Keadaan mobil yang dingin begitu kontras dengan keadaan di luar yang begitu panas. Beberapa pejalan kaki bahkan memilih untuk menggunakan payung sebagai penutup kepala agar tidak terlalu panas. Peluh mulai bermunculan di wajah beberapa penjual asongan yang hilir mudik di sepanjang jalan.
"Sayang," Daniel menepuk pundak istri nya pelan, mencoba menyadarkan lamunan Maura yang sedari tadi memilih bungkam seribu bahasa.
Maura menoleh dan kemudian membenarkan posisi duduk nya. "Ya?" jawab Maura seraya menatap Daniel yang masih menatap lurus kedepan, namun tangan nya beralih untuk menggenggam tangan Maura yang berada di atas pangkuan istri nya itu.
Hingga setelah Daniel menepikan mobil nya di depan sebuah toko perlengkapan alat tulis di salah satu bahu jalan, kepala nya menoleh penuh. Tangan nya semakin mengerat dan senyum kecil terbit di bibir nya.
"Ada yang kamu mau katakan pada aku?" tanya Daniel pelan dan langsung membuat Maura gugup. Bibir nya sedikit berkedut, hendak berkata sesuatu namun serasa hanya sampai di tenggorokan nya saja.
"Aku baik-baik saja," gumam Maura pelan yang langsung membuat Daniel menggeleng. Tidak sepaham dengan hal itu. Bagaimana bisa dia mengatakan tidak terjadi apapun tapi mata hitam nya berkata tidak demikian. "Bicara, nggak papa. Daripada harus melihat kamu gelisah seperti ini terus. Kamu kepikiran apa? Manda?" tanya Daniel bertubi-tubi dengan nada setenang mungkin.
"Kamu janji ya? Tapi..." ucapan Maura terpotong dengan anggukan Daniel. "Bilang, apa sih yang ganggu pikiran istri ku?"
"Kalau Manda suka kamu, gimana?" tanya Manda perlahan dengan mata nya yang mengunci tatapan Daniel.
Awal nya, keheningan yang menjawab semua nya. Namun beberapa detik kemudian, suara tawa lirih Daniel terdengar menggema di dalam mobil. "Kamu ini bicara apa? Itu nggak mungkinㅡatau bahkan, kemungkinan yang nggak akan pernah terjadi." jawab Daniel yakin dan kemudian Maura tersenyum lemah.
"Kalau hal itu memang benar ada nya, kamu bisa apa, Dan?"
Daniel terdiam. Kemudian tangan nya beralih ke pundak Maura, "Bakal tetap memilih kamu. Karena aku hanya mencintai kamu. Dan sedari kecil kita memang dekat, aku rasa kamu sudah mendengar cerita Bunda, 'kan? Hanya sebatas sahabat, Ra. Sebatas itu."
Maura termenung. Kembali teringat dengan semua cerita panjang Bunda nya begitu diri nya kembali ke Jakarta dan adik nya sibuk dengan skripsi nya, dan akhirnya kesepian itu membuat nya menempel penuh pada Bunda nya dan mengalir lah semua cerita-cerita itu.
"Kamu nggak perlu memikirkan apapun, Ra. Nggak ada apapun antara aku dan Manda. Percaya sama aku."
•
"Selamat siang, Pak."
Chilleo mengangguk sekilas dan kemudian berjalan sedikit lebih cepat begitu menemukan siluet tubuh sosok yang pasti sudah menunggu nya sedari tadi, karena memang mereka membuat janji jam sebelas, namun ia baru keluar dari ruangan nya pukul dua belas.
"Om," sapa Chilleo pelan setelah sampai di meja nomor dua puluh dua dan begitu sosok itu menoleh, membuat Chilleo tersenyum lebih lebar.
Pahlevi, yang sedari tadi menunggu kehadiran keponakan nya itu tersenyum kecil, tangan nya bergerak untuk mempersilahkan Chilleo duduk di kursi nya. "Sudah makan siang?" tanya Pahlevi pelan seraya menaruh handphone nya di atas meja. "Belum," gumam Chilleo pelan seraya tertawa lemah.
"Pesan?"
Chilleo menggeleng. "Ada yang mau Om bicara kan?" tanya Chilleo to the point dan langsung membuat Pahlevi tertawa kecil. "Nggak, cuma memastikan mahasiswi yang Om masukin ke sini, nggak mengecewakan. Kamu sudah lihat kinerja dia?" tanya Pahlevi seraya menatap keponakan nya baik-baik.
"Sudah. Baik, dan sebenarnya aku juga memiliki tujuan memeriksa kantor cabang ini. Papa dan aku sepakat, untuk mengganti Alaf dengan Amanda. Papa, sudah memilih sendiri calon nya." ucap Chilleo mantap seraya mengambil salah satu minuman gelas yang memang tersedia di setiap meja itu.
Pahlevi terkesiap. "Alaf? Alafindra?"
Chilleo mengangguk. "Dia resign, pindah ke Surabaya seperti nya." jawab Chilleo pelan.
Pahlevi mengangguk kan kepala nya mengerti. "Ya sudah, semoga Joan tidak kecewa dengan kinerja Amanda. Om benar-benar beruntung tahun ini mendapatkan dia dari UI. Om yakin kamu tahu apa maksud Om, Le..."
Chilleo tertawa. "I know what you mean,"
"Bagus. Ya sudah, lanjutkan pekerjaan mu. Om harus segera kembali." ujar Pahlevi seraya berdiri dan berjalan menuju Chilleo untuk menepuk pundak nya dan bergumam pelan. "Good luck!"
•
Fian, yang serius di balik komputer hitam nya itu seketika mendongak mendengar suara yang menyebutkan nama nya. Begitu melihat siapa yang berdiri di depan kubikel nya, sontak Fian langsung berdiri dan menanyakan maksud boss nya itu. "Ada yang Bapak perlukan?"
"Saya mau kamu kirim kan data mengenai pegawai bernama Agairana Amanda ke e-mail saya."
Fian segera mengangguk dan melakukan apa yang di ingin kan oleh boss nya itu. Begitu selesai, diri nya kembali berdiri dan mengatakan bahwa data nya sudah ia kirim kan.
•
Dengan baju merah maroon berlengan pendek, celana kain selutut dan rambut yang di cepol berantakan, wanita itu membereskan barang-barang terakhir yang sebelumnya sudah ia tata di ruang tamu. Keringat yang meluncur bebas dari kening nya, sesekali ia seka menggunakan baju nya sendiri. Memang hanya tersisa barang berupa baju kerja dan sepatu yang belum ia masukan ke dalam kardus. Dulu, sebelum kepindahan nya dari Jakarta, diri nya memang tidak serepot ini. Akan ada Bibi dan Bunda nya yang akan membantu membereskan ini semua. Tapi, kali ini tidak ada siapapun di rumah ini karena Mbak yang biasa nya bersih-bersih pun, sudah di berhentikan mulai dari kemarin sore.
Kling.
Suara handphone yang ia letakan di atas meja, membuat diri nya segera mengambil handphone nya yang saat ini sedang mendapat satu panggilan telepon dari nomor yang tidak di kenal. Mata nya sedikit menyipit dan mulai memikirkan kemungkinan siapa-siapa yang sedang menelepon nya saat ini. Apakah teman kerja nya, atau mungkin memang salah satu dari mereka yang sedang mengerjai diri nya, tapi rasa nya tidak mungkin jika Dera, Aldo, dan Dafa melakukan hal ini.
Akhirnya, dengan perlahan dia menerima panggilan itu dan meletakan handphone nya ke telinga. "Halo?" gumam Manda pelan.
"Akhirnya kamu menjawab telepon saya."
Manda terdiam, otak nya mencoba untuk berpikir, kapan diri nya pernah mendengar suara ini. "Tolong simpan nomor saya, ya."
Manda merutuk dalam hati. Bahkan diri nya belum tahu benar, siapa pria ini, tapi sudah meminta nya untuk menyimpan nomor nya? Tidak akan.
"Maaf, saya sedang berbicara dengan siapa, ya?" tanya nya pelan-pelan, agar si penelepon tidak tersinggung atau merasa dongkol, mungkin.
Suara tawa menyambut nya di sana. "Marchilleo." jawab si penelepon. "Tapi, kamu bisa panggil saya Chilleo atau Le, karena saya rasa, umur kita tidak terpaut terlalu jauh."
Manda mematung di tempat. Marchilleo, Chilleo, ataupun Le?! Astaga, rasa nya Manda sudah ingin menelusup masuk ke dalam kardus cokelat besar di hadapan nya begitu tahu identitas di penelepon. Apakah bisa diri nya menyebut ini sebuah keberuntungan? Atau sebuah khayalan, bahkan nomor ini adalah nomor pribadi. Sial, memikirkan bagaimana bisa diri nya mendapat nomor telepon boss nya saja, tidak pernah ia lakukan. Tetapi, justru saat ini diri nya di telepon. Astaga, di telepon.
"Oㅡoh, ternyata Bapak. Saya pikirㅡ"
"Bapak? Jangan panggil saya seperti ituㅡmaksud saya, di luar jam kantor."
Manda terdiam. "Ada yang bisa saya bantu?" akhirnya, setelah menemukan kata-kata yang pas untuk ia lontarkan, Manda menghela napas nya.
"Nggak. Saya cuma mau kasih satu penawaran ke kamu. Dan ini khusus." ujar Chilleo menjelaskan maksud nya. "Jadi begini..."
Manda terdiam. Tertegun di tempat nya, dengan napas tak beraturan.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agairana Amanda
RomanceAmanda mencintai Daniel, Daniel memilih Maura, dan Amanda menyayangi Maura. Diri nya saat ini hanya sedang berputar di lingkaran cinta yang tidak berujung, diri nya hanya perlu untuk keluar dan membiarkan mereka untuk bahagia. Dan terlebih, kini dir...