[TUJUH]

36.7K 2.5K 4
                                    


Suara decit pintu membuat Maura mengurungkan kembali niat nya untuk bangun, dengan mata yang masih terpejam ia merasakan tangan Daniel mengusap pelan pelipis nya dan mengecup sekilas di sana.

"Kalau mau apa-apa bilang Bibi ya," gumam Daniel pelan. Seperti nya, ia menyadari bahwa saat ini Maura mungkin sedang menghindari nya setelah percakapan mereka tempo hari.

Daniel masih tidak mengangkat tangan nya, menyadari bahwa apa yang menjadi kegelisahan istri nya belakangan ini, ia pun merasa ikut sedikit gelisah. Bukan, bukan karena apa-apa, tapi memikirkan Maura yang seperti ini, juga menjadi beban baru di pundak nya.

Entah darimana pemikiran itu muncul, namun menurut nya itu semua berada di luar kendali nya. Ia memang pernah menjadi sosok paling dekat dengan wanita yang kini menjadi adik ipar nya itu. Tidak ada satu pun hal yang harus di permasalahkan menurut nya. Cerita yang pada akhirnya mempertemukan ia dengan Maura pun, bukan karangan nya sendiri. Tuhan, sebagai aktor dari segala peristiwa di alam semesta ini, yang mungkin membuat ia berada di sini. Semua di luar batas kuasa nya.

Daniel pun merasa bahwa keputusan nya yang tiba-tiba menghilang dari Indonesia dan memilih melanjutkan studi di Perancis, itu tidak benar. Dalam artian, seharusnya ia berusaha untuk jujur dan pergi dengan terbuka, berpamitan atau sekedar menulis kabar untuk Manda, namun semua itu tidak ada yang ia lakukan satu pun, dan mungkin itu yang membekas di benak Manda, mengingat dulu hanya ia yang wanita itu bisa andalkan.

"Kamu lagi di Jakarta, Man?"

Maura menunggu jawaban apa yang akan dikatakan adik perempuan nya itu, "Iya, Kak. Aku di Jakarta. Pekerjaan kantor."

Maura sedikit tertegun. Jika permasalahan ini muncul karena asumsi nya semata, bukan kah lebih baik ia memastikan nya sendiri? Manda pun sekarang berada di satu kota yang sama dengan nya. Jadi Maura tidak perlu meminta bantuan Daniel untuk mengantarkan nya. Maupun bantuan supir pribadi pria itu.

Yah, intinya Daniel tidak perlu tahu tentang niat nya yang satu ini.

"Kakak mau bicara sesuatu sama kamu, bisa?"

Tidak ada jawaban dari ujung telefon. Masih hening hingga suara Manda kembali terdengar, "Aku masih ada pekerjaan hingga sore nanti, jika sangat penting Kakak bisa datang ke Apartement Olivee kamar nomor 234."

Setelah menimang-nimang sebentar, Maura akhirnya menyetujui untuk singgah ke Apartement itu dan menemui Manda. Secepat ia tahu kebenaran nya, maka akan cepat pula masalah nya dengan Daniel terselesaikan. Walaupun dengan kemungkinan terburuk sekalipun.

Manda terlonjak begitu membuka pintu kamar apartemen nya. "Selamat siang, Ibu." sapa salah satu dari empat orang yang kini berdiri di depan nya.

Manda mengalihkan pandangan nya pada makanan-makanan yang terisi penuh sesak di troli yang kini berjejer rapi di depan nya. Mata nya sedikit membesar. "Saya tidak memesan sebanyak ini. Mungkin salah kamar," gumam Manda pelan.

Beberapa menit setelah membereskan pakaian-pakaian nya, Manda memang memesan makanan dan itu pun hanya satu porsi beef steak dan segelas ice cappucinno. Disini memang tersedia dapur dan seluruh peralatan nya, namun mengingat ia belum membeli bahan makanan sama sekali, ia pun memutuskan untuk memesan makanan. Dan mendapati banyak makanan di hadapan nya, rasa-rasa nya gaji dua bulan nya pun tidak akan cukup untuk membayar semua nya. Aneka makanan seperti steak, nasi goreng, bahkan sampai jenis mie pun seperti nya terasa lengkap di hadapan nya.

"Kenapa kalian tidak menata makanan-makanan itu di dalam?" sebuah suara menginstrupsi dari radius sepuluh meter.

Manda menoleh dan tak terkecuali empat orang yang berdiri masing-masing di belakang troli-troli makanan itu. Dan ke empat-empat nya spontan mengangguk kecil, melihat siapa yang berjalan ke arah mereka semua.

"Le?" gumam Manda pelan. "Kamu yang memesan semua ini?" tanya Manda tak percaya setelah pria itu kini berdiri tepat di samping nya dan menyunggingkan senyum kecil.

Chilleo hanya mengangguk pelan. Sejurus kemudian menarik lengan Manda sedikit menjauh dari pintu dan mengisyaratkan empat orang tadi untuk masuk dan menata makanan-makanan itu didalam.

Manda segera melepaskan tangan Chilleo dan menatap pria itu bingung, "Untuk apa makanan sebanyak itu?"

Chilleo hanya tersenyum sekilas, "Bukankah orang lapar yang dibutuhkan adalah makan?" tanya Chilleo bingung.

"Lagipula, aku tidak tahu apa makanan kesukaan kamu." jawab Chilleo seraya mengendikan kedua bahu nya.

"Tapiㅡ"

"Ayo, makan."

Suara dentingan sendok dan garpu mengisi keheningan ruangan yang begitu luas untuk ukuran dapur. Manda sesekali melirik gelisah ke arah Chilleo yang begitu lahap menyantap beef steak nya.

Pria itu benar-benar tidak bisa di tebak. Apakah seluruh mantan asisten nya ia perlakukan seperti ini? Manda merutuk dalam hati, sudah pasti seluruh mantan asisten nya adalah lelaki. Tidak mungkin seorang wanita tidak luluh bila Chilleo perlakukan seperti ini. Sangat minim kemungkinan mereka mengundurkan diri kecuali Chilleo yang menendang mereka jauh-jauh.

"Makanan nya tidak sesuai selera mu?"

Manda mendongak sempurna dan menggeleng pelan, "Oh nggak, enak kok. Hanya saja..."

"Hanya saja..." Chilleo kembali mengulang ucapan Manda dengan nada yang menunjukkan bahwa Manda harus meneruskan ucapan nya.

"Ini terlalu banyak," cicit Manda pelan seraya menatap makanan-makanan lain yang belum tersentuh.

Chilleo meletakkan sendok dan garpu nya lalu menatap Manda seksama. "Tidak. Jika kamu menghabiskan seluruh nya," ujar nya enteng.

Manda spontan membelalakkan mata nya. Pria itu benar-benar tidak bisa ditebak. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran nya?

Maura mematut diri nya sekali lagi, baju lengan panjang berwarna merah maroon dengan celana jeans hitam melekat pas di tubuh nya. Polesan bedak dan blush on menambah poin plus nya, hanya saja, matanya masih terlihat sedikit bengkak akibat airmata yang tidak kunjung berhenti mengalir saat ia meringkuk dibawah selimut.

Setelah merasa matanya tidak terlihat begitu mencolok, Maura bergegas ke bawah dan memakai wedges hitam nya dan memesan taksi.

"Nyonya, mau di antar kemana?"

Maura menoleh mendapati Qholil sudah berdiri di samping mobil Yaris biru milik nya. "Loh, mobil Bapak dimana?" tanya Maura begitu mendapati Qholil ada di hadapan nya tanpa mobil putih milik Daniel dan ia pun tidak menghiraukan pertanyaan Qholil.

Logika nya jika Qholil yang mengantar Daniel pagi tadi, seharusnya mobil Daniel pun ia bawa pula. Kecuali jika...

"Bapak tadi pagi bawa mobil sendiri, Bu."

Maura menghela nafas nya pelan kemudian mengangguk dan tidak lama taksi yang di pesan nya pun datang di depan gerbang. "Saya naik taksi saja. Mobil saya bisa tolong kamu cuci saja ya, Lil." pesan Maura kemudian meninggalkan Qholil yang masih kebingungan untuk masuk kedalam taksi.

"Apartement Olivee, Pak."

Begitu memasuki pelataran Apartement, Maura bergegas membayar argo dan turun tepat di depan lobby. Matanya bergerak mencari lift terdekat kemudian masuk kedalam nya. Tangan nya ia sedekap kan di atas perut dan mata nya menatap bayangan tubuh nya dari bagian sisi kanan lift.

Setelah lift sampai di lantai yang dia inginkan, Maura beranjak keluar dan mengamati pintu-pintu coklat dikanan kiri nya dan setelah menemukan angka yang ia cari, senyum lega terpampang di bibir nya.

234, ini pasti unit nya.

Setelah memencet bel, tak lama pintu pun terbuka. Namun, Maura terkejut bukan main. Bukan Manda yang ia dapati, namun justru sesosok pria yang menatap nya bingung, sama seperti diri nya.

Tbc.

Agairana AmandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang