Part 38 - Istana Arsenio

953 68 0
                                    

Mobil yang ditumpangi Ratih masuk ke sebuah gerbang tinggi yang terbuka secara otomatis.

Istana. Batin Ratih saat melihat bagunan super besar yang ada di hadapannya. Jelas ratusan tahun hidup pun Ratih tidak akan bisa membangun gedung sebesar dan semewah itu. Bahkan mungkin harga satu pilar bangunan yang berdiri kokoh di hadapannya jauh lebih mahal daripada rumah yang kini dihuni orangtuanya.

Mobil yang membawa Shanaya, Naraga dan Shaka berbelok ke bagian depan istana sementara mobil yang ditumpangi Ratih dan Lasma terus melaju ke bagian samping istana dan berhenti tepat di tempat dimana jejeran mobil-mobil mewah berada.

Beberapa pelayan pria berseragam keluar dari sebuah pintu dan mendekati mobil yang ditumpangi Ratih. Masing-masing dari mereka menurunkan koper dari bagasi yang dibuka secara otomatis oleh supir.

Mereka bersiul menggoda saat tahu Lasma tidak sendirian.

"Siapa nih? Karyawan baru?" Seloroh salah satu pria muda berperawakan tinggi berkulit hitam manis dengan mata memandang Ratih jenaka.

"Ratih. Asisten Tuan Shaka." Jawab Lasma dan mendengar itu si pemuda langsung terdiam dan memberikan senyum kikuk.

Jadi, sekarang mereka akan tahu siapa Ratih dan apa pekerjaan 'khususnya'. Karena jelas saat Lasma menyebutkan kata 'asisten', sekalipun diucapkan tanpa penekanan tapi tetap membuat pelayan lain tahu apa artinya.

"Saya Toni." Pria satunya lagi yang sama bertubuh tinggi dan tegap mengulurkan tangan pada Ratih untuk mengajak berkenalan.

"Ratih." Jawab Ratih datar.

"Dia Regi." Ucap Toni menunjuk temannya yang tadi hendak menggoda Ratih. Pria itu melambaikan tangannya dan tersenyum tipis yang juga Ratih tanggapi dengan senyum tipisnya.

Ratih tidak ingin bersikap sombong. Mereka pelayan dan dia juga pelayan. Mereka berada di kasta yang sama. Hanya saja Ratih memang tidak ingin dekat dengan siapapun. Sebisa mungkin dia ingin menjaga jarak dari semua orang karena setelah satu tahunnya berlalu, dia ingin pergi meninggalkan semua ini tanpa pernah lagi menoleh ke belakang.

Ratih membawa tasnya sendiri dan mengikuti Lasma yang membawanya ke bangunan yang terpisah cukup jauh dari istana utama.

"Ini kediaman para karyawan." Lasma menjelaskan.

Ratih memperhatikan bangunan dua lantai yang berbentuk huruf U dimana sisi kiri dan kanan terdapat masing-masing lima pintu sementara untuk bagian paling ujung yang menghadap ke arah masuk dibuat sebagai dapur umum karena Ratih melihat alat-alat masak lengkap dengan lemari es, dispenser dan perlengkapan dapur lainnya.

Bagian tengah ruang bawah yang kosong juga difungsikan sebagai ruang santai bersama karena selain sofa, ada televisi berukuran sangat besar lengkap dengan speakernya.

"Kamu bisa menggunakannya kalau ingin menonton. Bangunan utama cukup jauh dari sini jadi kalau kalian ingin berpesta sesekali, tidak akan sampai ke rumah utama." Lasma menjelaskan. Ratih hanya mendengarkan saja.

"Di lantai satu ini, kebanyakan diisi oleh pelayan yang sudah berkeluarga yang membawa anggota keluarga mereka kesini." Lasma menunjuk salah satu pintu yang terbuka dimana seorang wanita tengah menyetrika sementara anak kecil yang Ratih duga masih berusia bulanan tengah tertidur di atas karpet tak jauh dari ibunya. "Beberapa dari mereka ada yang juga ikut bekerja disini, beberapa yang lainnya tidak." Lanjut Lasma seraya membawa Ratih menaiki tangga. "Kalau kamu nanti tidak betah tinggal sendiri dan ingin membawa keluargamu kemari, kamu tinggal meminta ijin dan biaya hidup mereka akan dipotong dari gajimu."

Memangnya siapa yang bisa Ratih bawa? Neneknya jelas tidak akan betah tinggal terkurung di tempat seperti ini. Ibunya? Jelas Ratih tidak akan mau membawanya. Siapa yang akan menjamin kalau kehidupan Ratih akan baik-baik saja jika ibunya ada disini. Bahkan jika ada lowongan pekerjaan untuk ibunya atau mungkin untuk ayahnya sekalipun, Ratih tidak akan memberikan informasi itu.

Entangled by Your CharmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang