Part 29 - Ular

1.1K 85 6
                                    

Denyutan di kepala Ratih berubah menjadi rasa pusing yang membuat pandangan matanya berkunang. Terlebih ditambah sengatan matahari yang semakin meninggi dan juga pola gambar yang ada di depannya, Ratih merasa mual.

Ia meletakkan pensil gambarnya dan berhenti mewarnai. Memilih untuk menutup bukunya dan membuat Shanaya memandangnya dengan tatapan heran.

"Kenapa? Kakak bosan?" Tanya Shanaya heran.

Ratih tersenyum dan menggelengkan kepala namun kemudian membuatnya menyesal karena membuat kepalanya terasa melayang. Shanaya memperhatikan Ratih dengan seksama dan gadis itu menarik beberapa lembar tisu dan menyerahkannya pada Ratih.

"Kakak keringetan. Apa kakak kepanasan?" Tanya gadis kecil itu seraya memandang cardigan tipis yang Ratih kenakan.

Ratih mengusap dahi dengan menggunakan tisu yang Shanaya berikan. Namun Shanaya salah menduga. Ratih tidak kepanasan, tubuhnya saat ini justru sedang meriang dan keringat yang muncul di dahinya itu adalah keringat dingin, bukan keringat karena kegerahan.

"Saya ambil minum dulu ya, Nona. Nona mau saya ambilkan apa dari dapur?"

"Jus boleh?" Tanya Shanaya dan Ratih menganggukkan kepala. Dia menyebut buah-buahan apa saja yang tersedia di lemari es dan Shanaya mengebutkan jus yang dia mau.

"Tunggu sebentar, biar saya buatkan." Shanaya mengangguk dan Ratih melangkah masuk ke dalam villa, terus menuju dapur dimana Lasma tengah berkutat dengan bahan makan siang.

"Apa Nona Shanaya meminum jus dengan gula?" Tanya Ratih seraya mengeluarkan buah stroberi dari dalam lemari es.

"Gula dan susu." Jawab Lasma dan Ratih membuka toples gula putih dan mengeluarkan susu kental manis dari dalam lemari penyimpanan.

"Es?"

"Jangan terlalu banyak."

Dan Shanaya memasukkan sedikit es kotak ke dalam blender lalu mulai menggilingnya.

Aroma masakan yang tengah dipersiapkan oleh Lasma membuat mual yang sejak tadi dirasakannya semakin menguat. Sesuatu terasa naik ke tenggorokannya. Ratih membungkam mulutnya dan berlari menuju kamar mandi dan mengunci dirinya sendiri lalu muntah hebat disana.

Tidak ada yang keluar selain cairan bening dan sedikit warna merah karena tenggorokannya yang terluka. Sarapan paginya tampaknya telah dicerna dengan baik sehingga tidak menyisakan apa-apa.

Ratih keluar sambil mengusap dahinya yang kembali berkeringat dingin.

"Kamu sakit?" Lasma kembali mengulangi pertanyaan yang ia ajukan tadi pagi.

"Sedikit tidak enak badan." Jawab Ratih dengan enggan. "Mungkin masuk angin." Lanjutnya.

"Kalau begitu, minum ini." Lasma mengeluarkan jamu sachet berwarna kuning dari dalam lemari yang Ratih kenali sebagai jamu untuk masuk angin. Dia mengangguk dan meminumnya tanpa bantuan air setelah itu kembali pada jusnya.

Ia lupa, tadi dia ke dapur karena hendak meminum obat sakit kepala. Tapi karena sudah lebih dulu meminum jamu penangkal masuk angin itu, akhirnya dia membatalkan minum obat sakit kepalanya namun tetap memasukkan obat itu ke saku seragamnya.

Jamu itu hanya memberikan rasa hangat di dada Ratih sejenak. Sementara lambungnya masih terasa mual dan kepalanya justru terasa terlalu ringan. Saat ia kembali ke tempat Shanaya, pandangannya justru menjadi semakin berkunang.

'Kalau aku meminta ijin untuk istirahat, apakah Tuan Naraga akan mengijinkannya?' Tanya Ratih dalam hati, namun dia enggan untuk bertanya secara langsung karena takut dimarahi dan dianggap manja sebab meminta istirahat hanya karena masuk angin. Tapi kondisi tubuhnya saat ini sangat sulit untuk diajak bekerja sama sampai-sampai Ratih sendiri hampir tak bisa berkonsentrasi karenanya.

Shanaya menghabiskan jus stroberinya. Tampaknya gadis kecil itu menyukai makanan manis dan itu membuat Ratih tersenyum.

Setelah bosan dengan acara mewarnai, Shanaya mengajak Ratih untuk kembali bermain ayunan seperti kemarin dan meskipun dengan berat hati, Ratih menyetujui keinginan Shanaya.

"Saya gak ikut duduk ya, Nona. Dan Nona juga nanti jangan tinggi-tinggi ayunannya." Pinta Ratih dan meskipun cemberut karena Ratih tidak akan menerbangkannya tinggi-tinggi, Shanaya hanya mengangguk.

Mereka bermain selama beberapa saat. Shanaya memekik kegirangan saat Ratih melambungkan ayunan ke udara. Pekikannya kembali sampai ke ruang kerja Shaka yang membuat Naraga membuka jendela ruang kerja majikannya.

Namun ada yang aneh. Perlahan suara pekikan senang itu berubah menjadi teriakan panik.

"Ular!" Teriakan Shanaya membuat Shaka dan Naraga mematung sejenak. Naraga seketika berlari keluar dari ruang kerja, memanggil seseorang dengan menggunakan handy talkienya dan meninggalkan Shaka sendirian yang kembali mendengar teriakan panik Shanaya. "Kakak! Awas itu ular!"

Frustasi dengan kondisinya yang tidak bisa bergerak cepat sebagaimana seharusnya. Shaka bergantung pada tongkat di tangannya supaya bisa mencapai halaman belakang secepat yang dia bisa.

Saat ia sampai di halaman belakang, teriakan Shanaya tentang ular sudah tidak terdengar. Namun kini gadis kecilnya tampak memanggil nama Ratih dengan panik.

"Shanaya?" Panggil Shaka dan seketika tubuhnya ditabrak dan kakinya dipeluk oleh tangan kecil Shanaya dengan sangat erat. Tubuh gadis kecil itu gemetar hebat.

"Kak Ratih.." Isaknya saat Shaka berjongkok menyetarakan tubuhnya dengan sang putri.

"Apa ular itu menggigitnya?" Tanya Shaka panik entah pada siapa. Sementara Shanaya, gadis kecil itu memeluk lehernya dan menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Shaka dengan tubuh yang gemetar ketakutan dan tangis yang tak juga berhenti sehingga membuat Shaka mau tak mau merasa semakin cemas karenanya. "Kenapa kalian tidak menjawab?!" Bentak Shaka marah. "Jawab! Apa ular itu menggigitnya?!" Bentakannya membuat tangisan Shanaya berhenti seketika.

"Tenang, Tuan." Naraga mencoba menenangkan.

"Bagaimana bisa aku tenang?! Anakku berteriak karena ada ular, dan gadis itu. Dia tidak bersuara. Apa yang terjadi padanya?" Tanyanya saat menyadari hening di sekelilingnya kecuali isakan Shanaya

"Ratih pingsan." Naraga memberitahukan. "Tapi itu bukan karena gigitan ular." Lanjutnya cepat.

Shaka mengernyitkan dahi. "Kalau bukan karena ular, lalu karena apa?"

"Itulah yang sedang kami cari tahu." Jawab Naraga dengan nada datarnya. "Bawa dia ke kamarnya." Perintah Naraga pada seseorang yang tidak Shaka tahu siapa.

"Siapa yang kau suruh bawa siapa?" Tanya Shaka geram. Pria itu tiba-tiba saja berdiri dari posisinya semula.

"Risman, Tuan. Anda tentu kenal penjaga villa kita. Saya tidak mungkin menggendong Ratih sendiri. Saya sudah tua, kalau Anda lupa."

"Jangan berani-berani menyentuhnya." Perintah Shaka pada Naraga meskipun ia tidak tahu dengan jelas dimana tepatnya pria itu berdiri saat ini karena ia kesulitan berkonsentrasi. Indera pendengarannya terganggu oleh debar jantungnya sendiri yang membuat telinganya berdengung dan nyeri.

Naraga memandang Risman yang baru saja berjongkok dan memintanya untuk mundur dengan kode kepala.

"Kalau begitu, apa Anda yang akan membawanya kembali ke kamarnya?" Tanya Naraga dengan nada menantang sekaligus mencemooh majikannya itu.

"Ya. Aku yang akan membawanya." Ucap Shaka tegas. Ia menurunkan tubuh Shanaya, mengusap wajah putrinya dan menghapus airmatanya seraya menggumamkan kata "Ratih akan baik-baik saja." Yang diangguki oleh Shanaya. Setelahnya ia bergerak mendekati Ratih dengan meminta bantuan Naraga.

Ia kemudian berjongkok, berdiri di atas kedua lututnya dan meraba kepala Ratih serta bagian belakang lutut gadis itu. Dengan hati-hati Shaka kembali berdiri, mencoba menyeimbangkan tubuh Ratih yang ada dalam pangkuannya sebelum melangkah pasti. Bukan menuju kamar Ratih yang ada di paviliun belakang, melainkan menuju kamarnya sendiri.
______________________________________

Cukup sekian,, jangan lupa ⭐ dan komennya

Entangled by Your CharmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang