah kecil itu dengan alis bertaut. Tampak berpikir keras yang membuat wajah cantiknya tampak menggemaskan.
Jujur, jika Ratih perhatikan tidak ada kemiripan antara Shanaya dan ayahnya. Shanaya cantik, tapi tidak ada satupun hal yang membuatnya mirip dengan Shaka. Entah itu mata, alis ataupun bibir. Tidak ada kemiripan sama sekali. Apa karena Shanaya lebih mirip dengan ibunya?
Ya, Ratih rasa Shanaya pasti duplikat ibunya. Karena warna rambut Shanaya pun lebih seperti tembaga alih-alih hitam seperti rambut Shaka.
"Hei." Shanaya menegurnya dengan menepuk lengan Ratih yang membuat Ratih tersadar dari lamunannya.
"Eh, iya Nona?" Ratih bingung selama sepersekian detik. "Karena dudukan ayunan itu gak stabil." Ucap Ratih tanpa berpikir. "Jadi kalau dipakai anak-anak seperti Nona, takutnya malah membuat Nona jatuh." Lanjutnya.
"Aku mau mencobanya." Ucap gadis kecil itu dengan nada menuntut.
Jelas Ratih tidak bisa mengabulkannya karena takut dengan resiko yang akan terjadi nantinya. Tapi kalau tidak dituruti, dia juga takut anak majikannya ini menangis dan melaporkannya pada Shaka sehingga nanti tuannya itu menghukumnya.
"Nona, bagaimana kalau permainan lain?" Ratih menawarkan.
"Permainan apa? Disini gak ada permainan apa-apa." Ucap gadis kecil itu ketus. Dan memang tidak ada permainan apapun disini. Dan juga tidak ada teman bermain yang bisa membuat Shanaya terhibur.
Menawarkan berenang sama sekali bukan pilihan karena Ratih sendiri tidak bisa berenang. Alih-alih menyenangkan anak sang majikan, bisa-bisa Ratih yang mati tenggelam.
"Bagaimana kalau kita masuk ke dalam dan menggambar?" Tawar Ratih. Ia ingat kalau tadi dia membereskan alat gambar Shanaya di kamarnya.
"Bosan." Jawab Shanaya ketus. "Aku mau main itu." Dia tetap menunjuk pada ayunan berbahan ban bekas itu.
Ratih menggigit bibirnya bingung. Namun pada akhirnya dia bergerak menyingkir, meraih handy talkie di tangannya dan menghubungi Naraga.
"Nona muda mau menurunkan ayunan yang ada di pohon mangga." Ucap Ratih seraya melirik Shanaya
"Ayunan?" Naraga balik bertanya. "Ayunan apa?"
"Ayunan ban bekas." Jawab Ratih lagi. "Posisinya sangat tinggi dan saya tidak bisa naik ke atasnya. Saya sudah menawarkan permainan yang lain, tapi Nona tidak mau." Ratih menjelaskan karena dia tidak mau disalahkan.
"Tunggu sebentar." Ucap Naraga dan sambungan terputus.
Tak sampai lima menit, Naraga muncul bersama dengan salah satu penjaga pintu yang malam lalu menyeret Ratih ke dalam kamar. Pria itu memandang Ratih dengan mata menyipit. Ratih menunjuk ke arah batang pohon yang tingginya hampir mencapai tiga meter dimana ayunan diposisikan menelungkup.
Si pria bertubuh tinggi besar itu menaiki pohon dengan cukup susah payah. Bergerak maju dengan tangan merangkak sementara kakinya melingkari batang pohon berjaga-jaga supaya tidak terjatuh.
Cukup lama pria itu berkutat dengan ikatan tali tambang yang cukup besar sampai akhirnya dudukan ayunan itu jatuh menggantung setengah meter di atas tanah.
Shanaya jelas sedikit kebingungan setelah melihat bentukannya. Namun gadis yang penasaran itu berjalan mendekat dan meraba tepian ban dengan jari mungilnya.
"Kotor." Bisik gadis kecil itu menunjukkan tangannya yang berubah abu.
"Tunggu sebentar, biar saya ambil lap dulu." Ucap Ratih dan dengan langkah cepat setengah berlari dia berjalan ke villa, melupakan aturan untuk berjalan pelan dan tidak merusak ketenangan Shaka.
Di ruang kerja, Shaka mendengar suara orang berlari dan dia mengerutkan dahi karena penasaran. Siapa orang yang sudah melanggar aturan? Namun tanpa perlu bertanya ia merasa yakin kalau itu adalah Ratih. Dan yang membuatnya ingin tahu adalah alasan yang membuat gadis itu berlari.
Ratih mengambil beberapa lap dari dapur dan juga tisu basah dari lemari perlengkapan. Setelah itu dia kembali setengah berlari menuju halaman belakang. Namun di tengah jalan, Ratih tidak mempehatikan pintu yang terbuka dan sosok Shaka yang keluar dari sana hingga tubuh mereka bertubrukan.
Dada Ratih menubruk dada Shaka dan Shaka yang tak siap terpaksa memeluk Ratih untuk menyeimbangkan tubuh mereka.
Napas Ratih memburu. Rasa panik dan takut seketika menderanya. Ia berusaha untuk mundur namun tangan Shaka masih bertahan di pinggangnya.
"Tu-tuan, saya minta maaf. Saya tidak melihat Tuan." Ucap Ratih dengan suara lirih dan gugup. Ia mendongakkan kepala, berusaha meminta pengampunan pada tuannya namun Shaka sama sekali tak menunduk untuk melihatnya. Lagipula kalaupun dia menunduk, dia tidak akan tahu ekspresi takut di wajah Ratih.
"Dimana Shanaya?" Tanya Shaka masih dengan posisi yang sama. Bahkan tanpa sadar pria itu mencengkeram pinggang Ratih tanpa berniat melepaskannya. Sementara Ratih menduga kalau keberadaan tangan pria itu di pinggangnya karena pria itu butuh topangan.
"Bersama Tuan Naraga, di halaman belakang." Ratih ingin mendorong dada bidang Shaka, namun kedua tangannya dipenuhi dengan lap dan tisu basah dan ia takut kembali menyinggung Shaka karenanya. "Saya harus kembali ke belakang, Tuan." Ucap Ratih seraya mendorong pelan lengan Shaka dengan sikutnya, berharap pria itu mengerti dan melepaskannya dengan sukarela.
Sadar kalau dirinya ditegur, Shaka melepaskan kedua tangannya cepat.
"Aku memegangimu karena aku takut jatuh. Aku tidak mau karena kecerobohanmu dengan berlari di dalam rumah ini membuatku jatuh dan menyebabkan kepalaku yang berharga ini bocor." Shaka membela diri.
"Ma-maaf Tuan, saya benar-benar tidak sengaja. Saya janji saya akan berhati-hati." Ucap Ratih takut dan Shaka mendengar getaran suaranya yang gugup.
"Pergilah. Jangan membuat putriku menunggu." Perintah Shaka dan Ratih menurutinya tanpa babibu.
Shaka melangkah kembali masuk ke ruangannya. Menutup pintu dan menyandarkan punggungnya disana.
Sialan! Kenapa sekarang aroma rambut gadis itu dan suaranya mengganggunya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Entangled by Your Charms
RomanceRatih yang putus asa meminta bantuan teman lamanya untuk mencarikannya pekerjaan. Dia ingin pekerjaan dengan gaji yang besar meskipun itu membuatnya harus bekerja keluar negeri sebagai seorang pelayan. Namun siapa yang menyangka kalau tanpa sepenge...