[TIGA PULUH EMPAT]

20.2K 1.1K 2
                                    

"Kamu nggak suka ya, Le?"

Begitu sampai di salah satu tempat yang menjual wedang rondeㅡyang kata nya cukup ramai dan enakㅡManda memang langsung memesan dua mangkuk untuk diri nya dan Chilleo yang kini duduk lesehan di salah satu tikar yang di gelar berjejeran malam itu.

Wangi ronde yang begitu menyeruak seperti teman bagi siapapun yang berada di sini. Biasanya, yang penat selepas pulang bekerja atau yang sengaja melewatkan malam dengan nikmat mungkin bisa menjatuhkan pilihan ke pada wedang ronde ini.

"Ini Mbak, wedang nya." ujar Pak Di, sekira nya itu yang tertera di pamflet kuning yang terbentang di depan gerobak biru nya.

"Terima kasih, Pak." timpal Manda pelan.

Melihat Chilleo yang sama sekali tidak menyentuh wedang ronde itu membuat Manda merasa... mmmㅡsedikit bersalah. Jelas, pria itu lapar. Dan wedang ronde memang bukan pilihan yang tepat.

Akhirnya, dengan perasaan bersalah yang menggelayuti diri nya, Manda beranjak hendak mengatakan pada Pak Di, untuk membungkus saja wedang ronde itu. Entah masih sama atau tidak rasanya, jika di makan di rumah.

"Mau kemana?" tanya Chilleo begitu menahan tangan kecil milik Manda.

"Mending di bungkus aja, kamu lapar kan? Kita bisa cari makan di tempat yang seharusnya," jelas Manda yang justru di balas gelengan oleh Chilleo.

"Duduk," ujar Chilleo seraya menarik tangan Manda dan membuat wanita itu kembali duduk di tempat nya.

"Tapi Le, kamuㅡ"

"Duduk dulu. Keburu dingin," ujar Chilleo pelan kemudian mengambil mangkuk nya dan perlahan meminum wedang ronde itu, baru sesuap wedang ronde itu masuk ke dalam tenggorokan nya, wajah nya berubah. Mata nya sedikit melebar dan sekilas senyum tipis itu muncul. Rasa lapar itu benar-benar tergantikan oleh rasa nikmat dari semangkuk wedang ronde ini.

"Kenapa, Le?" tanya Manda begitu menyadari perubahan mimik muka pria di sebelah nya.

Chilleo menoleh, "Nggak. Ini enak," gumam nya pelan sehingga menimbulkan satu garis tipis lagi di bibir Manda.

Malam ini, dengan semangkuk wedang ronde yang di temani lampu remang milik Pak Di, menjadi saksi dari kencan pertama mereka. Kencan pertama, setelah banyak nya pengalaman yang mereka lalui.

Ini terasa nyaman, gumam Manda di dalam hati.

Pagi ini, seperti selayak nya suasana di dalam sebuah kantorㅡatau lebih tepat nya, butikㅡsuasana pagi ini begitu sibuk dan tidak ada satu pegawai pun yang terlihat santai pagi ini.

Setelah Naren, yang pagi ini datang dengan pakaian yang casual itu, menebarkan senyum tipis nya dan mengatakan bahwa diri nya harus menemui pria itu di ruangan nya, membuat ia segera meletakan penggaris panjang nya di atas meja dan tersenyum kepada Senda, "Bentar ya, Mbak." pamit nya kepada Senda dan langsung di balas anggukan mengerti dari Senda.

Setelah memasuki lift, ia memencet nomor lantai dimana ruangan boss nya itu berada. Setelah pintu lift terbuka, ia segera berjalan dan membuka pintu di hadapan nya pelan.

"Ada apa, Pak?" tanya Manda pelan begitu sampai di depan satu-satu nya meja dengan ukuran besar di ruangan itu.

"Kamu kenapa bantu pekerjaan di bagian produksi? Saya rasa, itu bukan bagian kamu." ujar Naren to the point.

Manda menghela nafas nya pelan. Setengah takut dan setengah yakin, setidaknya ini bukan aib atau apapun yang dapat di kategori kan salah. Membantu adalah hal yang terpuji, lagipula, sebelum pria itu datang, pekerjaan untuk nya juga belum akan turun. Jadi, apa diri nya hanya akan memakan gaji buta? Tidak. Bukan begitu juga, hanya saja... Oh ayolah, apakah yang di lakukan nya terlihat salah dimata Naren?

"Saya hanya membantu danㅡselama Bapak belum datang, tugas saya juga belum akan turun. Tapi jika itu menganggu, saya tidak akan mengulangi nya lagi." jawab Manda pelan. Setidaknya mengalah lebih baik, sekalipun ia merasa ini benar, namun saat ini dirinya bukan lah apa-apa bila di kaitkan dengan Naren, yang mana pria itu adalah boss nya.

Naren menggeleng. "Saya tidak mempersalahkan perkara kebaikan kamu, tapi apa menurut kamu dengan pandangan karyawan lain? Seingat saya, kamu lah yang pertama kali takut akan reaksi karyawan lain setelah mereka tahu dimana kamu di tempat kan. Betul?"

Manda mengangguk. Membenarkan ucapan pria itu, "Memang benar, tapiㅡ"

"Tapi, yang kamu lakukan justru kamu melemparkan diri kamu sendiri ke dalam hal yang seharusnyaㅡjika memang itu adalah ketakutan muㅡkamu hindari. Kebaikan kamu tidak salah, itu benar. Dan saya seharusnya perlu apresiasi untuk itu, tapi saya tidak mau kalau pada akhirnya kamu tidak nyaman. Tolong, jangan melawan arus yang bahkan kamu sendiri belum memikirkan pertolongan pertama semacam apa yang bisa kamu lakukan nanti. Cukup kerjakan bagian kamu, dan nyaman kan diri kamu di butik ini. Karena saya paham betul, karakter semacam apa yang ada di bawah sana, dan sejujurnya hanya ada satu orang yang dapat saya andalkan di bawah sana. Senda, hanya dia."

Manda menahan nafas nya mendengat rentetan panjang ucapan pria di hadapan nya. Antara ketidaksukaan dan rasa menghargai, setidaknya itu yang dapat Manda tangkap dari beberapa kalimat yang baru saja ia dengar. "Saya paham, Pak. Terimakasih untukㅡmmm, nasehat nya. Setidaknya saya akan lebih berhati-hati lagi setelah ini. Sayaㅡ"

Naren kembali memotong ucapan nya, "Sekalipun hasil karya itu tertuang dari sosok yang memiliki kepribadian berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan suatu hal yang di hasil kan nya, namun tidak ada satupun yang dapat memungkiri, ia lahir dari sebuah pemikiran yang luas dan hebat."

Dan untuk kesekian kali nya, Manda kembali memuji pria di hadapan nya. Namun kali ini, hanya ia simpan sendiri.

"Le,"

Chilleo yang sedang kesal akan kemacetan Ibukota itu menoleh, masih menampilkan sedikit raut kesal di wajah nya. Membuat Manda sedikit terkekeh, "Jelek banget muka nya." ujar Manda seraya bersedekap dan memiringkan wajah nya.

"Aku kan udah sempat bicara masalah ini sama kamu. Taksi jam segini juga masih banyak kok," jelas Manda pelan, yang hanya di balas helaan nafas pria di samping nya.

"Bukan masalah Taksi atau apapun itu. Masalah nya itu ya kamu," jawab Chilleo setengah bergumam, membuat Manda tertawa.

"Jelasin, darimana masalah nya? Kalau kamu mau ngerti, seberapa jauh nya jarak antara kantor kamu dengan butik nya Naren, kamu sekarang udah selonjoran di kasur empuk kamu itu." ujar Manda pelan agar tidak menyinggung perasaan pria di samping nya yang seperti nya enggan melanjutkan pembicaraan ini. Biarkan saja.

"Selonjoran dengan pikiran kemana-mana? Sama saja," gumam nya lagi, namun kini tidak ada suara tawa lagi dari Manda. Hanya kernyitan di dahi nya dan sebuah pertanyaan yang menurut Chilleo adalah pertanyaan yang retoris.

"Apalagi yang harus kamu pikirkan?" tanya Manda bingung. Memang seberat itu pekerjaan di kantor nya? Lagi pula seperti nya ini terlalu berputar-putar hingga dirinya sendiri pun, tidak paham.

"Kamu."

Tbc.

ARGHHH, butuh dua hari buat nulis ini dan butuh berhari-hari buat mikir kira2 apalagi yg mau di tulis di sini. Buntu, itu satu hal yg nggakbisa aku tangani beberapa hari ini. Jadiiii, (lagi-lagi) sorry bgtbgt buat slow update nya. Di usahain, selanjutnya nggak akan kaya gini lg. Jd makasii bgt buat yg masih mau (smg aja:'v) baca cerita ini, kasih vote dll! Thankyouuu!

··Smg masih bisa bayangin alur yg kmrn yaaa hehe··

Agairana AmandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang