Part 31 - Bau

2.1K 109 6
                                    

Ratih membuka mata dan melihat langit-langit yang terasa asing. Ia mengernyit dan bangkit dari tidurannya hanya untuk menyadari kalau saat ini dia berada di kamar majikannya.

'Apa yang terjadi?' Tanyanya bingung seraya memijit dahinya sendiri. Ingatannya kembali pada saat dia berada di taman. 'Ular?' Ratih mengerutkan dahi. 'Ya, ular.' Tadi Shanaya meneriakkan kata ular dan karena panik Ratih melompat hendak membawa Shanaya namun karena pening yang ia rasakan, ia malah merasa dunia berputar dan semuanya berubah menjadi gelap.

'Apa tadi aku pingsan?' Tanyanya lagi seraya bangkit dari duduknya. 'Berapa lama?'

Ratih mencari jam di kamar Shaka namun tidak menemukannya. Dia lupa kalau Shaka tidak suka dengan suara detakan detik jam dinding biasa. Dan pria itu juga mengatakan tidak butuh jam digital karena dia tidak bisa melihatnya. Biasanya pria itu melihat waktu dengan menggunakan jam tangan pintarnya.

Enggan berpikir lama-lama dan membuatnya menghabiskan waktu sia-sia, Ratih memilih untuk merapikan tempat tidur Shaka. Ia mengangkat bantal dan mencium aroma shamponya yang bercampur dengan pewangi pakaian yang biasa mereka gunakan.

'Apa lebih baik aku menggantinya saja?' Tanya Ratih pada dirinya sendiri karena meskipun ia tidak mencium bau yang tidak menyenangkan tidak berarti Shaka juga tidak akan menciumnya. Ratih tidak boleh lupa kalau indera penciuman Shaka lebih sensitif dibandingkan dirinya.

Ya, bisa saja saat pingsan tadi keringat Ratih menempel di bantal Shaka. Ia bisa saja tidak menciumnya tapi siapa yang tahu Shaka bisa membauinya. Dan jelas, mengingat perangai Shaka yang perfeksionis namun gampang emosi itu Ratih tidak mau mengambil resiko dimarahi.

Tepat saat Ratih hendak menarik lepas sprei, pintu kamar dibuka dan sosok Shaka muncul disana.

"Kamu sudah bangun?" Tanya pria itu dengan alis menyatu. Kedua matanya mengarah tepat dimana Ratih tengah berdiri. Membuat bulu-bulu halus di sepanjang lengan dan lehernya meremang.

"Baru saja, Tuan." Jawab Ratih serak. Ia berdeham untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

"Bukannya disana ada air minum? Aku menyuruh Lasma untuk meletakkan air putih disana." Ucap Shaka seraya melangkah mendekat.

Ratih menoleh dan baru menyadari kalau disana, di atas nakas memang ada botol air mineral yang masih tersegel. Tapi sekalipun ia menyadari keberadaannya sejak tadi, Ratih tidak akan berani membukanya karena menduga kalau itu adalah milik Shaka.

"Buka dan minumlah." Perintah pria itu.

Ratih mengangguk dan meraih botol itu karena faktanya dia memang sangat kehausan. Suara plastik disobek dan suara patahan pengunci botol saat segel dibuka paksa masuk ke pendengaran Shaka. Begitu juga suara tegukan saat Ratih membasahi tenggorokannya, terdengar jelas di ruang kamarnya yang hening itu. Shaka menarik sudut mulutnya tak kentara.

"Apa kau tidak lapar? Jam makan siang sudah berlalu dua jam yang lalu." Ucapan Shaka itu membuat Ratih membulatkan mata.

'Jadi, aku tidak sadarkan diri selama dua jam? Itu bukan pingsan namanya, itu tidur.' Kesal Ratih pada dirinya sendiri.

"Maaf, Tuan. Saya tidak tahu kalau saya pingsan selama itu." Cicit Ratih malu.

"Apa aku mengeluhkannya?" Tanya Shaka dengan sebelah alis terangkat. Pria itu kini duduk dekat dengan salah satu kaki kasur. Berada tiga langkah jauhnya dari tempat Ratih berdiri. "Aku tidak mempermasalahkan kau pingsan atau tidur. Aku bertanya apa kau lapar?" Pria itu kembali bertanya dengan nada ketusnya.

"Sedikit, Tuan." Jawab Ratih berbohong. Karena kini, setelah ditanya yang dia rasakan bukan hanya sedikit lapar, tapi sangat lapar. Namun ia jelas tidak akan mengakui hal itu pada majikannya dan kembali mendapatkan kalimat ketus kan?

"Kalau begitu, pergilah. Minta makan siang yang baru pada Lasma."

"I-iya, Tuan. Saya akan melakukannya nanti." Ucap Ratih seraya kembali meletakkan botol di atas nakas dan kembali hendak menarik seprai lepas dari kasur.

"Nanti?" Tanya Shaka dengan mata memicing tajam. "Memangnya apa yang kau lakukan sampai kau akan pergi menemui Lasma nanti?" Lagi-lagi suara Shaka terdengar begitu tajam dan kasar.

"Saya mau mengganti seprai Anda terlebih dulu, Tuan." Ratih memberitahu.

"Kenapa kau melakukannya?" Tanya Shaka ingin tahu.

"Sa-saya tidak mau bau keringat saya menempel disini dan membuat Anda kesulitan tidur." Ucap Ratih terpaksa menelan ludahnya susah payah karena kini Shaka berjalan mendekat ke arahnya dengan langkah tegapnya dan auranya yang membuat Ratih ketakutan.

"Apa aku memintamu untuk melakukannya?" Tanya pria itu hampir seperti desisan.

"Ti-tidak Tuan. Ta-tapi.." Ratih berusaha memalingkan wajah tapi dia tidak mampu. Tatapannya terkunci pada ekspresi wajah Shaka yang mengeras.

"Tapi apa?" Tanya Shaka yang kini sudah berada di depan Ratih. Ratih mendongak, memandang tuannya dengan ekspresi takut sementara sang tuan kini menunduk ke arahnya menatapnya dengan sorot mengancam.

"Sa-saya hanya takut..."

"Membuatku kesulitan tidur karena mencium sisa aroma tubuhmu?" Potong Shaka geram tepat di depan wajah Ratih yang membuat Ratih mengangguk pelan. "Tidak perlu repot menggantinya, karena malam ini kau juga akan mencium aroma tubuhmu disini." Bisik Shaka seraya meraih pinggang Ratih dan menariknya mendekat. Ratih menahan pekikannya, kedua tangannya terangkat di udara berusaha untuk tidak mendorong dada majikannya. "Malam ini, tempat tidur ini akan beraroma keringat kita berdua dan kau jelas tidak bisa menolak itu." Ucapnya dengan nada mengancam yang membuat mata Ratih berkaca-kaca karena ketakutan.

Malam ini dan tempat tidur. Dua kata yang jelas Ratih tahu akan mengarah kemana dan hal itu membuat sekujur tubuh Ratih meremang karena takut.

Dan ya, suka atau tidak, Ratih tidak punya hak untuk menolaknya karena sekalipun dia tidak menginginkannya, tubunya sudah menjadi milik pria itu.

"Kenapa kau tidak menjawabku, Ratih?" Bisik Shaka dingin seraya mencengkeram pinggang Ratih kuat.

"I-iya, Tuan." Jawab Ratih terbata dengan suara tercekat dan sebisa mungkin menahan airmatanya. "Sa-saya tidak akan menolak." Ucapnya lagi.

"Bagus." Shaka tersenyum dan melepaskan pinggang Ratih begitu saja. "Sekarang, siapkan tenagamu. Makan yang banyak karena aku tidak tahu berapa banyak tenaga yang akan kukuras darimu malam ini." Lanjutnya dengan nada mengancam.

Ratih tidak banyak bicara. Bahkan tanpa pamit ia pergi meninggalkan Shaka secepat yang ia bisa, berusaha lari menjauh dari Shaka tanpa menimbulkan suara.

Napasnya memburu, airmatanya sudah tidak bisa ia tampung lagi. Mengabaikan keberadaan Naraga dan Lasma, Ratih masuk ke satu-satunya kamar mandi terdekat dan mengunci dirinya di dalam. Menumpahkan airmata ketakutannya disana.

Lasma yang tengah membuat adonan pai dan Naraga yang saat itu tengah duduk di kursi bar menatap Ratih bersamaan sebelum keduanya saling menatap penuh arti dan sama-sama menggelengkan kepala.

"Apa susah untuknya menggunakan bahasa baik-baik?" Tanya Lasma pada suaminya. "Bukankah dia pria berpendidikan tinggi? Kenapa sulit sekali baginya untuk bicara dengan jujur dan mengatakan kalau dia membutuhkan tubuh Ratih untuk memenuhi hasratnya. Toh Ratih juga bukan gadis yang tidak sadar diri. Dia sudah tahu siapa dirinya dan apa yang harus dilakukannya disini. Tidak perlu mengancamnya atau menggunakan kata-kata kasar dan membuat gadis yang sudah menderita itu semakin tersiksa dengan rasa takut.

"Demamnya bahkan belum sembuh dan lihatlah dia? Bukankah mantri itu juga bilang kalau Ratih tidak boleh stress? Kalau Tuan terus bersikap seperti ini padanya, bukannya malah mencintai bisa-bisa Ratih malah membencinya." Komentar Lasma tajam.

"Mungkin memang itu yang Tuan Shaka inginkan. Dia tidak mau dicintai." Ucap Naraga kepada istrinya.

Lasma memandang suaminya dengan sebelah alis terangkat yang dibalas suaminya dengan sebuah senyuman manis. Lantas Lasma berdecih dan memutar bola matanya.

"Jangan membodohiku, pria tua. Kita sama-sama tahu kalau duda kaya itu sudah mulai tertarik pada si gadis desa bayarannya." Ejeknya sebelum melangkah menjauh meninggalkan Naraga dan mulai menghangatkan makanan untuk si gadis desa yang entah kapan keluar dari acara mengurung dirinya.
______________________

Gimana? Cukup seru gak??
Komen ya

Entangled by Your CharmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang