Lasma membawa Ratih menuju kamar Shaka. Jelas, kamar itu tiga kali lebih besar dibandingkan dengan kamar yang Shaka tempati selama di villa. Bahkan kamar ganti dan kamar mandinya jauh lebih luas dan lebih mewah.
Lasma menunjukkan ulang dimana letak-letak barang milik Shaka dan bagaimana peraturan mencuci pakaian di istana Arsenio. Karena jika di villa Ratih menggunakan semua perabotan rumah tangga sendirian, disini perabotan rumah tangga digunakan bergiliran dengan para pelayan lain jadi setiap pelayan memiliki jadwal khusus per orangnya.
Lagi-lagi Ratih harus menghapal sesuatu yang sebenarnya bisa disebut tidak penting namun juga cukup penting untuk menghindari perselisihan antar pelayan.
Kamar Shanaya, ruang kerja, dapur khusus kediaman Shaka dan balkon serta ruang istirahat yang cukup luas dengan perabotan terbaru sudah sepenuhnya Ratih kelilingi. Sepertinya pekerjaannya akan lebih melelahkan karena ukuran tempat tinggal Shaka jauh lebih luas dibanding vila yang kemarin. Dan jika lantai satu dan dua memiliki beberapa pelayan yang bisa diajak bekerja sama, maka Ratih tidak bekerja bersama siapapun.
Tapi jujur, semua itu sepadan dengan bayaran yang didapatkan. Jika saja keadaannya normal, maka Ratih yakini dia akan bertahan bekerja di kediaman Arsenio. Sayangnya, yang Ratih kerjakan hanya sisa-sisa kewajiban dan pembayaran utang karena semuanya sudah ibunya gunakan.
"Ayo, makan siang dulu." Ucap Lasma dan membawa Ratih kembali turun ke bawah dimana percekcokan tengah terjadi di area tengah istana lantai satu.
"Jangan memfitnah, mana mungkin Neti melakukan itu pada Shanaya. Dia jelas menjaga Shanaya dengan baik." Suara itu asing bagi Ratih namun jika dinilai dari caranya berbicara bisa Ratih tebak kalau itu adalah suara dari ibu kandung Shanaya.
Ratih melirik Lasma tapi wanita itu sama sekali terlihat tak peduli dan memilih untuk terus berjalan seolah tidak terjadi apapun.
Ya, aturan pelayan. Apapun yang terjadi, jangan ikut campur. Kecuali memang jika majikan mereka berada dalam bahaya atau meminta pertolongan mereka.
Ratih berbelok ke salah satu pintu dimana dapur bersih berada. Disana ada dua orang pelayan wanita mengenakan seragam yang sama dengan Ratih. Ratih mengangguk sopan saat Lasma memperkenalkan mereka sebelum membawanya memasuki pintu lain menuju dapur yang ukurannya lebih besar dan memiliki perabotan lebih banyak. Disana, terlihat Toni dan Regi juga beberapa orang sedang makan di meja makan panjang yang memiliki sepuluh kursi.
Lagi-lagi Lasma mengenalkan Ratih pada semua orang dan jujur Ratih sendiri pusing harus menghapal setiap nama.
'Kenapa mereka tidak memakai papan nama saja supaya bisa kuhapal?' Tanya Ratih dalam hati. Jawabannya sederhana, karena Tuan mereka tidak perlu mengenali nama mereka saat memerintah.
Cukup menggunakan nama 'Hei' atau 'Kamu'. Atau 'Mbak', 'Mas' dan 'Bapak'.
Lasma berjalan menuju rak piring dan mengambilkan piring untuk Ratih. Setelahnya ia melangkah menuju tempat nasi dan lauk pauk berada. Mereka duduk di kursi yang kosong dan mulai makan.
Tanya jawab terjadi. Hal-hal yang umum dipertanyakan saat orang asing datang mulai Ratih dengar. Jelas semua orang tertarik padanya. Bukan karena suka, tapi mungkin untuk menjadikannya bahan pembicaraan di belakang.
Setelah selesai dengan makan siangnya, Ratih mencuci piringnya dan juga piring bekas Lasma dan setelah itu ia sendiri bingung untuk melakukan apa.
"Nyonya Neylan sudah membawa Nona Shanaya pergi." Pengumuman itu Ratih dengar saat seorang pelayan masuk lewat pintu dapur bersih. Saat melihat keberadaan Lasma, wanita itu tampak tersipu malu.
"Tak apa, kalian bisa bicara." Jawab Lasma lagi dan dia membawa Ratih pergi bersamanya.
"Pelayan songong bernama Neti itu sudah dipecat dan Milda dibawa untuk jadi pengasuh sementara." Pelayan bernama Elsa itu melanjutkan ceritanya.
"Dia gak akan tahan sama tingkah Nyonya Neylan." Sahut pelayan lain dan Ratih tidak mendengarkan pembicaraan mereka karena Lasma sudah membawanya pergi.
"Bersikap baiklah pada yang lain supaya kehadiranmu diterima disini." Ucap Lasma saat mereka sedang berada berdua di ruang penyimpanan. Lasma mengantar Ratih untuk mencari barang-barang yang dia perlukan.
"Entahlah, apa itu berguna?" Ratih mengajukan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. "Rasanya menjaga jarak adalah pilihan yang terbaik yang bisa kulakukan."
"Kenapa?"
Aku tidak tahu. Aku hanya memilih untuk menjaga jarak saja." Jawab Ratih jujur. "Aku tidak mau dekat dengan siapapun. Aku tidak mau terikat secara emosional." Lanjutnya seraya memasukan tisu ke dalam keranjangnya. Ya, Ratih seperti tengah berbelanja di minimarket pribadi saat ini.
"Sebegitu inginnya kamu keluar dari tempat ini? Padahal sebulan saja belum berlalu." Ucap Lasma dengan nada mengejek yang terdengar jelas.
"Waktu memang terasa lambat saat melihat ke depan. Tapi saat dijalani, dan saat menengok ke belakang, semuanya terasa singkat." Jawab Ratih datar.
"Kau benar." Jawab Lasma menunjukan senyum miring di wajahnya. "Tapi kenapa kau tidak menikmati saja semuanya? Memanfaatkan situasi yang ada. Kalau aku jadi kau, aku akan memeras Tuan Shaka karena memanfaatkan tubuhmu seenaknya." Lanjut wanita itu lagi.
Ini kali pertama mereka bertukar pikiran sejak Ratih bertemu dengan wanita itu.
"Kalau bisa, alih-alih memanfaatkan situasi, aku lebih memilih diijinkan pergi." Ucap Ratih kini memandang Lasma dengan tatapan datarnya. "Aku lebih ingin kebebasanku kembali. Aku lebih suka menjadi diriku sendiri."
"Memangnya sekarang kau menjadi siapa? Orang lain?" Tanya Lasma tersenyum geli.
"Aku menjadi jaminan untuk utang yang tidak aku pinjam. Aku menjadi tahanan atas hukuman dari kejahatan yang tidak aku lakukan."
"Tidak usah terlalu mendramatisir keadaan Ratih." Lasma menyeringai. "Aku tahu fisikmu, mentalmu tidak baik-baik saja. Tapi jika kamu memikirkan semua keburukan dari semua keadaan yang menimpamu saat ini, tubuhmu akan sakit dari dalam. Pikiranmu akan rusak dan lambat laun kau juga bisa menjadi gila.
"Alihkan fokusmu pada yang lain." Saran wanita itu tegas. "Tak perlu merepotkan apa pandangan orang lain. Tak perlu memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan. Toh kita belum tentu hidup dalam waktu yang lama.
"Manfaatkan saja momen ini. Nikmati semua yang ada di depanmu. Jadilah wanita licik dan cerdas. Menangisi keadaan tidak akan membahagiakanmu. Membenci orang-orang juga tidak akan membuat hidupmu lebih baik. Justru seharusnya kau bergaul dengan mereka, ambil hati mereka sehingga kedepannya jika ada kesusahan lain yang menghalangimu, ada orang-orang yang membantumu.
"Akrab dengan orang lain tidak berarti kau akan terikat secara emosional. Justru kalau kau mengenal orang lain itu membuat koneksimu luas.
"Berhenti berpikiran sempit dan terus menerus menangisi keadaan, Ratih. Karena itu hanya akan melelahkan dirimu sendiri.
"Kamu pikir kalau kamu terus bersedih orang akan bersimpati?" Tanya Lasma dan wanita itu menggelengkan kepala atas pertanyaannya sendiri. "Simpati itu hanya berlaku hitungan menit, jam atau hari. Selanjutnya tetap kita yang menangisi diri kita sendiri.
"Tapi jika kau berpikir dengan cara pandang yang lain. Apa yang sebelumnya kau tangisi bisa jadi bahan tertawaanmu sendiri. Apa yang kau anggap kesalahan bisa jadi kekuatan. Apa yang kau anggap memalukan bisa jadi sebuah pengalaman.
"Ingatlah, kebanyakan orang nyinyir karena iri. Khususnya iri pada kebahagiaan orang lain. Dan daripada jadi orang yang dikasihani, lebih baik jadi orang yang membuat orang lain iri.
"Mereka tidak perlu tahu lukamu, sakitmu, kesusahanmu. Kau hanya perlu menunjukkan sisi terbaikmu. Percayalah, itu lebih baik daripada ditatap penuh kasihan. Aku pernah merasakannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Entangled by Your Charms
Roman d'amourRatih yang putus asa meminta bantuan teman lamanya untuk mencarikannya pekerjaan. Dia ingin pekerjaan dengan gaji yang besar meskipun itu membuatnya harus bekerja keluar negeri sebagai seorang pelayan. Namun siapa yang menyangka kalau tanpa sepenge...