Sepulang dari kediaman Erlangga, Sarah kembali ke kos-kosannya yang sudah dia tempati beberapa tahun ini. Bos-nya itu tidak mengijinkannya kembali ke butik, setidaknya untuk saat ini sampai dia sudah sedikit tenang.
Sarah menjatuhkan tubuhnya di ranjang yang berukuran lumayan kecil, ranjang ini hanya bisa menampung satu orang. "Aku harus gimana."
"Ibu pasti kecewa karena aku tidak bisa menjaga diri." Air mata yang tadi sempat berhenti kini kembali mengalir.
"Maafin Sarah, Bu."
Sarah meraup wajahnya yang berlinang air mata. "Aku bener nggak hamil, kan?"
Malam itu, Sarah memang sempat meminum obat pencegah kehamilan. Dia minum dua kapsul sekaligus karena dia yakin semakin banyak yang dia minum maka semakin maksimal untuk mencegah terjadinya hal yang tidak dia inginkan.
Namun sudah satu minggu ini dia juga khawatir sebab dia tidak kedatangan tamu bulanannya. Jika di hitung, dia sudah telat sekitar sepuluh hari dari tanggal normalnya.
Sarah meraba perutnya dengan tangan bergetar. "Nggak mungkin kalau aku ... hamil kan?"
"Seharusnya obatnya bekerja dengan maksimal."
Membayangkan itu membuat Sarah kembali menangis. Sungguh, dia tidak siap menerima semua ini. Kehilangan kesuciannya sudah membuatnya kehilangan seluruh dunianya. Apalagi jika kejadian itu harus meninggalkan sesuatu yang dia takutkan.
Ingin sekali Sarah memastikan agar dia tenang setelah melihat hasilnya yang menunjukkan kalau dia tidak hamil. Namun, dia juga takut kalau ternyata hasilnya justru berkebalikannya.
Sarah menggelengkan kepalanya. "Nggak mungkin."
"Ini hanya telat. Pasti besok atau lusa aku datang bulan." Sarah mencoba meyakinkan diri. "Ya, pasti begitu."
Dengan perasaan yang dihantui ketakutan, Sarah memutuskan untuk mengguyur tubuhnya dengan air dingin, berharap air itu turut mendinginkan pikirannya.
Dia akan memberikan waktu satu minggu untuk menunggu tamu bulanannya. Jika setelah itu memang benar-benar tidak datang, mau tidak mau Sarah harus berani memastikannya.
"Semoga apa yang aku takutkan tidak benar terjadi."
••••••••
"Bu, uang bulan ini sudah Sarah kirim ya."
Sarah duduk selonjoran di ranjang sembari tengah berbincang dengan ibunya di telepon.
"Ini nggak kelebihan, Sar? Ini nggak kayak bulan kemarin."
"Nggak kok, Bu. Bulan ini Sarah dapat bonus, jadi bisa lebihin sedikit."
"Makasih ya, Sar. Padahal yang uang bulan kemarin masih ada tapi kamu tetap kirim buat Ibu."
"Tujuan Sarah kerja memang untuk Ibu. Kalau masih sisa, bisa Ibu tabung saja. Yang pasti, setiap bulan Sarah akan selalu kirim untuk Ibu." Mengingat ibunya di sana, mata Sarah berkaca-kaca. Ibunya sudah mewanti-wantinya agar tidak salah pergaulan di kota orang. Namun, nyatanya dia tidak bisa menepati janjinya. Meskipun bukan karena pergaulan, namun tetap saja dia tidak bisa menjaga dirinya.
"Sarah."
Sarah tersentak, buru-buru menghapus air matanya. "Ya, Bu?"
"Kamu ... menangis?"
Sarah terdiam. Rasanya ingin berteriak sekeras-kerasnya guna mengeluarkan beban di hati dan pikirannya. Namun, sebisa mungkin Sarah mengendalikan dirinya agar tidak menangis terisak.
"Pulanglah, Nak. Senyaman-nyamannya di sana, rumah sendiri adalah tempat yang paling nyaman."
"Jangan memaksakan diri di sana. Justru Ibu senang kalau kamu pulang dan bekerja di sini."

KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Accident
Ficção GeralSarah Arabella Risty adalah gadis rantau dari desa. Selama bertahun-tahun dia hanya hidup berdua dengan sang Ibu. Sedangkan Ayahnya telah tiada sejak dia duduk di sekolah dasar. Hidup di kota besar dengan bermodalkan ijazah SMA bukanlah hal yang mud...