Sore itu, di sebuah kedai kopi yang sunyi, Jennie duduk memandangi jendela dengan tatapan kosong. Rintik hujan yang lembut membasahi kaca, seakan menjadi latar sempurna bagi pikiran-pikiran yang berkecamuk di dalam hatinya. Dari balik meja, datanglah Jisoo, berjalan dengan langkah ragu sebelum akhirnya duduk di depannya.
Jisoo menarik napas panjang, seolah berusaha menyiapkan kata-kata yang entah mengapa sulit untuk disampaikan.
Jennie mengalihkan pandangannya dari jendela, menatap Jisoo dengan senyum yang tak sampai ke matanya.
"Kenapa kita harus bertemu di sini, Ji?" tanyanya, lirih.
Jisoo menatapnya dalam, matanya menyiratkan kelelahan yang sulit diartikan. "Jennie... aku hanya ingin kita bicara. Rasanya sudah terlalu banyak hal yang tersimpan tanpa pernah kita keluarkan."
Jennie menahan diri untuk tidak menunduk. Ada getaran di dalam dadanya, seperti angin yang mengaduk daun-daun kering di hati. "Bicara tentang apa? Tentang kenapa setiap kali aku merasa semakin dekat denganmu, kau malah terasa makin jauh?"
Jisoo terdiam, kata-katanya tersangkut di kerongkongan.
Suasana di antara mereka menjadi hening, seolah waktu memberi ruang bagi mereka untuk saling memahami tanpa suara.
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana," ucap Jisoo akhirnya, suaranya hampir berbisik. "Mungkin ini salahku. Aku terlalu banyak menahan, terlalu banyak menutup diri. Tapi bukan karena aku tak peduli, Jen."
Jennie menatapnya, menahan luapan emosi yang seolah mendesak untuk keluar. "Lalu apa? Apa yang sebenarnya ada di antara kita ini, Ji? Aku sudah lelah menebak-nebak, bertanya pada sepi tanpa jawaban."
Hujan di luar jendela mulai deras. Di dalam ruangan kecil itu, keheningan mereka justru terasa begitu besar, mengisi setiap celah di antara meja, kursi, dan bayangan-bayangan yang tercipta dari cahaya redup.
"Jennie, aku... aku takut," kata Jisoo akhirnya, suaranya penuh keraguan. "Aku takut terluka, takut membuatmu terluka. Setiap kali aku mencoba lebih dekat, ada bagian dalam diriku yang menahanku, seperti ada bayangan masa lalu yang tak bisa kulepaskan."
Jennie tersenyum tipis, namun kali ini senyumnya penuh kesedihan. "Kita semua punya bayangan, Ji. Tapi kalau bayangan itu terus menghantui, bagaimana kita bisa melangkah maju?"
Kembali Jisoo terdiam, matanya menatap Jennie penuh rasa bersalah. "Aku tidak ingin kehilanganmu, tapi aku juga tidak bisa terus berbohong pada diriku sendiri... atau padamu."
Jennie memalingkan pandangan, menatap hujan yang semakin deras. "Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan? Apa yang masih bisa aku perjuangkan?"
Jisoo menunduk, kedua tangannya mengepal di atas meja, seolah berusaha menahan perasaan yang bercampur aduk di dalam dirinya. "Aku juga tidak tahu. Aku ingin kita seperti dulu, tapi... mungkin itu terlalu sulit."
Hening sejenak, hanya suara hujan yang terdengar. Jennie menggigit bibirnya, lalu menghela napas panjang. "Jika memang kita tidak bisa kembali, setidaknya biarkan aku tahu... bahwa ini bukan salahku. Bahwa aku tidak mengecewakanmu."
Jisoo mengangkat wajah, menatap Jennie dengan pandangan yang penuh rasa bersalah. "Kamu tidak pernah mengecewakanku, Jennie. Aku yang terlalu pengecut untuk menghadapi perasaanku sendiri."
Air mata Jennie menggenang, namun ia menahannya agar tidak jatuh. "Kalau begitu, mungkin ini saatnya aku belajar untuk melepaskan. Meski aku belum tahu bagaimana caranya, aku akan mencoba."
Jisoo meraih tangan Jennie, menggenggamnya erat. "Maafkan aku. Andai aku bisa lebih baik, mungkin semua ini tidak perlu terjadi."
Jennie menahan napas, memandangi genggaman tangan itu dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan. "Kita hanya manusia biasa, Ji. Kadang kita terluka, dan kadang kita belajar dari luka itu."
Hujan di luar mulai mereda, seolah ikut memberi akhir pada percakapan mereka. Dengan berat hati, Jennie perlahan menarik tangannya dari genggaman Jisoo, melepaskan harapan yang dulu ia bangun dengan begitu rapuh.
Di akhir pertemuan itu, mereka berdua tahu bahwa mungkin jarak di antara mereka bukan sekadar ruang. Itu adalah jarak yang diukir oleh waktu, oleh ketidakmampuan untuk saling terbuka.
Mereka bangkit, beranjak dari meja, dan melangkah pergi dengan perasaan yang tak terkatakan. Dan di sana, di bawah langit yang masih diselimuti mendung, mereka berpisah dengan harapan bahwa luka ini, pada akhirnya, akan memberi mereka kekuatan untuk berjalan sendiri-sendiri.
Hanya tersisa bayangan di jendela yang perlahan memudar seiring langkah mereka menjauh.
End.
Next bakal lebih panjang lagi ya ceritanya, yeorobun-deul, ini pendek banget karena berhubungan authornya baru siuman 😚
VOTEnya jan lupa, komen juga siapa yg kangen authornya? Ga ada? Oh ya udah. 🥲
KAMU SEDANG MEMBACA
♡𝐉𝐞𝐧𝐒𝐨𝐨 𝐬𝐡𝐨𝐫𝐭 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐜𝐨𝐥𝐥𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧♡
FanfictionJust random short story' about JENSOO. Indonesian language. List : 1. 'She's not her - 2 chapter - 2. LOVE WOUND - 4 chapter - 3. truth - oneshot 4. Love sick. - oneshot 5. Sweet stalker - 4 chapter - 6. El Di Ar...