3. Unexpected bride -end.

157 58 11
                                    


°°

Cahaya matahari pagi menyusup lembut melalui tirai kamar apartemen. Jennie terbangun lebih awal dari biasanya. Ada perasaan tenang yang samar di dadanya, sebuah perubahan kecil setelah semua yang ia lalui.

Dari arah dapur, terdengar suara ceria disertai aroma masakan yang menggoda. Jisoo berdiri di sana, sibuk memasak, dengan celemek yang tampak terlalu kecil untuk tubuhnya.

"Selamat pagi, calon ibu tangguh," sapa Jisoo sambil tersenyum lebar ketika Jennie berjalan mendekat. "Hari ini aku bikin sarapan spesial. Jangan tanya rasa, ya, tapi aku janji tidak akan buat kamu keracunan."

Jennie terkekeh kecil, meski masih terasa canggung. "Kamu benar-benar tidak bisa diam, ya?"

Jisoo mengangkat bahu sembari membalik masakannya di wajan. "Aku tidak punya pilihan. Jika aku diam, rumah ini akan terlalu sunyi. Dan kamu mungkin kabur."

Jennie menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. Di dalam hatinya, ia merasakan hangat yang perlahan menjalari dirinya. Jisoo dengan caranya yang santai dan penuh humor selalu berhasil membuat dunia yang terasa berat jadi sedikit lebih ringan.

~

Hari demi hari berlalu, dan kebersamaan mereka menjadi lebih alami.

Bagi Jennie, kehadiran Jisoo yang semula terasa asing kini menjadi sesuatu yang mulai ia nantikan. Dengan segala keanehan dan sikap santainya, Jisoo selalu punya cara membuat Jennie tersenyum. Entah saat ia berusaha memperbaiki kursi yang akhirnya malah membuatnya terjatuh, atau ketika ia dengan bangga membawa pulang bunga penuh serbuk kuning yang menyebabkan Jennie bersin sepanjang malam.

Meski awalnya Jennie menganggap hubungan ini sebagai kewajiban untuk bertanggungjawab. Namun, semakin sering mereka berbagi momen kecil bersama, ia mulai terbiasa dan menerima sisi lain dari Jisoo—sisi yang membuatnya merasa lebih nyaman.

~

Di suatu sore yang tenang. Mereka duduk di teras balkon, sambil menikmati teh hangat.

Jennie memandangi langit yang mulai temaram, sementara Jisoo sibuk mengutak-atik alat peraknya, mencoba memperbaiki headphone yang patah.

"Kamu selalu saja sibuk dengan sesuatu," ujar Jennie tiba-tiba.

Jisoo menoleh, senyum santainya tak pernah pudar. "Hidup ini penuh tantangan. Jika aku tidak sibuk, pikiranku pasti akan lari ke hal-hal aneh."

Jennie tersenyum. "Kamu benar-benar orang yang baik, Jisoo. Aku tidak tahu apa aku pantas untuk ini semua."

Jisoo meletakkan alat juga headphone di tangannya, lalu menatap istrinya dengan lembut. "Jennie, aku tidak butuh kamu merasa pantas atau tidak. Yang aku butuh cuma kamu ada di sini, dan kita berusaha bersama-sama."

Tatapan itu membuat Jennie sejenak terambang dalam lamunan. Ada perasaan terharu yang berdesir—Jisoo selalu andal membuat dirinya merasa diterima—tanpa syarat, tanpa tekanan.

Dalam hati, ia tahu Jisoo adalah alasan ia perlahan mulai merasa bahwa segalanya mungkin akan baik-baik saja.


~


Beberapa Minggu Kemudian.

Jennie mulai terbiasa dengan keberadaan Jisoo sebagai suaminya. Ada momen-momen kecil yang tak lagi terasa canggung, seperti saat Jisoo dengan sabar membantunya memilih baju hamil, atau ketika ia dengan tegas melarang Jennie makan mi instan tengah malam demi kesehatan bayi mereka.

Lalu suatu malam, Jennie mendekati Jisoo yang sedang cekikikan sendiri sambil menonton acara komedi di televisi. Dengan ragu, Jennie duduk di sampingnya dan mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 13 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

♡𝐉𝐞𝐧𝐒𝐨𝐨 𝐬𝐡𝐨𝐫𝐭 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐜𝐨𝐥𝐥𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang