Arka membimbing Sarah yang masih dalam keadaan terkejut untuk segera memasuki kamarnya.
"Kamu bersih-bersih dulu, ya. Aku mau angkat telepon dulu sebentar." Ujar Arka ketika mendapati handphone-nya berdering, menandakan ada telepon masuk.
"Mas," Sarah memegang lengan Arka pelan. Meski sudah sedikit lebih tenang, namun kekhawatiran tetap dia rasakan. "Jangan pergi, di sini aja."
Arka tersenyum lembut, "Aku cuma mau angkat telepon."
"Pasti Mas Arka diam-diam akan keluar untuk mencari orang itu, kan?" Sarah menghela nafasnya, "Aku benar-benar takut Mas Arka kenapa-kenapa. Bisa saja orang itu masih berkeliaran di dekat Mas Arka buat menyelakai Mas Arka."
"Sebenarnya berapa banyak musuh Mas Arka di luaran sana? Kenapa banyak sekali orang yang menginginkan Mas Arka celaka?" Sarah benar-benar tidak bisa menyembunyikan raut wajah khawatirnya. Bahkan tubuhnya sampai terduduk di tepi ranjang, rasa-rasanya kedua kakinya melemas lantaran membayangkan kejadian beberapa waktu lalu.
Arka mendudukkan tubuhnya di sebelah Sarah. "Justru kalau hal ini dibiarkan, orang itu masih punya kesempatan buat menyelakai aku. Makanya aku harus mengurus semuanya agar tidak kejadian seperti ini lagi."
"Aku tau kamu khawatir, tapi aku juga nggak bisa membiarkan dia lolos dengan mudah."
"Dia nggak mungkin hanya satu orang kan, Mas? Pasti ditempat lain ada orang-orang yang bersekongkol dengan dia."
"Kamu tenang aja, aku juga nggak mungkin sendiri. Ada banyak orang-orangku yang mengatasi ini. Tapi memang aku juga harus perlu turun tangan sendiri."
Sarah berpikir sejenak, dia percaya pada suaminya. Namun, rasa khawatir membuatnya goyah. "Tapi, kamu harus janji satu hal."
Sarah menatap sang suami, "Kamu harus kembali tanpa ada luka sedikitpun."
Arka bergeming, menatap sang istri dengan dalam, lalu anggukkan dia berikan sebagai jawaban. "Aku janji."
••••••••
Setelah cukup lama bernegosiasi, akhirnya Sarah mengijinkan Arka pergi, meskipun dengan berat hati.
Bahkan sampai tengah malam Sarah tidak bisa memejamkan matanya lantaran dirinya dikuasai oleh kekhawatirannya, padahal sang anak pun sudah terlelap sedari tadi.
Sarah menghela nafas pendek, dia khawatir tapi dia juga tidak bisa berbuat apapun selain mendoakan suaminya agar pulang tanpa terluka sedikitpun.
"Areksa doakan Papa supaya nggak kenapa-kenapa ya." Bisik Sarah pada anaknya yang terlelap.
Terjaga sampai jam dua pagi, akhirnya mata Sarah perlahan terpejam di samping box bayi Areksa.
Pagi-pagi sekali, tidur Sarah terusik ketika mendengar suara tangisan Areksa, dengan mata yang masih terasa berat, Sarah menggendong Areksa sembari memberinya ASI.
"Haus ya, Sayang?" Gumamnya pelan.
Mata Sarah mengedar, barulah dia tersadar kalau kamarnya masih kosong seperti tadi malam, hanya ada dia dan Areksa. "Papa belum pulang, ya."
Beberapa menit berlalu, Areksa kembali tidur. Dengan hati-hati Sarah kembali menidurkannya ke dalam box bayinya.
Dengan langkah tergesa Sarah keluar dari kamar, berniat mencari keberadaan sang suami, yang mungkin saja sedang berada di dapur atau ruang kerjanya.
Ketika sudah sampai di sana, Sarah tidak menemukannya. "Bu, Mas Arka belum pulang ya?" Tanyanya pada sang ibu yang berada di dapur.
"Loh, memangnya belum pulang? Ibu malah nggak tau, Ibu kira Nak Arka sudah pulang tadi malam."

KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Accident
General FictionSarah Arabella Risty adalah gadis rantau dari desa. Selama bertahun-tahun dia hanya hidup berdua dengan sang Ibu. Sedangkan Ayahnya telah tiada sejak dia duduk di sekolah dasar. Hidup di kota besar dengan bermodalkan ijazah SMA bukanlah hal yang mud...