Sarah meyakini, segala sesuatu yang telah terjadi pasti akan ada hal di dalamnya yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Sarah berusaha menerima kehidupannya yang sekarang dengan lapang dada. Dia berusaha berdamai dengan keadaan. Dia sadar, sekeras apapun dia menentang kehidupannya yang sekarang, semua tidak akan pernah kembali seperti dulu lagi. Takdirnya dari Tuhan seperti ini, maka dia hanya bisa mengikuti.
Bukan hal mudah berdamai dengan sesuatu yang menyakitkan dalam hidupnya. Tapi sebisa mungkin, Sarah berusaha menekan segala bentuk pemikiran yang bisa membuatnya senantiasa terpuruk. Dia tidak akan bisa bangkit kembali jika terlarut akan kesalahan dan kesedihannya. Maka, sekeras apapun itu, dia berusaha berdamai dan mulai menerima kehidupannya yang sekarang.
Sampai pada di titik sekarang, Sarah sudah bisa menerima akan takdirnya yang mengharuskan dia menjadi istri sekaligus calon ibu di usia muda. Meski tak urung, di saat-saat tertentu dia merasa iri melihat teman-temannya yang masih bisa bebas melakukan apapun. Sedangkan dia sendiri, seakan ada ikatan tak kasat mata yang mengikatnya.
Beberapa bulan yang lalu, Sarah sempat terpuruk dengan kehadiran anaknya yang tidak dia duga akan hadir di saat tidak tepat. Namun setelah dia berusaha menerima, dia menyadari kalau anaknya mempunyai peran penting baginya. Seperti naluri seorang ibu, kasih sayang pada anaknya muncul begitu saja.
Sarah menyadari alasan ibunya memaafkan kesalahannya yang sangat fatal. Kasih sayang seorang ibu itu nyata. Dia mengalaminya sendiri, bahkan sebelum melihat wujud anaknya dia sudah sangat-sangat menyayangi bayinya.
Saat ini ketakutannya bukan lagi tentang kehadiran anaknya. Tapi tentang dia yang takut seandainya dia tidak bisa menjadi ibu yang baik. Saat ini, harapannya hanya satu, anaknya bisa lahir ke dunia dengan selamat tanpa kekurangan apapun.
"Kamu lihat kunci mobil saya?"
Sarah mengerjabkan matanya di sela-sela aktivitasnya membuka lemari Arka. Meski tubuhnya bergerak, namun pikirannya tengah memikirkan sesuatu. Kepalanya lekas menoleh ke arah sang suami yang tengah membuka laci-laci.
"Biasanya kan di laci." Tak urung, Sarah melangkahkan kakinya terlebih dahulu menuju ranjang untuk meletakkan kemeja dan celana kerja sang suami yang telah dia siapkan.
"Nggak ada."
Sarah mencoba membuka di laci-laci lemari, dan juga mengecek di sofa, barangkali terselip di sana. Namun hingga dia cek berulang kali, tak ada tanda-tanda keberadaan kunci mobil di sana. "Mas Arka mandi dulu saja, nanti saya carikan kuncinya di luar."
Sarah memilih keluar dari kamar Arka setelah laki-laki itu memasuki kamar mandi. Dia akan mencari di laci-laci luar, mungkin saja Arka lupa meletakkannya di sana.
Sarah tak bohong jika dia mengatakan kalau hubungan mereka berdua mengalami perubahan meskipun hanya sedikit. Perubahan sedikit itu salah satunya dengan Sarah yang setiap harinya membantu Arka dengan menyiapkan baju kerja suaminya itu.
Setiap pagi hari, Sarah selalu ke kamar Arka untuk membangunkan laki-laki itu. Kemudian dilanjutkan dengan membantu memilihkan pakaian kerja untuk Arka.
Arka sudah memberinya nafkah lahir yang sangat-sangat berlebihan, maka dari itu Sarah juga ingin melakukan tanggungjawabnya sebagai seorang istri dengan membantu semua kebutuhan Arka.
Sepuluh menit mencari-cari, akhirnya Sarah menemukannya di meja sofa. Perempuan dengan perut membuncit itu menggelengkan kepalanya, dia sudah pusing mencarinya di seluruh laci, ternyata kuncinya terpampang nyata di meja sofa. "Tau gitu udah dari tadi aku ke sini."
Setelah meletakkan kuncinya di kantung piyamanya, Sarah beralih menuju dapur. Dia belum menyelesaikan masakannya lantaran dia juga terbangun cukup siang. Bahkan dia melupakan fakta kalau dia belum membersihkan dirinya. Ah, dia akan mandi setelah menyelesaikan semuanya nanti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Accident
Fiksi UmumSarah Arabella Risty adalah gadis rantau dari desa. Selama bertahun-tahun dia hanya hidup berdua dengan sang Ibu. Sedangkan Ayahnya telah tiada sejak dia duduk di sekolah dasar. Hidup di kota besar dengan bermodalkan ijazah SMA bukanlah hal yang mud...