Hati Aliya remuk redam melihatnya.
Selama ini dia merasa mengerti dan menerima, tanpa penjelasan apapun dari Ronald. Tapi saat ini, saat melihatnya langsung, dia tidak mengerti perasaannya sendiri. Dia terjebak di ruang abu-abu. Monyet! Aliya mengeluh dalam hati.
Air matanya jatuh setetes melihat Ronald memeluk perempuan berambut panjang tadi. Dia menyusun logika-logika di kepalanya, mencoba mengerti Ronald yang memang sulit menjelaskan. Pelukan yang Ronald berikan pada perempuan itu adalah hal biasa, bukankah dia biasa seperti itu dengan kerabatnya?
Tapi tidak dengan dirinya. Logika di kepala Aliya dipatahkan sendiri oleh pemikirannya. Air matanya jatuh setetes lagi. Tangannya menyilang di depan dada, memeluk dirinya sendiri.
Dari arah tangga dia mendengar langkah kaki tergesa menuju tempatnya berada. Suara langkah itu menghadirkan sosok Ronald yang berdiri di ambang pintu. "Aliya..."
Aliya tidak langsung menoleh, dia menghapus jejak air mata di wajahnya sebelum Ronald melihatnya. Belum sempat Aliya menoleh, Ronald sudah memeluknya dari belakang. Erat dan hangat. Ajaibnya, kehangatan pelukan itu membuat perasaan kacau Aliya menguap cepat.
"Aliya..." suara lembut panggilan itu juga menenangkan.
Tapi Aliya masih memikirkan perempuan yang tadi bersama Ronald. Apakah ini persaingan? Kalau iya, Aliya ingin memenangkan persaingan ini.
Aliya melepaskan pelukan Ronald. Dia menatap laki-laki yang melonggarkan pelukannya, tapi tangannya masih menggenggam lengan Aliya. Senyum tipis terukir di bibir laki-laki itu.
"Kok senyum?" Tanya Aliya.
"Lo cemburu?" Tanya Ronald.
"Apa sih..." Aliya menghindar, dia kembali duduk di dekat buku catatan Ronald yang terbuka. Dia masih kesal dan kesulitan menyembunyikannya.
"Aliya," Ronald mengikuti Aliya, duduk di sebelah perempuan itu. Dia mengulang panggilannya sekali lagi, "Aliya."
"Apa?!" Aliya menoleh dengan ketus.
"Lo marah?"
"Gue kesel!"
Ronald tersenyum, "Lo cemburu kan?"
Di ruang abu-abu, pertanyaan seperti itu seperti tabu. Ada ego yang berbentuk gengsi. Sulit untuk mengakui. Begitu juga dengan Aliya. Apalagi ada senyum tipis di bibir Ronald.
"Jutek banget," keluh Ronald.
"Lo bilang gak usah cemburu, kan?" Tanya Aliya mulai berkelit.
Ronald sedikit melebarkan senyumnya, lalu mengangguk.
"Tapi..." lanjut Aliya.
Senyum di bibir Ronald sedikit memudar. Selama ini Aliya selalu mengerti, tapi sepertinya tidak kali ini. "Tapi?"
"Jelaskan!" Kali ini Aliya meminta, Ronald harus bertanggung jawab karena sudah membuat perasaannya tak karuan. Iya, dia menuntut kali ini.
Ronald tidak suka dituntut. Dari tatapan matanya rasanya Aliya serius dengan permintaannya. "Lo mau dijelaskan apa lagi?"
Lagi? Aliya merasa belum pernah mendapat penjelasan apapun. Tapi lagi-lagi kali ini Aliya membutuhkan penjelasan itu. Ruang abu-abu sudah menyusahkannya. "Jessie?"
"Lo pengen tahu apa soal Jessie?"
Aliya mencebik. Dia tahu laki-laki yang duduk di sampingnya jago menyangkal, juga berkelit. Tapi Aliya juga pandai dalam bertanya. Aliya menarik napasnya dalam-dalam, mengontrol emosinya sebelum mulai bertanya. "Oke, just answer my question."

KAMU SEDANG MEMBACA
Toko Merah
General FictionRonald tiba-tiba tertarik dengan nenek moyang keluarganya, karena ada cerita tentang harta keluarga yang masih tersembunyi. Konon kakek dari kakeknya adalah orang yang sangat kaya. Sampai Ronald menemukan sebuah tulisan tanpa makna dari kakeknya. Di...