Part 22 - Hujan Petir

1K 74 1
                                    

Saat Ratih berjalan menuju area belakang dimana kamarnya berada, ia melihat Lasma dan Naraga yang tengah berdiri dan memandangi langit yang hitam pekat.

"Tuan?" Ratih memanggil atasannya karena bisa dibilang ia penasaran dengan apa yang dilakukan kedua orang itu.

"Nona Shanaya sudah tidur?" Tanya Naraga ingin tahu.

"Sudah. Mungkin dari satu jam yang lalu." Jawab Ratih apa adanya.

"Satu jam yang lalu, tapi kamu baru kembali?" Lasma melirik jam tangannya yang seringkali ia lepas saat sedang memasak.

"Tuan Shaka meminta saya untuk membacakannya buku." Jawab Ratih jujur.

"Buku?" Lasma dan Naraga mengerutkan dahi heran. Ratih mengangguk.

"Buku apa yang ingin dia kamu baca?" Ratih menyebutkan judulnya tapi dia lupa siapa pengarangnya dan dia melihat seringai mengejek di wajah Naraga.

"Kenapa, Tuan? Ada yang salah?" Tanya Ratih heran.

"Tidak. Aku hanya ingat judul buku itu. Buku yang biasanya dibaca oleh orang-orang kesepian." Dan haus belaian. Tambah Naraga dalam hati. "Kau mau beristirahat?" Tanya Naraga dan Ratih menganggukkan kepala. "Pergilah, tapi jangan tidur terlalu lelap karena sepertinya malam ini akan ada hujan badai." Naraga kembali memandang langit.

Jadi itu alasan kenapa tidak ada bintang malam ini. Dan bulan pun tidak tampak karena sepertinya tertutupi oleh awan gelap yang akan membawa hujan.

"Nona Shanaya selalu takut pada petir dan Tuan Shaka selalu gelisah saat hujan seperti ini karena hujan besar dan badai petir adalah saat dimana ia mengalami kecelakaan." Ucap Naraga memberitahukan.

Ratih yang baru saja merasa kalau dia bisa tidur dengan nyaman hanya bisa menghela napas panjang karena tahu jika badai itu benar-benar terjadi maka ia jelas harus terjaga dan memilih anatara majikan muda atau ayahnya.

"Iya, Tuan. Saya mengerti. Saya pamit membersihkan diri dulu." Ucap Ratih yang dijawab anggukkan Naraga dan Lasma.

Ratih mandi di bawah pancuran air hangat. Dia merasa bersyukur karena kamar mandinya juga difasilitasi air hangat sama seperti kamar mandi lainnya meskipun jelas fasilitasnya tak semewah kamar mandi yang ada di villa utama.

Ia mencuci rambutnya, menggosok tubuhnya yang terasa lengket dan berlama-lama membiarkan punggungnya disiram oleh air yang cukup panas itu sebagai ganti pijitan yang tentu tidak akan bisa ia dapatkan.

Ratih berusaha menenangkan dirinya sendiri. Meskipun ia lelah bekerja dan tidak mendapatkan gaji karena semuanya diambil oleh ibunya, namun ia bersyukur karena masih bisa makan makanan enak yang dibuatkan Lasma. Bukan diberi makanan sisa-sisa majikan mereka. Ia juga bersyukur bisa tidur di tempat tidur yang hangat dan empuk bukannya tidur di pinggir jalan dengan alas kardus. Dan dia masih bisa menggunakan pakaian yang layak dengan bahan berkualitas, bukan pakaian compang-camping yang tidak layak pakai. Ya, mekikirkan itu membuat sedikit kesedihannya berkurang dan membuatnya lebih kuat menghadapi hari.

Setahun mungkin waktu yang panjang jika dilihat ke depan. Tapi jika dilihat ke belakang nanti, setahun akan terasa seperti kemarin.

Ratih mengeringkan tubuhnya dengan handuk dan membelit rambutnya dengan handuk yang sama. Tidak seperti Shaka yang menggunakan handuk yang berbeda untuk setiap bagian tubuh karena jelas Ratih tidak punya kemewahan untuk itu.

Ia mengenakan pakaian dalamnya di dalam kamar mandi. Baju tidur yang dipilihnya saat ini adalah kaos lengan pendek oversize dan celana yang super pendek yang hanya mencapai setengah pahanya. Ratih bermaksud untuk tidur bergelung di atas tempat tidurnya sampai pagi dan ini adalah pakaian ternyaman yang ia miliki.

Ratih membuka pintu kamar mandi dan mendengar suara dari handy talkie nya. Ia terbelalak dan meraihnya dengan segera.

"Apa saja yang kamu lakukan?!" Teguran keras itu berasal dari Shaka. Ratih dibuat kelabakan sendiri, bingung akan apa yang harus dia lakukan. Saat ia membuka pintu kamar, rupanya diluar sana hujan lebat sudah membuat bumi basah.

"Ma-maaf Tuan, saya baru selesai mandi." Cicit Ratih bingung.

"Cepat kemari! Ke kamar Shanaya!" Bentak Shaka dan tanpa basa-basi lagi Ratih segera berlari menuju vila utama. Lupa akan segalanya termasuk pintu kamarnya yang tidak tertutup sempurna.

Ratih bergegas menuju kamar Shanaya. Disana sudah ada Shaka yang duduk di samping Shanaya yang sedang menangis dan juga Naraga yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Bukankah sudah kubilang untuk waspada?" Bisik Naraga lirih.

"Maaf Tuan. Saya belum tidur. Saya baru selesai membersihkan diri." Ucap Ratih gugup.

"Aku tahu. Aku bisa melihatnya." Ucap Naraga seraya menunjuk handuk yang membelit rambut Ratih yang lupa ia lepas karena panik.

Gugup, Ratih menarik handuk itu lepas, membiarkan rambutnya yang basah terurai berantakan di kedua sisi wajahnya.

"Pergilah, Nona Shanaya tadi terbangun karena petir yang sangat besar. Dia susah untuk kembali ditenangkan dan itu membuat Tuan Shaka panik." Ucap Naraga lagi.

Ratih mengangguk. Meletakkan handuk basahnya di atas ujung tempat tidur dan mendekati Shanaya.

"Nona?" Ratih memanggil putri majikannya. Shanaya mendongak dari pelukan ayahnya dan memandang Ratih dengan wajah basah karena air mata. "Nona kenapa?" Tanya Ratih sambil tersenyum dan mendekat, mengusap rambut Shanaya lembut.

"Ta-takut." Cicit Shanaya seraya melepas pelukan ayahnya dan beringsut mendekati Ratih. Ratih duduk di tepi tempat tidur, menerima Shanaya yang kemudian duduk di atas pangkuannya. Tubuhnya dan Shaka kini saling berhadapan dalam posisi miring dimana lutut mereka saling beradu namun Ratih tidak menyadari itu.

Berbeda dengan Shaka yang jelas sangat menyadarinya. Bahkan sejak Ratih mendekat dengan membawa aroma segar di tubuhnya, Shaka sudah sangat menyadari keberadaan gadis itu. Dan kini, saat lutut gadis itu bersentuhan dengan lututnya yang terbungkus kain piyama, Shaka merasa tubuhnya menegang. Dengan segera pria itu bangkit berdiri membiarkan Ratih untuk menenangkan Shanaya seorang diri.

"Apa yang Nona takutkan?" Ratih berkata dengan lembut seraya mengusap kepala dan punggung Shanaya pelan menenangkan.

"Hujannya." Ucap Shanaya seraya menyembunyikan wajahnya di dada Shanaya. Petirnya." Lanjutnya memeluk Shanaya erat. "Kakak wangi." Ucap gadis kecil itu secara acak yang membuat Ratih terkekeh.

"Kakak baru beres mandi." Ucap Ratih memberitahukan.

"Rambut kakak juga basah." Shanaya memegang ujung rambut Ratih yang memang masih basah dan bahkan meneteskan air karena belum sampat dikeringkan.

"Iya. Belum sempat dikeringkan." Ucap Ratih sambil tersenyum.

Suara petir terdengar lagi dan Shanaya kembali memeluk Ratih erat sementara di waktu bersamaan Ratih bisa melihat Shaka mengernyitkan dahi. Sepertinya, pria itu berusaha tegar di depan sang putri padahal dia juga sama-sama tidak menyukai hujan dan petir ini.

"Jangan takut pada petir dan hujan." Ucap Ratih kembali mengayunkan tubuh Shanaya pelan. "Tuhan mengirimkan petir dan hujan bukan untuk ditakuti. Tapi sebagai bentuk kasih sayangnya pada kita." Ucap Ratih yang membuat Shanaya mendongak dan Shaka menatapnya tajam.

"Manfaat apa?" Tanya Shanaya polos.

"Hujan itu kan air. Dan air itu memberikan banyak manfaat bagi kehidupan. Dia bisa membuat tanaman tidak kehausan. Membuat danau dan sungai tidak kekeringan. Membersihkan polusi udara dan yang lainnya.

"Bukannya Nona tinggal di kota besar?" Ratih bertanya dan Shanaya mengangguk. "Nah, di kota-kota besar itu kan sudah banyak polusi yang diakibatkan oleh knalpot kendaraan dan juga asap  dari mesin pabrik-pabrik. Hujan membantu membersihkan polusi yang mereka sebabkan supaya udara kembali segar." Ucap Ratih dengan senyum di wajahnya.

"Tapi aku juga takut sama petirnya." Ucap Shanaya lagi.

Entangled by Your CharmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang