Shaka masuk ke ruang kerjanya lebih dulu dan setelahnya barulah Ratih masuk. Ruang kerja itu gelap seolah tidak pernah digunakan padahal Ratih tahu jelas sebelum pergi ke kamar Shanaya atasannya ini masih bekerja.
Apa Naraga mematikan lampunya dan menduga kalau Shaka sudah selesai bekerja?
Ratih meraba mencoba menemukan saklar lampu saat tiba-tiba Shaka bersuara. "Kamu sengaja kan?" Dengan nada ketus berkesan menuduh.
Ratih berhenti mencari saklar dan balik memandang majikannya karena bingung. Meskipun ruangan gelap, cahaya lampu dari bagian luar ruang kerja cukup membuat Ratih bisa melihat siluet Shaka yang bertubuh tinggi besar di hadapannya.
"Sengaja apa, Tuan?" Tanya Ratih bingung.
"Menceritakan kisah Beauty and The Beast pada Shanaya." Ucap Shaka dengan ketusnya. Pria itu melangkah mendekati Shanaya yang kini kembali merasa gugup dan takut sehingga beringsut mundur. Bersiap untuk kabur jika sampai Shaka melakukan tindakan diluar nalar seperti tempo hari.
"Se-sengaja bagaimana Tuan?" Tanyanya masih bingung. Kepalanya mencari celah untuk menghindari Shaka. "Me-memangnya apa yang salah dengan cerita itu, Tuan?" Cicit Ratih karena kini jarak Shaka dan dirinya sudah sangat dekat hingga Ratih bisa merasakan panas tubuh pria itu dan juga bisa merasakan hembusan napasnya.
"Kau menyindirku." Ucap Shaka dan meletakkan tangan kirinya di pintu, tepat si sisi kanan atas kepala Ratih. Sementara tangan kanannya ada di sisi kanan bawah tubuh Ratih, sejajar dengan pinggangnya. Tampaknya pria itu memang berniat untuk mengurungnya.
"Me-menyindir apa, Tuan?" Ratih mendongak memandang Shaka yang saat ini juga tengah menunduk ke arahnya. Ia berusaha menekuk lututnya supaya bisa memendekkan tubuhnya namun entah bagaimana Shaka malah berhasil menangkap pinggangnya. Membuat Ratih terbelalak terkejut dan kembali merasa takut.
"Kau mengejek kebutaanku, kan?" Ucap Shaka dengan gigi terkatup. Jelas sekali pria itu menunjukkan amarahnya. Ratih menggelengkan kepala yang ia tahu tidak akan dilihat pria itu.
"Sa-saya tidak mengejek Anda, Tuan." Cicitnya lemah, berusaha bertahan untuk tidak mendorong dada bidang Shaka yang ada di depannya.
"Ya, kau mengejekku. Kau menceritakan kisah Beauty And The Beast dengan menjadikanku si The Beast yang alih-alih mengutuk pangeran menjadi pria buruk rupa, Tuhan mengutukku untuk menjadi buta karena perangaiku yang buruk. Itu kan yang ada di pikiranmu saat menceritakan dongeng itu pada putriku?" Geram Shaka lagi yang kembali membuat Ratih terbelalak dan menggelengkan kepala panik.
"Demi Tuhan, sumpah Tuan. Saya tidak ada maksud seperti itu. Saya menceritakan dongeng itu karena hanya itu cerita yang saya tahu. Saya jarang membaca buku apalagi film anak-anak. Sungguh, Tuan. Saya tidak ada maksud." Mata Ratih berkaca-kaca. Ia berusaha untuk menahan tangisnya sementara jantungnya sudah berdebar kencang tak karuan karena rasa takut akan tatapan tajam Shaka yang kosong.
"Jangan pikir aku bodoh. Kalau kau tidak menonton film anak-anak, darimana kamu tahu cerita itu. Dan selama ini cerita apa yang kamu baca dan film apa yang kamu tonton?" Tanya Shaka ketus. "Mustahil sebagai seorang anak kalau kau tidak pernah menonton film anak-anak." Dengusnya mengejek.
Apa Ratih harus mengatakan kalau semasa kecilnya ia tidak diperbolehkan bukan hanya membaca buku fiksi anak tapi juga tidak diperbolehkan memilih saluran televisinya sendiri?
Ya, mereka memiliki televisi di rumah, tapi keberadaan televisi itu kalau bukan dimonopoli ibunya dengan menonton sinetron dan telenovela, maka televisi akan dimonopoli oleh Riki yang saat kecil sangat suka menonton anime yang tentunya berbau laki-laki atau tontonan anak berbau robot. Dan jika ada ayahnya, maka televisi akan menayangkan berita atau tontonan bola. Jadi Ratih sama sekali tidak punya kesempatan untuk nonton film berbau anak perempuan sekalipun di hari liburnya.
Karena hari liburnya akan jauh lebih sibuk baginya dibandingkan hari-hari sekolahnya. Karena apa? Karena semua beban pekerjaan dalam rumahnya ibunya limpahkan padanya. Memang tidak sepenuhnya karena sebagian pekerjaan rumah juga ibunya kerjakan.
Contohnya, saat ibunya beres-beres di dalam rumah maka Ratih bertugas menyapu halaman rumah mereka yang ukurannya tidak seberapa. Dan setelah ibunya selesai menyapu, tugas Ratih lah untuk mengepel lantai. Dan itu sudah berlangsung sejak Ratih duduk di kelas tiga sekolah dasar.
Saat kemudian dia duduk di kelas lima sekolah dasar, tugasnya bertambah. Jika ibunya mencuci pakaian maka Ratih bertugas untuk menjemur dan menyetrikanya dan jumlahnya meningkat saat hari minggu karena ibunya biasa menunda cucian. Dan ya, Ratih juga tidak hanya menyetrika pakaiannya sendiri melainkan pakaian orangtuanya dan juga pakaian adiknya.
Dan jika ibunya bertugas untuk memasak, maka Ratih yang bertugas mengupas dan mencuci bahan makanan dan nantinya ia yang akan mencuci bekas masak dan bekas makan mereka.
Dan jika Ratih melawan dan mengatakan ia lelah atau ia ingin bermain bersama anak-anak seumurannya. Maka Ratih harus siap merasakan gagang sapu berbahan kayu atau gayung yang ada di kamar mandi melukai tubuhnya.
Satu-satunya tempat peraduan Ratih saat kecil hanyalah neneknya. Tapi itu pun hanya sementara, karena setelah ia kembali ke rumah, ia akan kembali dihadiahi amukan sang ibu.
Jadi, ya. Masa kecil Ratih sama sekali tidak menarik jadi dia pun tidak memiliki satu cerita yang bisa ia dongengkan pada Shanaya.
Shanaya sudah banyak diceritakan tentang ibu tiri yang kejam. Apa sekarang Ratih harus menambah isi kepala bocah itu dengan cerita ibu kandung yang kejam?
Tidak. Ratih tidak mau merusak pikiran polos gadis kecil itu. Dan Ratih juga tidak perlu menyebutkan fakta itu pada Shaka karena ia tidak mau pria itu mengasihaninya.
Seolah dia akan mengasihanimu saja. Batin Ratih mengingatkan.
"Saya tidak punya televisi, Tuan." Jawab Ratih pada akhirnya.
Ratih mendengar Shaka terkekeh. Pria itu berdiri tegak dan mundur dua langkah. "Menyedihkan sekali hidupmu." Ucapnya masih mengejek Ratih.
Marah? Ya, Ratih marah dihina seperti itu. Tapi dia bisa apa? Dia hanya orang miskin yang tak bisa melawan majikannya. Tersinggung? Apalagi. Tapi lagi-lagi Ratih hanya bisa menerimanya. Jika pengakuan kecil dan sederhana ini saja bisa membuat Shaka mengejeknya, apalagi jika Ratih mengatakan semua penderitaan yang dialaminya selama ini. Jelas dia semakin tak memiliki nilai di hadapan majikannya itu.
Keheningan melanda mereka selama beberapa saat.
"Apa kau suka membaca?" Tanya Shaka ingin tahu.
"Tidak terlalu." Jawab Ratih jujur. Karena kalaupun dia suka, dia tidak punya waktu untuk melakukannya karena setelah semua pekerjaan yang dia kerjakan, matanya menjadi terlalu lelah untuk ia gunakan membaca.
"Kenapa? Bukankah membaca itu gudang ilmu?" Tanya Shaka lagi dengan nada mengejek.
"Saya tidak punya kesempatan dan saya tidak punya cukup waktu serta tenaga untuk melakukannya." Jawab Ratih entah mendapat keberanian darimana. Ia melihat sebelah alis Shaka kembali terangkat dan Ratih hanya bisa menggigit bibirnya karena menyesal sudah berkata seperti itu pada tuannya.
Shaka terkekeh. Pria itu bergerak mundur dan mendekati lemari. Ratih masih berdiri mematung di tempatnya saat pria itu membuka salah satu lemari kaca. Jemari panjangnya meraba di dalam kegelapan dan kemudian pria itu meraih salah satu buku dari sana. "Bacakan ini untukku malam ini." Perintahnya seraya menyerahkan sebuah novel kepada Ratih.
Ratih hanya tertegun, menerima novel dari tangan Shaka dalam diam. Apa sekarang dia menjadi pendongeng untuk orang seusia Shaka juga?
KAMU SEDANG MEMBACA
Entangled by Your Charms
RomanceRatih yang putus asa meminta bantuan teman lamanya untuk mencarikannya pekerjaan. Dia ingin pekerjaan dengan gaji yang besar meskipun itu membuatnya harus bekerja keluar negeri sebagai seorang pelayan. Namun siapa yang menyangka kalau tanpa sepenge...