Tak ada yang Semurni Arak

137 17 4
                                    

*POV Simo

Saat ini aku ada disalah satu gedung tua yang ada di pinggiran Ibukota. Jauh dari kos Jangkar selatan dan jauh pula dari Universitasku.

Aku menyesal telah melukai tiga wanita yang berharga bagiku, Mbak Shani dan juga Seruni. Bahkan Gracia pun masih pingsan saat aku bawa ia ke kamarnya tadi, tepat setelah mengobati luka-luka yang ada entah kenapa.

Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, hanya saja saat peristiwa itu berlangsung yang kudengar di kepalaku hanyalah tentang dendam dan bunuh. Pandanganku begitu merah saat itu, hampir sama ketika kejadian dengan anak buah Gunarto waktu itu. Hanya saja kali ini, aku tak bisa melihat apa yang kulakukan.

Hingga sebuah pelukan hangat dan bisikan dari Gracia yang menyadarkanku,

"Mereka semua ini tidaklah pantas untuk menerima amarahmu" Ucapnya sebelum ia pingsan waktu itu.

Jujur aku marah dengan Damar, tapi yang kusesalkan adalah Cynthia yang tak memberikanku penjelasan apapun. Sepertinya ia sengaja untuk membuatku salah paham. Toh setelah tadi, ia lebih memilih untuk merawat Damar dari pada menanyai kabarku.

Pria brengsek itu memang terluka, tapi tidak taukah dirimu, Cyn. Bahwa hatiku jauh terluka lebih dalam.

Akupun merogoh sakuku untuk mengambil rokok. Siall, ternyata tadi itu batang terakhir.

Andai aku tadi membeli stok rokok seperti biasanya, bukan malah membeli bunga yang tak tahu bagaimana sekarang nasibnya.

Andai aku tak menyia-nyiakan beberapa bulan ini untuk membatik. Demi melihat senyummu yang ternyata bukan hanya untuk aku

Andai aku tak mengenalmu, Cyn. Yang membuatku memendam rasa amarah dan takut seperti saat ini

Andai saja aku tak berkuliah disini.

Andai saja aku ikut bersama Bunda....

Jancokk. Andai-andai taek asu. Aku cuma butuh sigaret kali ini. Atau mungkin sebotol arak beras tak akan melukai siapapun.

Akupun melangkah menuju suster yang kuparkir dibawah gedung kosong ini. Dan langsung menuju ke salah satu warung sembako.

"Bu, Samsunya tiga." Ucapku.

Setelah membayar dan mendapatkan rokokku, aku pun menuju ke salah satu bottleshop yang pernah aku tahu lokasinya dari Sella waktu itu.

Ya sella bercerita bahwa ia juga kerap minum sendiri untuk melepas penatnya. Hanya saja yang kita minum jelas berbeda. Jika yang diminum oleh Sella adalah pria nyetil dengan topi dan tongkat yang ia gunakan untuk berjalan, sedangkan yang akan kupesan adalah,

"Mbakk. Topi Miring nya dua ya" Ucapku ke penjaga kasir.

"Ga pake mixernya mas?? Di sini ada macem-macem kok, dari soda sampai sari buah-buah an"

Aku hanya menggeleng,

"Sudah ada kok mbak campurannya"

Terlihat wajah si kasir keheranan, akupun menjawab.

"Rasa sakit hati, itu campurannya" Ucapku lalu menyelesaikan pembayaranku.

Ya topi miring, sebuah hal lumrah bagi masyarakat Kota Pendidikan, jika sakit hati maka Topi Miring lah obatnya. Sebuah vodka lokal yang rasanya membakar leher, lambung, bahkan duka nestapa dan kekecewaan yang teramat dalam.

Tadinya aku ingin mencari arak lokal, tapi karena minim informasi, hanya inilah yang bisa kudapat. Lagipula sudah lama aku tak menenggaknya.

Akupun memacu SuSter menuju gedung kosong tadi. Ya, malam ini akan kutenggak sendirian disini. Persetan siapa yang mengganggu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Motif dan Seni dari CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang