°°Jennie mengikuti Chaeyoung keluar dari apartemen, meninggalkan Jisoo yang hanya bisa menatap punggung mereka dengan rasa was-was.
Di sudut taman kecil di depan gedung, mereka berhenti. Chaeyoung berbalik, menatap Jennie dengan sorot mata tajam yang tak bisa disembunyikan.
"Jelaskan, Jennie," kata Chaeyoung dingin. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Jennie menunduk. Hatinya terasa diremas, sementara kata-kata yang telah ia siapkan menguap begitu saja. "Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana."
"Mulai dari saat kau memutuskan menghancurkan hubungan kita," Chaeyoung menukas tajam. "Kau hamil. Dengan pria lain. Dengan temanku. Kau tahu betapa sakitnya ini untukku?"
Air mata mulai menggenang di mata Jennie. Ia menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Aku tidak pernah bermaksud seperti ini, Chaeyoung-ah. Malam itu... aku merasa kacau karena kamu terlalu sibuk. Aku hanya butuh seseorang, dan Jisoo ada di sana. Kami tidak pernah merencanakan apa pun."
Chaeyoung tertawa pendek, tetapi tawa itu kosong. "Jadi ini salahku sekarang? Karena aku sibuk bekerja keras untuk masa depan kita? Karena aku tidak cukup ada untukmu?"
"Bukan itu maksudku!" Jennie berseru, air matanya mulai mengalir. "Aku tahu aku salah, aku tahu aku menghancurkan semuanya. Tapi... aku mencoba bertanggung jawab."
Chaeyoung menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Jadi menikah dengan Jisoo itu bentuk tanggung jawabmu? Apa kau mencintainya?"
Pertanyaan itu membuat Jennie terdiam. Dalam pikirannya, ia memutar kembali semua kenangannya dengan Jisoo—senyumnya yang selalu menenangkan, perhatian tulusnya, dan bagaimana pria itu menerima situasi ini tanpa banyak protes.
Tetapi cinta? Itu adalah pertanyaan yang belum berani ia jawab bahkan pada dirinya sendiri.
"Aku tidak tahu," jawab Jennie jujur, suaranya hampir tak terdengar. "Aku tahu dia baik. Dia mencoba menjadi yang terbaik untukku dan bayi ini. Tapi cinta? Aku... aku masih mencintaimu, Chaeyoung."
Pernyataan itu membuat Chaeyoung terdiam. Namun, alih-alih marah, ia tampak lebih terluka. Sorot matanya melembut, tetapi luka itu masih jelas terlihat.
"Jika kau masih mencintaiku, kenapa kau memilih dia?" Chaeyoung bertanya lirih.
"Karena aku harus," jawab Jennie, menahan isak. "Aku tidak bisa membiarkan Jisoo menanggung semua ini sendirian. Dia ayah dari anak ini. Aku tidak punya pilihan lain."
~
Ketika Jennie kembali ke apartemen, wajahnya tampak kusut, dan matanya sembab. Jisoo, yang sedang duduk di sofa sambil memutar-mutar remote TV, segera bangkit.
"Gimana?" tanyanya penuh pengertian.
Jennie hanya menggeleng tanpa menjawab. Ia melangkah langsung menuju kamar, meninggalkan Jisoo yang hanya bisa menghela napas panjang.
Di dalam kamar, Jennie merasa sulit untuk tidur. Percakapan dengan Chaeyoung terus terngiang di kepalanya. Ia tahu ia harus membuat keputusan besar, tetapi setiap pilihan terasa seperti pedang bermata dua.
~
Keesokan harinya, Jennie bertemu Jisoo di dapur. Wajahnya terlihat sedikit lebih tenang, meski masih menyiratkan kelelahan. Jisoo, seperti biasanya, berusaha membuat suasana terasa ringan.
"Mau sarapan pancake lagi? Atau kali ini mau nasi goreng? Aku bisa masak, lho, meskipun rasanya... yah, anggap saja eksperimen," katanya dengan senyum tipis.

KAMU SEDANG MEMBACA
♡𝐉𝐞𝐧𝐒𝐨𝐨 𝐬𝐡𝐨𝐫𝐭 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐜𝐨𝐥𝐥𝐞𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧♡
Fiksi Penggemar[Jensoo's collection of short story lines] Indonesian language. Title List : 1. 'She's not her - 2 chapter - 2. Love wound - 4 chapter - 3. truth - oneshot 4. Love sick - oneshot 5. Sweet sta...