Hidup Ini Terlalu Banyak SamSoe

232 18 2
                                    

Disebuah malam yang indah di Kota Liwet tepatnya di sebuah Stasiun dengan nama yang cukup terkenal, terdapat dua orang pria paruh baya yang sedang menuntun seorang pemuda dengan tangan yang masih terborgol rapat.

Langkah mereka bertiga sangatlah cepat, karena tak ingin di kenali dan ditanyai oleh orang sekitar.

"Jancukk, dhe. Mbok yo iki di lepas dulu. Aku kok koe bawa-bawa kaya pedhet mau disembeleh gini" Ucap Si Pemuda.

"Ash. Cangkeman. Kalo aku copot pasti kamu ngacir kayak pedhet beneran" Ucap Roso, salah satu pria paruh baya yang menggunakan tongkat untuk berjalan.

"Matane, yawis. Seenggaknya makan dulu, dhe. Aku wis kaliren dari kemarin ga makan. Kita mampir di Pasar Legi dulu, yoo?? " Ucap sang pemuda memelas.

"Nanti aja makannya, di Keprabon" Ucap Sukmo datar.

"Ehh, sebentar Dhimas. Bener Simo, aku yo laper eh. Mampir dulu aja" Ucap Roso.

"Kang, ini wis jam sembilan malem. Kasihan biyung kalo nunggu lagi" Ucap Sukmo.

"Ayolah pakdhe. Samean ndak kasihan ta sama aku. Aku sudah lama lho gak ke Kota Liwet, kangen sama Sate Jamu. " Ucap Simo sang Pemuda memelas.

"Nahh bener kui. Biyung pasti sudah tidur. Besok aja ketemunya" Ucap Roso

Sukmo pun hanya menghela pelan nafasnya,

"Sak karepmu" Ucap Sukmo sedikit geram

Simo pun mengulurkan kedua tangannya,

"Kalo gitu dibuka dong. Malu gasih kalo dilihat orang, hehe" Ucap Simo

Tampak keraguan muncul di wajah dua bersaudara itu,

"Aku bersumpah wis. Demi Bundaku Dyah Bajradewi dan Romoku. Aku gak akan balik ke Ibukota" Ucap Simo lantang.

Kedua saudara itupun saling berpandangan dan mengangguk, akhirnya borgol di tangan Simo pun dilepas.

"Ayooo. Aku datangg Sate Jamuu" Ucap Simo penuh semangat

Mereka bertiga pun melanjutkan perjalanannya.

Di malam yang sama di Ibukota, tepatnya di Kos Jangkar selatan. Suasana begitu sunyi dan tenang. Tak ada suara maupun aktifitas apapun, selain Gracia yang terduduk melamun di teras depan.

Ia memandangi bulan yang tak berada pada bentuk sempurnanya, sebuah senandung yang melantunkan tembang True Love Waits dari Radiohead keluar dari mulut seorang Shania Gracia.

Tak lama kemudian, Gita pun keluar dari pintu depan. Ia terlihat sedang berpakaian rapi.

"Ga masuk, gre??. Bukannya dingin yah disini" Ucapnya basa-basi ke Gracia.

Gracia hanya menatap kosong ke arah gita.

"Nggak git. Lebih dingin di sini" Ucap Gracia seraya menunjuk dada sebelah kirinya.

Gita pun hanya menghembuskan pelan nafasnya.

"Daripada bengong gitu, ikut aku yuk. Aku mau nongkrong sama anak-anak fakultas." Ajak gita

Gracia hanya menggeleng pelan,

"Malas" Ucapnya datar dan singkat

"Hmmm. Aku traktir deh kamu mau makan apa aja, banyak pastrie-pastrie enak lho disana" Ucap Gita.

Gracia pun diam sejenak, lalu beranjak dari duduknya.

"Bentar git, aku ganti baju dulu" Ucapnya singkat.

Gita hanya menggeleng-geleng pelan melihat tingkah sahabatnya itu. Beruntung sekali jika makanan manis bisa membuat gracia berhenti memikirkan Simo sejenak.

Motif dan Seni dari CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang