Badai ditengah Jalan

245 16 0
                                    

Di sebuah sore menjelang Sandhyakala, terdapat sosok pria muda yang sedang duduk bersila di sebuah halaman rumah sambil mengatur nafasnya. Ia terlihat khidmat melakukan samadhinya, hingga tak memperdulikan asap polusi yang mungkin sedang memenuhi sekitarnya.

Tak lama kemudian, pemuda tersebut membuka matanya dan menyudahi sikap teratainya. Ia turun dari lincak bambu tempatnya tadi untuk masuk ke dalam rumah, namun sebelum melanjutkan langkahnya, seorang pria tua dengan tongkat khasnya berjalan keluar dari rumah menuju ke pemuda tersebut.

"Piye, nyo?? Wes luweh enak kan awakmu?? (Bagaimana, nyo?? Sudah lebih enak kan badanmu?) " Tanya pria tua tersebut dengan rokok klembak menyan yang setia menempel di bibirnya.

"Uwes(sudah), dhe. Aku izin balik ke temen-temen dulu ya" Ucap pemuda tersebut.

"Ra usah sek. Wes dalu, mene awan ae koe balik o, paranono kanca-kancamu iku. (Tidak usah dulu. Sudah malam, besok siang saja kamu balik, samperin tuh temen-temenmu) "

Pemuda tersebut hanya menghela nafasnya,

"Yo, aku balik mene. Samean tak terke pisan ora nag Stasiun?? (Ya, aku kembali besok. Anda saya antarkan sekalian ke stasiun apa tidak??)"

"Ga usah, nyo. Aku ada urusan lagi sama Teja. Kamu aja balik yang ati-ati. Jok gelut maneh ae raimu (jangan bertengkar lagi kamu) "

"Yawis, dhe. Aku tak masuk dulu mau ambil rokok"

"Yo, aku juga mau keluar bentar ini. Oiya, jangan lupa nanti jamunya kamu minum ya, udah kubikinin tadi. " Ucap pakde Roso sambil berjalan keluar halaman rumah dengan tongkatnya.

Simo pun hanya mengacungkan jempolnya untuk membalas pesan dari Pakde Roso.

*POV Simo

Saat ini aku berada di sebuah rumah di daerah pojok Ibukota. Rumahnya tipe rumah lama, akupun heran kenapa bisa ada rumah seperti ini ditengah kemoderen an Ibukota. Jika kau bertanya padaku sudah berapa lama aku berada disini, mungkin aku akan berkata dua bulan lebih. Pastinya aku tidak tahu secara detail, mengingat aku hanya membawa tubuhku kemari.

Setelah kejadian di parkiran itu, aku langsung di bawa kemari oleh Pakdhe ku yang paling edan, dia adalah Pakdhe Roso. Kakak dari mendiang Romoku ini memang ra umum (gak wajar), biasanya aku tak menuruti apa kemauannya. Jangankan menurutinya, berbicara sopan kepadanya saja aku enggan. Tapi entah kenapa aku merasa harus mengikuti kemauannya kali ini.

Ketidakwajaran pakdhe ku ini sudah sangat dimaklumi oleh keluarga besarku. Dandanannya yang nyentrik yaitu, blankon dan kumis tebal layaknya Pak Raden di serial Si Unyil, lengkap dengan surjan dengan bawahan kain batiknya, ia bahkan lebih mirip dengan priyayi-priyayi yang berperan dalam drama sandiwara di televisi. Tapi dibalik keanehan busananya, ia merupakan satu-satunya pria di generasi ayahku yang masih mendalami ilmu kanuragan serta kebathinan yang sudah turun temurun dari leluhurku.

Sangat berbeda denganku, mbak Shani sangat mengagumi sosok Pakdhe Roso yang notabenenya merupakan saudara jauh dari Mbak Shani. Bahkan sampai sekarang, mbak shani kurasa tetap melakukan meditasi anjuran dari pakdheku ini. Jadi, akupun tak heran jika selama disini, tak ada teman-teman yang mencariku, mungkin mbak Shani sudah menenangkan mereka.

Aku berjalan masuk ke dalam rumah untuk menuju ke dapur, dan kulihat sebuah gelas berisi minuman hijau pekat. Ya itu adalah ramuan khas dari keluargaku, yang sebenarnya aku tak tahu fungsinya. Tapi, sepertinya ramuan itu bisa menyembuhkanku dengan lumayan cepat. Ramuan ini mirip dengan apa yang aku minum di Rumah Sakit kala itu, hanya saja warnanya lebih pekat. Soal rasanya, ini lebih pahit daripada kisah-kisah hidup lelaki yang satu generasi denganku, hehe.

Setelah minum, akupun menuju ke teras lagi untuk bersantai. Tak lama kemudian aku mendengar suara motor yang sangat kukenal. Jancuk, ini suara SuSter, kangen banget rasanya. Ternyata SuSter masih ada, hehe.

Motif dan Seni dari CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang