Part 27 - Shanaya

1K 73 4
                                    

Sampai sejauh ini, gimana ceritanya? Membosankan kah? Jangan lupa ⭐ dan komennya ya
___________________________
Ratih menghela napas panjang, setitik airmata jatuh ke pipinya tanpa dia ingini. Mengusap wajahnya kasar dan meneriakkan ucapan "Terima kasih." pada Lasma yang sudah kembali berkutat dengan masakannya, Ratih mengangkat piring nasinya dan mulai menghabiskan makanannya.

Ratih masuk ke kamar Shanaya saat jarum jam sudah menunjuk pada angka enam. Menarik napas panjang, Ratih membuka pintu dan berusaha untuk mengendalikan emosinya.

Sekalipun dia marah dan membenci Shaka atas apa yang sudah diperbuat pria itu terhadapnya, Shanaya tetap hanya seorang anak yang tidak berdosa dan tidak perlu menanggung beban atas kesalahan yang dilakukan orangtuanya.

"Selamat pagi, Nona." Sapa Ratih seraya menyalakan lampu kamar dan mendekati tempat tidur. Ia meletakkan mug tahan panas kecil berisi air hangat di atas nakas tepat di samping buku dongeng yang semalam dibacanya sebelum duduk di tepian tempat tidur dan mengusap kepala Shanaya dengan lembut.

"Sudah waktunya bangun, membersihkan diri dan sarapan." Ucapnya menarik selimut dari tubuh Shanaya.

Bukannya terbangun, gadis itu malah berguling di atas tempat tidur dan kembali memeluk boneka kesayangannya.

"Nona.." Bujuk Ratih seraya mengusap rambut tembaga Shanaya dan menyingkirkan helaian yang menutupi wajahnya. "Papa menunggu untuk sarapan sebentar lagi." Bisiknya membalikkan tubuh Shanaya.

Masih dalam keadaan mengantuk, gadis kecil itu menggeliatkan tubuhnya dan mengerang. Mengerjap memandang Ratih dengan ekspresi cemberutnya yang lucu. Pikiran gadis kecil itu tampak belum terfokus.

"Ayo, minum dulu airnya." Ratih membuka penutup mug dan mendekatkannya pada bibir gadis kecil itu. Shanaya meminum dalam dua tegukan dan kemudian memalingkan muka. "Mau mandi?" Tawar Ratih pada Shanaya yang menjawab dengan gelengan kepala. "Mandi air hangat? Saya siapkan bak mandinya." Tawar Ratih lagi dan lagi-lagi dengan mata mengantuk Shanaya menganggukkan kepala.

Ratih berjalan ke kamar mandi yang ada di dalam kamar gadis itu. Mengisi bak mandi dengan air hangat dan tentu saja tidak lupa dengan sabunnya yang beraroma buah-buahan. Ia berjalan menuju lemari dan mengambil pakaian ganti untuk Shanaya sambil menunggu bak terisi penuh. Setelah mematikan air, ia kembali kepada Shanaya yang kembali berbaring dan menutup mata. Sambil menggelengkan kepala, Ratih melepas satu persatu pakaian gadis kecil itu hingga yang tersisa hanya kaus dalam dan celana dalamnya. Setelah itu, dia menggendong tubuh Shanaya ke kamar mandi seraya melempar pakaian kotor gadis itu ke keranjang cucian.

Rasanya alami, bukan begitu? Ya, karena memang Ratih terbiasa mengasuh anak kecil. Ingat bagaimana ia bercerita tentang masa remajanya dulu saat ia menginginkan uang jajan? Ya, hal ini termasuk kebiasaannya.

Ratih melepas sisa pakaian yang ada di tubuh Shanaya dan membimbing gadis kecil itu untuk masuk ke dalam bak mandi. Kemarin sore, dia tidak terlalu memperhatikan tubuh mungil gadis itu selain apa yang terlihat diluar pakaiannya. Namun saat ini Ratih sadar kalau beberapa warna kuning yang samar terlihat itu tampak seperti bekas memar.

"Nona, ini kenapa?" Tanya Ratih pada bagian dalam paha Shanaya yang warnanya sedikit kuning kecoklatan. Shanaya seketika menutup kedua kakinya dan menggelengkan kepala. "Apa Nona dicubit seseorang?" Tanya Ratih ingin tahu. Gadis kecil itu kembali menggelengkan kepala.

Ratih tidak memaksa. Namun saat ia teliti lebih jauh lagi, bekas berwarna kuning kecoklatan itu bukan hanya berada di paha dalam saja, namun juga di bagian dalam lengan. Jelas ini bukan sisa memar karena benturan atau pukulan. Tapi tampak seperti sisa cubitan yang dilakukan di area-area yang memang jarang terlihat. Ratih menyadari itu karena dulu saat ia kecil ibunya seringkali mencubitnya di area-area yang tidak mudah terekspos.

Tapi pertanyaannya, siapa yang sudah melakukan hal ini pada putri majikannya?

Tentu saja kecurigaan Ratih yang pertama itu tertuju pada ibu kandung Shanaya. Dan kecurigaan kedua ada pada pengasuhnya. Sementara kecurigaan yang ketiga, bisa jadi kekerasan ini berasal dari teman sekolahnya. Itu bukannya tidak mungkin kan?

Tapi pertanyannya sekarang adalah, apakah dia harus peduli? Apakah dia perlu menanyakan hal ini lebih detail? Apa manfaatnya?

Memang tidak ada manfaatnya bagi Ratih. Tapi minimal dia bisa membantu gadis kecil yang tidak berdosa ini. Ratih tahu bagaimana sakitnya, dan sebisa mungkin ia tidak mau orang lain merasakan hal yang sama. Selama ia bisa membantu, jadi kenapa tidak.

Ratih tidak memaksa Shanaya untuk bicara saat itu juga, tapi nanti dia akan perlahan-lahan bertanya sampai ia mendapatkan jawaban yang pasti siapa yang sudah berani menyakiti gadis kecil yang tidak berdosa ini. Semenyebalkannya seorang anak, mereka bisa dididik dengan lembut, bukan dengan kekerasan seperti ini.

Setelah membasuh tubuh Shanaya, Ratih membawa gadis kecil itu kembali ke kamar. "Nona bisa pakai baju sendiri?" Tanya Ratih ingin tahu. Bocah kecil itu menganggukkan kepala. "Kalau begitu, Nona pakai bajunya sendiri dan saya akan membereskan tempat tidur Nona. Boleh?" Tanya Ratih yang lagi-lagi dijawab anggukkan Shanaya.

Dengan cepat Ratih membereskan tempat tidur gadis kecil itu sambil sesekali ia memperhatikan Shanaya yang tampak agak kesulitan saat menarik legging tebalnya. Setelah berhasil mengenakan sweater hangat dan juga celana pendek diluar legging, barulah Ratih kembali mendekat. Berdiri di belakang gadis kecil itu untuk membantunya mengeringkan rambut.

Ratih dan Shanaya tidak banyak bicara namun Ratih menyadari kalau gadis kecil itu tengah memerhatikannya lewat cermin meja rias di hadapan mereka. Mungkin gadis itu tengah berpikir apakah ia bisa mempercayai Ratih atau tidak.

Setelah selesai dengan rambutnya, Ratih mengoleskan pelembab wajah anak dan bedak sebelum menempelkan jepitan cantik di rambut gadis itu. Tepat pada pukul tujuh, Shanaya sudah keluar menuju ruang makan dengan tampilan yang segar dan wangi khas anak-anak sementara Ratih sendiri sibuk membereskan sisa mandi sang putri majikan.

"Selamat pagi, Papa." Shanaya mengecup pipi ayahnya yang sudah duduk di meja makan di halaman belakang, persis seperti yang mereka lakukan kemarin. Sisa-sisa hujan yang membasahi tanah dan rumput tampaknya tidak mengganggu mereka.

Shaka memeluk tubuh gadis kecilnya dan sadar kalau Shanaya tercium segar. Ia cukup heran juga dibuatnya karena tahu kalau Shanaya biasanya cukup rewel jika disuruh mandi pagi. Apalagi daerah ini jelas lebih dingin dibandingkan dengan kota tempat mereka tinggal.

"Pagi, Sayang. Kamu sudah mandi?" Tanya Shaka ingin tahu.

"Udah, Papa. Kak Ratih yang mandiin Naya tadi." Ucap gadis kecil itu dengan polosnya dan menerima tawaran Naraga untuk mengolesi roti tawarnya dengan selai coklat.

Mendengar nama Ratih, salah satu bagian tubuh Shaka menegang. Tadi pagi, saat ia membuka mata ia pikir Ratih tidak akan bekerja karena mungkin gadis itu tidak mau melihatnya atau membuat beribu alasan untuk menghindarinya. Namun kemudian, Naraga muncul dan mengingatkan kalau Ratih tidak akan mengurusi Shaka karena Shaka sendiri yang meminta gadis itu untuk mengurus putrinya saat putrinya ada disini. Dan meskipun enggan Shaka akui, ia merasa tidak suka karena fokus Ratih tidak lagi padanya.

Entangled by Your CharmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang