Yang Lebih Kental dari Darah

290 17 10
                                    

Di bulan agustus, di Ibukota. Matahari gencar-gencarnya menyinari jantung dari negara Dwipantara kita ini tanpa pamrih sedikitpun. Begitu pula dengan pagi yang harusnya indah berseri dengan sedikit polusi ini, harus runyam terutama untuk seorang pria bernama Simo Dwipara. Pria berambut gondrong acak-acakan seperti habis tersengat listrik genset acara kelurahan tersebut, tergopoh-gopoh keluar dari depan kosnya sembari masih mengenakan kemeja hitamnya yang tak beraturan.

Ia pun mencoba untuk menyalakan motor kesayangannya dengan tergesa-gesa..

"Mbokne ancokkk kabeh. Gak ono seng nggugah aku seh su (Dasar Sialan semua. Kok tidak ada yang bangunin aku sih). Daftar ulang  kampus kan terakhir jam 10 hari ini" Gerutunya sambil tetap mencoba menyalakan SuSter.

Setelah beberapa menit, ia pun langsung menggeber motornya dengan kencang menuju kampusnya.

Sementara itu di salah satu kamar kos lantai satu, terlihat beberapa orang gadis sedang berkumpul.

"Kasian tau, ci. Simo jadi kek gitu" Ucap Fiony pelan.

"Hahaha. Biarin, biar tau rasa. Salah dia juga dari kemarin dia kek ngegampangin gitu, ya kan ci? " Jawab Lyn

"Ya gitudeh. Emang gaada berubahnya tuh anak. Selalu mepet-mepet, ga disiplin" Timpal Shani.

"Terus, ngapain kalian masih kumpul dikamarku gini. Ayo keluar, sempit tau" Gerutu Gita.

Mereka bertiga pun hanya tersenyum tipis,

Tak lama kemudian datanglah seseorang yang mengetuk pintu depan kos Jangkar Selatan.

"Kulonuwunn.. " Ucap orang itu.

Shani pun keluar dan menatap heran dua orang yang ada disana.

"Ehh, Jumadi. Ada apa Jum?? " Tanya shani

"Cih, nggak samean, gak simo kalo manggil Jam-Jum-Jam-Jum. Namaku ini Adi, mbak" Ucapnya sedikit kesal.

"Lhaiya. Jumadi kan?? " Balas Shani.

Jumadi hanya mendengus kesal,

"Yawis, mbak. Ini ada yang kosong ta kosannya? Kerabatnya Kang Teja mau kos disini soalnya" Ucap Jumadi sambil menepuk lengan pria disebelahnya.

Shani pun memandangi pria tersebut.  Seorang pria tinggi besar dengan kulit putih khas Ras kaukasoid. Sangat jarang dijumpai di negara ini. Apalagi dengan mata birunya.

Melihat ia ditatap seperti itu, pria tinggi tadi pun mengulurkan tangannya,

"Ik Rudwig van Zijl, dari Negeri kincir angin. Ik bisa bahasa sedikit-sedikit, walaupun belum lancar" Ucapnya.

Shani pun menjabat tangan pria itu, namun ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Seperti sebuah sengatan kecil,

"Ehh, aku Shani. Bentar yaa, aku panggil Randhu dulu, dia yang ngurusi lantai tiga soalnya. " Ucap Shani lalu kembali masuk.

Betapa kagetnya Shani, saat masuk ia sudah menjumpai Randhu di ruang tamu lantai satu.

"Bule ta Shan?? " Tanya Randhu.

Shani pun mengangguk

"Yawis, suruh tinggal sini ae gapapa. Sekalian kita awasi" Ucap Randhu tenang.

Randhu pun keluar dan berbincang dengan Jumadi dan Rudwig. Setelah beberapa saat mereka pun masuk.

"Ayo, mas. Tak tunjukin kamarnya" Ucap Randhu mengantarkan Rudwig ke lantai tiga meninggalkan Shani yang masih terdiam di ruang tamu.

*POV SIMO

Motif dan Seni dari CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang