Part 2 - Shaka

1.5K 90 1
                                    

"Aku tidak bisa tidur belakangan ini." Ucap Shaka pada psikiaternya. "Bisakah Anda meningkatkan dosis obat tidurku?"

Shaka tidak bisa melihat ekspresi pria yang selama lima tahun ini menjadi tempatnya mencurahkan isi kepalanya. Sebagai gantinya dia mengernyitkan dahi dan menolehkan kepala ke arah dimana dia yakin pria itu berada.

"Saya tidak bisa memberikan Anda tambahan dosis, Tuan Shaka." Nada suara pria itu terdengar lelah di telinga Shaka. Jika pria itu lelah, bagaimana dengan dirinya? Tanya Shaka pada dirinya sendiri. "Anda tahu kalau efek samping obat tidur itu bukan hanya overdosis, tapi ada bahaya lainnya yang mengancam diri Anda."

"Tapi saya tidak bisa tidur. Meskipun saya buta, bukan berarti saya tidak perlu membedakan siang dan malam kan?" Tanyanya dengan ketus.

"Saya tahu. Anda tidak perlu terus mengulangi hal itu. Anda tahu kalau mengucapkan hal seperti itu tidak akan menyembuhkan insomnia Anda." Ucap dokter itu lagi.

"Lalu saya harus bagaimana?" Tanya Shaka masih dengan nada ketusnya.

"Ikuti saran saya. Berhenti bekerja dan beristirahatlah untuk sementara waktu. Hindari juga mengkonsumsi kopi terlalu banyak. Anda harus membuat tubuh Anda relaks dan salah satunya adalah dengan liburan. Menyepi sejenak ke pedesaan tanpa memikirkan pekerjaan. Anda tentunya memiliki orang-orang yang Anda percaya untuk mengurus semua pekerjaan Anda, kan?" Tanya Dokter itu lagi dengan penuh penekanan yang membuat Shaka mencebik.

"Aku tidak bisa begitu saja melepaskan semua pekerjaanku kepada mereka."

"Tapi kamu sudah melakukannya selama lima tahun terakhir ini, Shaka!" Kali ini suara si dokter terdengar menggeram kesal. "Ayolah sobat, berhenti membuat dirimu sendiri sakit." Lanjutnya dengan nada memelas. "Selama lima tahun ini semuanya baik-baik saja dan bahkan usahamu semakin berkembang pesat karena kerja kerasmu dan orang-orang kepercayaanmu itu. Alasan apalagi yang akan kau gunakan untuk menyembuhkan dirimu sendiri.

"Tubuhmu perlu istirahat. Otakmu juga. Kau harus sadar dengan kondisimu. Bagaimana bisa matamu membaik kalau kau terus menekan syarafmu dengan ini dan itu."

"Seolah mataku bisa sembuh saja." Ucap Shaka mencebik.

"Kau tahu kalau kau bisa sembuh, Shaka. Kau hanya perlu melakukan operasi..."

"Yang kemungkinan berhasilnya hanya dua puluh persen." Lanjut Shaka sebelum sahabat sekaligus psikiater pribadinya itu melanjutkan. "Aku tidak cukup bodoh untuk menyerahkan diriku ke meja operasi dan keluar dalam keadaan bukan hanya buta tapi juga tak bernyawa." Ucapnya ketus. 

Shaka tahu kalau sahabatnya itu kini tengah menggelengkan kepala. Dia masih mengingat wajah itu meskipun sudah lima tahun ini dia menjalani hidupnya hanya dengan warna gelap yang melebihi gelapnya langit di kala malam.

"Kau terlalu pesimis." Ucap Azfar, sahabatnya.

"Lalu kau pikir aku harus bagaimana lagi? Optimis?" Tanyanya ketus. "Setidaknya operasi kornea atau donor kornea masih memiliki kemungkinan yang cukup membuat orang-orang berani melakukannya. Sementara aku?"

Shaka yakin saat ini Azfar tengah mengusap wajahnya karena kesal dan bingung harus bicara apa. Shaka hanya berdiri dan menjauh dari kursi yang dia duduki. Melangkah dengan percaya diri menuju kaca jendela besar yang ada di dalam kamarnya.

Ya, untuk sekilas khususnya untuk orang yang pertama kali melihatnya tidak akan menduga kalau Shaka mengalami kebutaan karena langkahnya yang tetap tegap. Namun untuk orang-orang terdekatnya, mereka tahu kalau Shaka tidak bisa melihat meskipun pria itu berusaha untuk menyembunyikannya pada umum.

Sudah lima tahun lamanya Shaka bersembunyi dan tidak lagi menunjukkan dirinya di depan publik. Ia masih menjadi pemimpin di perusahaannya, namun ia tidak pernah lagi muncul di hadapan mereka. Kalaupun ada rapat penting, Shaka lebih memilih untuk melakukan rapat dengan cara konferensi lewat video dan itupun ia menggunakan alat bantu dengan laporan berbentuk tulisan braille dan juga headset kecil ditelinga yang tersambung pada panggilan kelompok antara dirinya, Naraga—kepala rumah tangga kepercayaannya—dan juga Rengga, pria yang menjadi asisten paling terpercayanya saat ini.

Menyembuhkan diri? Memangnya Azfar pikir apa yang selama ini Shaka lakukan dengan bersembunyi? Dia melakukan itu karena dia ingin menyembuhkan dirinya. Dia tidak mau mendengar bisik-bisik orang-orang di belakangnya yang menatapnya kasihan jika ia berjalan menggunakan tongkat. Dia juga tidak mau dianggap seorang yang tak mampu. Dia ingin membuat mentalnya tetap sehat, namun faktanya, kala malam tiba semua pikiran-pikiran yang ingin ia hilangkan tetap saja mampir dan membuat matanya yang sudah tak bisa lagi memandang cahaya itu tak jatuh dalam lelap.

"Pergilah ke pedesaan. Sekalipun kamu tidak bisa melihat hijaunya pemandangan, kamu bisa menikmati suasananya yang tenang dan udaranya yang bersih. Tidak usah memainkan musik klasik sebagai pengiring tidur. Dengarkan saja suara-suara alam, aku yakin kau akan lebih tenang." Ucap Azfar dengan suara yang cukup dekat.

"Kemana aku harus pergi?" Tanya Shaka tanpa menoleh ke arah samping dimana sahabatnya sudah berdiri mendampingi.

"Kemanapun. Mungkin Pak Naraga bisa membantumu menemukan sebuah tempat yang tenang dimana kamu bisa tinggal tanpa ada satu orangpun yang mengenalimu." Ucap Azfar lagi seraya meremas bahu Shaka dengan cukup kuat.

"Aku akan memikirkannya." Ucap Shaka pada akhirnya. Dia merasakan sebuah gerakan dan ia yakin Azfar sedang mengangguki perkataannya.

"Kalau begitu, aku pergi." Ucap Azfar dan Shaka hanya memberikannya anggukkan kecil yang ia yakin akan dilihat oleh pria itu.

Shaka mendengar pintu kamarnya diketuk beberapa menit setelah Azfar meninggalkannya. "Anda mau makan malam sekarang, Tuan?" Itu suara Naraga. Pria paruh baya yang Shaka percayai untuk mengurus urusan penting. Pria yang sudah tiga puluh dua tahun mengabdikan dirinya untuk menjaga Shaka dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri persis seperti keinginan tuannya yang terdahulu, mendiang ayah Shaka.

"Apa menu makan malam malam ini?" Tanya Shaka tanpa membalikkan tubuhnya. Naraga menyebutkan satu persatu menu makanan yang dibuatkan chef khususnya dan Shaka menganggukkan kepala. "Siapkan meja di halaman belakang. Aku ingin makan malam diluar ruangan." Ucapnya dan melangkah mendekati pintu kamarnya, berjalan menuju tempat yang tadi disebutkannya. Tentu saja dengan langkah tegap dan percaya dirinya.

Sudah menjadi kebiasaan Shaka makan malam berdua dengan Naraga. Hanya Naraga satu-satunya pria yang Shaka ijinkan untuk dekat secara pribadi dengannya setelah keluarganya. Ya, kalau Shaka masih bisa menyebutnya keluarga mengingat selama ini ibunya ataupun keluarganya tidak memperlakukannya layaknya anak selain mesin pencetak uang.

Setelah kecelakaan yang menimpanya lima tahun yang lalu, tidak ada perhatian yang mereka berikan pada Shaka. Dan Shaka sendiri bosan mendengar kata 'kasihan' yang sering mereka layangkan padanya setiap kali mereka berada di ruang yang sama. 

Itulah sebabnya, selama empat tahun terakhir ini, terutama setelah perpisahannya dengan wanita itu, Shaka memilih untuk mengurangi mengunjungi ibunya. Kalaupun ada urusan yang mereka anggap penting, Shaka lebih memilih untuk membiarkan Naraga yang menyelesaikannya. Toh hal yang mereka anggap penting itu tak lain tentang uang, uang dan uang. Bukan semata-mata karena mereka peduli akan keadaan Shaka yang buta dan sendirian.

"Azfar menyarankanku untuk berlibur dan mencari tempat yang tenang." Ucap Shaka seraya meletakkan alat makannya di atas piring yang sudah kosong.

"Kemana, Tuan?" Tanya Naraga ingin tahu.

"Entahlah,mungkin ke sebuah tempat yang tenang dan sejuk. Tempat dimana aku tidak dikenali. Tempat dimana aku bisa menyembuhkan diri." Ucapnya dengan nada datar seraya menyesap red wine kesukaannya.

"Berapa banyak pelayan yang Anda inginkan?" Tanya Naraga ingin tahu.

"Jangan terlalu banyak dan carikan aku pelayan yang baru. Satu pun cukup. Tapi dia mau harus bekerja satu kali dua puluh empat jam. Dia harus menjagaku dan melayaniku setiap saat." Ucapnya dengan senyum mengejek di wajahnya. "Aku bosan dengan wajah lama, jadi aku ingin suara yang baru. Kamu bisa mendapatkannya, kan?" Tanyanya dengan tatapan mengarah pada Naraga yang hanya berupa bayangan gelap. Ia yakin pria paruh baya itu tengah menganggukkan kepala ke arahnya.

"Akan saya carikan." Ucap Naraga dengan tegas. "Apa Anda ingin hunian yang luas?"

"Tidak. Cukup hunian yang sederhana. Jangan terlalu banyak perabotan karena aku tidak suka. Cukup hunian satu lantai dengan halaman yang membuatku tidak bisa didekati." Lanjutnya dan ia yakin kalau Naraga kembali menganggukkan kepalanya. "Lakukan dengan cepat." Perintahnya lagi.

"Akan saya lakukan, Tuan." Ucap Naraga dan setelah itu Shaka bangkit dari duduknya dan kembali ke kamarnya tanpa menggunakan bantuan apapun. Lagi-lagi, orang tidak akan menganggapnya buta jika melihat bagaimana tegaknya ia saat melangkah. 

Entangled by Your CharmsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang