Ratih terbangun dengan tubuh yang terasa letih. Rasanya seluruh bulu halus di tubuhnya meremang. Ia meriang, kepalanya berdenyut nyeri dan itu semua adalah akibat dirinya yang tidak berhenti menangis di bawah pancuran air selama berjam-jam tadi malam.
Ratih bangkit dari baringannya. Jelas sepanjang malam ia tidak bisa tertidur karena memikirkan masa depan yang dirasanya kelam.
'Apakah nanti, setelah keluar dari tempat ini aku bisa menikah?' Itu kecemasannya yang pertama. 'Adakah pria yang akan menerimaku yang sudah tidak perawan lagi?' Itu kecemasannya yang kedua. 'Haruskah aku mengelabui calon suamiku kelak dan mengatakan kalau aku masih perawan? Tapi kalau dia tahu, apa yang akan dia lakukan? Apa dia akan menceraikanku dalam hitungan hari karena pasti menurutnya aku wanita yang tidak punya harga diri. Atau haruskah aku mengaku sebagai janda? Tapi apa dia akan percaya karena aku tidak memiliki sertifikat perceraian.'
Kecemasan-kecemasan itu pada akhirnya membuat Ratih tidak bisa tertidur. Ia ketakutan akan masa depannya sendiri yang sebenarnya tidak pasti.
'Apa seseorang bisa mati karena hilang keperawanan?' Tanya Ratih pada dirinya sendiri. Berpikir bahwa bunuh diri adalah cara tercepat untuk menyingkir dari dunia dan dari orang-orang yang selalunya bersikap kejam padanya. Ibunya yang selalu menilai segalanya dengan uang. Ayahnya yang dengan sikap diamnya malah menyakiti Ratih. Dan Shaka? Dia adalah pria yang sudah membuat semua luka Ratih semakin menganga.
'Tuhan, seberapa sombongnya aku sampai aku bersedia menerima takdir ini saat Engkau hendak membuatku lahir dari rahim ibuku?' tanya Ratih sedih.
Konon katanya, sebelum manusia lahir ke dunia, Tuhan memerintahkan malaikat-malaikatnya untuk menunjukkan pada si manusia masa depan apa yang akan dia miliki jika dia terlahir dari rahim seseorang dan memastikan apakah si manusia itu mampu untuk menjalaninya atau tidak.
Dan Ratih rasa, dia adalah salah satu makhluk Tuhan yang sombong karena menantang dirinya sendiri dan bersedia lahir dari rahim Fitri yang nyatanya saat ini dia merana atas nasib pilihannya, menangisi takdirnya sendiri.
'Kapan aku akan lepas dari belenggu kesakitan ini, Tuhan?' Tanya Ratih pilu.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki, Ratih bangkit dari baringannya. Membereskan tempat tidurnya dengan lelah sebelum kemudian mengganti pakaiannya. Ia merasa tidak perlu lagi untuk membersihkan diri. Jika Shaka merasa tubuhnya bau, Ratih tidak peduli. Ia membenci pria itu. Sekalipun pria itu adalah majikannya, sekalipun dia pria yang berkuasa atas nasibnya saat ini. Ratih tetap membencinya.
Tapi diantara rasa sakitnya, Ratih tak bisa mengutuk pria itu. Dia tidak mau menyumpahi Shaka dengan doa-doa yang buruk karena neneknya selalu mengatakan kalau doa yang buruk akan kembali pada dirinya sendiri kelak. Namun mendoakan kebaikan untuk Shaka pun jelas Ratih tak mampu.
'Semoga saja dia pada akhirnya sadar kalau menyentuhku adalah hal yang menjijikkan.' Hanya itu satu-satunya doa yang Ratih rasa aman.
Ratih keluar dari kamarnya lengkap dengan seragam kerjanya. Namun kali ini ia menambahkan cardigan diluarannya karena udara dingin pagi ini terasa lebih menusuk jika dibandingkan hari-hari lalu.
Ratih melangkah menuju dapur dimana Lasma sedang membuat sarapan. Wanita itu mendongak sedetik sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.
"Kamu sakit?" Tanya wanita itu dengan nada tak acuh.
"Tidak." Jawab Ratih datar. Enggan mengakui kalau bukan hanya tubuhnya yang sakit tapi juga hatinya. 'Apakah Lasma tahu apa yang terjadi denganku tadi malam?' Tanya Ratih dalam hati. Ia melirik wanita yang sedang memunggunginya saat ini kemudian menggelengkan kepala. 'Kalaupun dia tahu, apa bedanya. Toh sejak awal dia dan juga Tuan Naraga tahu kalau hal ini cepat atau lambat akan terjadi.' Ratih menjawab pertanyaannya sendiri.
"Terima saja. Inilah takdir kita sebagai orang miskin." Ucap wanita itu seolah mendengar pertanyaan yang berkecamuk di kepala Ratih. "Terpaksa takluk pada orang yang punya kuasa. Kalau kamu merasa tak adil, kamu bisa pergi. Tapi kamu tahu sendiri konsekuensinya." Lanjutnya yang meskipun dikatakan dengan nada datar tetap merupakan sebuah peringatan yang membuat Ratih tak bisa berkutik.
Ratih tidak menjawab. Dia masuk ke dapur dan mengambil panci untuk mendidihkan air. Rasa-rasanya minum teh manis hangat pagi ini akan membuat tubuhnya lebih enak.
Mengabaikan Lasma, Ratih membawa teh hangatnya ke pintu keluar yang ada di samping dapur dimana sebuah kursi kayu berada dan duduk disana hanya untuk melihat lembah yang seharusnya hijau masih berselimut kabut. Beberapa cahaya kuning samar terlihat seperti sebuah titik. Ratih mendongak, menunggu langit yang semula biru gelap berubah jadi sedikit kuning.
Apakah ketenangan dan kesunyian yang Ratih lihat saat ini benar-benar dirasakan oleh orang-orang yang tinggal di lembah itu? Tanya Ratih dalam hati.
Ratih memang berasal dari desa, tapi desa tempat ia tinggal bukan daerah yang benar-benar terpencil, jauh dari peradaban dan tidak tersentuh teknologi karena daerah tempat dimana ia tumbuh besar itu merupakan jalur provinsi yang memiliki jalan lebar beraspal dan sering didatangi orang-orang dari kota besar karena juga merupakan tempat persinggahan.
Jadi semua informasi bisa mereka tahu. Dan semakin lama semakin banyak warga desanya yang pergi merantau ke kota atau bahkan ke luar negeri untuk menjadi tenaga kerja wanita sehingga setiap kali mereka kembali, mereka membawa hal-hal baru bagi warga desa yang memilih untuk tinggal.
Sementara desa yang Ratih perhatikan kini. Ratih menduga kalau itu merupakan desa yang cukup tertinggal. Bahkan jika dilihat dari lampu yang berada dalam jarak yang cukup renggang, Ratih rasa daerah itu tidak sepadat penduduk desa Ratih.
Mungkin disana para tetangga tidak akan saling memanas-manasi jika tetangga lain memiliki alat elektronik baru. Para pemudanya tidak akan saling bersaing memiliki kendaraan baru. Mungkin di lembah itu tidak akan ada orang yang berkumpul untuk minum minuman keras.
Kebanyakan masyarakatnya pasti bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan seadanya. Anak-anaknya mungkin pergi bersekolah dengan berjalan kaki bersama teman-teman seusianya. Dan setelah pulang sekolah mereka akan bermain bersama di halaman rumah. Entah itu main masak-memasak dengan memotong daun-daunan yang mereka petik atau sekedar bermain bola bekel dan lompat tali. Atau hal-hal yang dulu saat kecil Ratih lihat teman-temannya lakukan.
Ya, pasti ada beberapa orang dari sekelompok orang itu yang pada akhirnya menginginkan lebih dan ingin mengubah hidup sehingga mereka memilih untuk berhijrah ke kota besar seperti keinginannya dulu. Tapi Ratih pikir, hidup di kampung terpelosok mungkin lebih banyak yang menikmati hidup damai dan tenang.
Andai saja dia punya banyak uang. Ratih rasa dia benar-benar akan memilih menyembunyikan diri di tempat terpencil suatu saat nanti. Mungkin dia akan bekerja di sawah atau di ladang. Kecil penghasilannya, tapi minimal cukup untuk dirinya sendiri dan mungkin untuk neneknya jika beliau mau ikut pergi bersamanya.
Ratih bisa hidup melajang dengan uang yang dia miliki tanpa perlu memedulikan orang lain. Dia tidak perlu menikah dan memiliki anak. Jika ada yang bertanya, katakan saja kalau dia sudah pernah menikah tapi suaminya meninggal dan dia tidak mau menikah lagi karena terlalu mencintai suaminya.
Tapi ya, itu hanya angan. Perlu banyak waktu baginya untuk bisa memiliki tabungan, apalagi untuk menjadi kaya.
"Makanlah." Lasma meletakkan nasi putih dengan sup iga bening yang masih mengepul. "Isi tenagamu. Jangan sampai sakit." Ucapnya seraya kembali masuk ke dalam dapur.
____________________________Jangan lupa ⭐ dan komennya ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Entangled by Your Charms
RomanceRatih yang putus asa meminta bantuan teman lamanya untuk mencarikannya pekerjaan. Dia ingin pekerjaan dengan gaji yang besar meskipun itu membuatnya harus bekerja keluar negeri sebagai seorang pelayan. Namun siapa yang menyangka kalau tanpa sepenge...