Part 23 - Obat

2.7K 119 0
                                    

Ratih mengangguk. "Sama, saya juga takut. Karena itu saya gak mau deket-deket sama petir." Ucap Ratih dengan nada jenaka yang membuat Shanaya terkekeh. "Banyak orang yang meninggal karena tersambar petir." Ucap Ratih serius. "Itulah kenapa kalau Nona melihat petir, Nona harus bersembunyi.

"Petir itu sama jahatnya seperti penculik. Jadi kalau Nona melihatnya, Nona harus langsung bersembunyi dan masuk ke dalam rumah. Jangan lari ke lapangan, jangan lari mendekati tiang apalagi sampai masuk ke kolam renang. Jangan ya." Ratih melihat Shanaya dan menunggu respon gadis itu. Shanaya kemudian menganggukkan kepala. "Tapi jangan benci pada petir, karena petir juga ada manfaatnya, Nona."

"Iyakah? Apa?" Tanya gadis kecil itu penasaran.

"Petir itu, bisa mempersihkan udara dari kuman dan bisa jadi sumber listrik alami." Ratih memberitahu. Shanaya hanya ber 'O' saja. "Jadi, kalau Nona ada di dalam rumah. Nona tidak perlu takut pada petir lagi. Ya?" Ucap Ratih yang dijawab anggukkan Shanaya.

Gadis kecil itu beringsut turun dari pangkuan Shanaya dan merangkak kembali menuju bantalnya. Menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal sampai ke batas dagu. Ratih beringsut mendekat sampai posisinya sejajar dengan perut putri majikannya. Ia mengusap wajah Shanaya lembut dengan tangan kirinya dan menepuk-nepuk paha Shanaya dengan tangan kanannya seraya menyenandungkan sesuatu.

Perlahan, Shanaya yang sudah mengantuk kembali tertidur dan kemudian terlelap dengan napas teratur.

"Dia sudah tidur?" Pertanyaan Shaka membuat Ratih sempat terlonjak kaget karena sebelumnya ia menduga kalau hanya ada dirinya dan Shanaya di kamar.

"Sudah, Tuan." Ucap Ratih kembali melirik Shanaya yang terlelap.

Dia mengambil handuk yang tadi dia letakkan di tepian tempat tidur dan berjalan menuju tempat Shaka berdiri.

"Ada yang perlu saya bantu, Tuan?" Tanya Ratih setelah berada cukup dekat.

"Pendengaranku bermasalah kalau hujan." Ucap Shaka yang membuat Ratih mengernyit. Ia bisa mengerti itu. Selama ini indera yang digunakan Shaka adalah indera pendengaran dan penciumannya dan suara hujan pasti menurunkan indera pendengarannya. "Dan kepalaku benar-benar sakit mendengar suara petir." Lanjutnya dan Ratih memperhatikan wajah pria itu memang pucat tidak seperti biasanya.

"Anda mau saya bantu kembali ke kamar?" Tanya Ratih menawarkan diri.

"Ya. Karena Naraga sudah pergi entah sejak kapan." Ucap pria itu mendengus kesal.

Ratih hanya mengangguk dan meraih tangan Shaka meletakkan telapak tangannya di pergelangan tangan Ratih sendiri. Tangan pria itu terasa basah dan dingin dan itu membuat Ratih mengernyit. Saat ia mendongak melihat wajah Shaka, dia melihat butiran keringat di dahi dan tengkuk pria itu.

Jelas, Shaka tidak baik-baik saja dan Naraga terlalu menyepelekan kondisi Shaka.

Ratih membuka kamar Shaka dan berjalan mendekati tempat tidur. Saat Shaka menjatuhkan tubuhnya di atas kasur yang empuk, Ratih mencari tisu dan kembali mendekat.

"Wajah Anda berkeringat, Tuan. Ini, tisu." Ratih meletakkan beberapa lembar tisu ke tangan Shaka berusaha sebisa mungkin tidak menyentuh pria itu karena takut pria itu tidak suka.

"Bersihkan." Ucap Shaka sementara ia meremas tisu yang Ratih letakkan di tangannya.

Ratih hanya mengangguk. Mengambil tisu yang lain dan mulai mengelap dahi Shaka dengan hati-hati. Saat ia membungkuk, Shaka bisa menghirup aroma rambut gadis itu dan juga sisa aroma sabun mandinya.

"Tuan bisa berbalik? Saya akan mengusap tengkuk Tuan." Ucap Ratih setelah ia selesai mengusap wajah dan leher Shaka."

"Tidak." Jawab Shaka datar sementara jantungnya saat ini berdebar dengan sangat kencang. Aroma tubuh Ratih. Hangat badannya. Membuat tubuh Shaka menegang dan menginginkan sesuatu.

Ratih tidak banyak bicara. Dia melangkah bergeser ke sisi tubuh Shaka dan mengusap tengkuk pria itu.

"Pakaian Anda basah, Tuan. Apa Anda mau menggantinya?" Ratih memperhatikan piyama Shaka yang memang sudah dibanjiri keringat.

"Ambilkan sesuatu." Perintah Shaka dan Ratih hanya mengangguk dan beranjak menuju kamar ganti. "Bawakan aku kaus." Teriak Shaka dari dalam kamar dan Ratih menuju bagian kaus dan mengambil salah satunya.

Ratih meletakkan pakaian tepat di samping paha Shaka. Ia kembali berdiri di depan Shaka dan meraih kancing piyama Shaka. "Anda ingin saya mengelap keringat Anda dulu?" Tawar Ratih yang ia tahu sisa keringat akan membuat tubuh tuannya tidak nyaman.

"Ya." Jawab Shaka masih dengan nada datarnya

Ratih menghentikan acaranya membuka kancing baju Shaka karena dia tidak mau majikannya itu masuk angin. "Tunggu sebentar, Tuan. Saya akan membawa handuk hangat dulu." Ucapnya dan melangkah menuju kamar mandi. Mengambil beberapa handuk kecil dan membasahinya dengan air hangat. Setelahnya ia kembali ke tempat tidur dan mulai melanjutkan membuka kancing piyama Shaka.

"Kau terbiasa mengurus orang sakit?" Tanya Shaka ingin tahu.

"Ya, Tuan." Jawab Ratih apa adanya. "Saya terbiasa mengurus keluarga saya dan juga nenek saya saat mereka sakit." Ratih selesai melepaskan kancing piyama dan sedang meloloskannya dari kedua tangan Shaka.

Ia berdiri di atas kedua lutut tepat di hadapan kaki Shaka yang terbuka dan mulai mengusap bahu pria itu.

Usapannya pelan dan tidak menyakitkan namun entah kenapa Ratih melihat Shaka mencengkeram tepian tempat tidur dengan sangat erat sampai jemari di kedua tangan pria itu memutih. Ratih juga melihat rahang Shaka mengetat dan otot-otot di sekitar leher pria itu mengencang.

"Tuan, apa yang sakit?" Tanya Ratih ingin tahu. Shaka membuka mata dan memandang tajam pada Ratih yang membuat Ratih merasa menyesal sudah bertanya karena dia melihat amarah di wajah majikannya.

"Kenapa kau menduga aku sakit?" Tanya Shaka dengan geraman pelan.

"I-itu. A-anu. Anda terlihat kesakitan." Ucap Ratih apa adanya.

"Lalu, kalau aku sakit. Apa kau mau mengobatinya?" Tanya Shaka masih dengan rahang yang terkatup rapat.

"Saya akan mencari obatnya." Ucap Ratih seraya bangkit dari duduknya.

"Siapa yang menyuruhmu berdiri?" Shaka mendongak, masih memandang Ratih dengan tajamnya yang membuat Ratih menelan ludah karena takut.

"Sa-saya akan mencari obat untuk Anda, Tuan."

"Jadi, kau akan mengobatiku?" Tanya Shaka dengan seringai di wajahnya.

"I-iya, Tuan."

"Baiklah, aku hanya menuruti perkataanmu." Dan tanpa Ratih duga pria itu menarik tangannya dan menjatuhkan tubuh Ratih ke atas tempat tidur dengan cepat. Dan sebelum Ratih sempat bereaksi pria itu menindih tubuhnya.

Ratih memberontak. Bayangan malam itu kembali masuk ke kepalanya dan ia kembali dibuat ketakutan.

"Kau mengatakan akan mengobatiku. Dan kau tahu kalau obat yang kubutuhkan itu tubuhmu."

"Ti-tidak, Tuan. Bu-bukan seperti itu maksud saya." Cicit Ratih dengan airmata yang mulai menggenang.

"Tapi itulah yang aku butuhkan sekarang. Dan kau tahu kalau mengabulkan keinginanku adalah hal yang wajib untukmu." Shaka meraba paha Ratih yang polos karena gadis itu hanya mengenakan celana yang sangat pendek. Ia menggeram saat merasakan kulit gadis itu yang lembab dan halus.

"Tu-tuan. Saya mohon.. jangan.." Rintih Ratih ketakutan. Namun Shaka mengabaikan ucapan gadis itu dan justru malah menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Ratih, mencoba menahan penolakan gadis itu yang terus berusaha mendorong dada dan bahunya supaya menjauh.

"Maafkan aku." Bisik Shaka di lekuk leher Ratih. Ia mengecup leher gadis itu lembut. Menjilatnya dan menghisap bagian belakang telinga Ratih dengan kuat yang membuat Ratih memberontak. "Aku tidak bisa menahannya lagi." Ucap Shaka seraya meraba kulit perut Ratih dan terus bergerak ke atas menuju payudaranya.

Entangled by Your CharmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang