[TIGA PULUH]

23.3K 1.1K 6
                                    

Chilleo menatap rumah berwarna cream itu pelan. Tidak kecil namun tidak terlalu besar juga, sangat cocok untuk ukuran seseorang yang tinggal seorang diri.

"Pak... Kita mau di sini saja atau bagaimana?" tanya supir kantor nya itu.

Chilleo menggeleng. "Kita balik ke kantor, lima menit lagi." ujar nya seraya menatap rumah itu kembali seolah-olah sosok yang sedang di cari nya ada di depan rumah itu.

"Ayo kitaㅡkamu tunggu di sini, saya mau turun sebentar," ujar nya buru-buru seraya membuka pintu dan berjalan sedikit cepat menuju pagar rumah itu.

"Permisi," ucap Chilleo pelan.

Wanita yang berbalut baju tosca dan celana panjang levis itu kemudian berbalik, "Ah, iya?"

Chilleo menatap wanita itu pelan. "Anda kenal dengan orang yang mempunyai rumah ini?" tanya nya.

Arini, wanita itu, tersenyum kecil seperti mengerti bahwa ini bukan tamu nya atau pun tamu suami nya. "Tentu, saya teman dari pemilik rumah ini. Kita bisa masuk bersama-sama kalau begitu," ajak Arini seraya membuka pintu pagar itu dan mendahului Chilleo untuk sampai di depan pintu.

"Man," ucap Arini seraya mengetuk-ngetuk pintu itu tanpa menyadari bahwa Chilleo masih berdiri di tempat nya, tidak bergerak sedikit pun.

Sudah lima menit dan tidak ada jawaban apapun, sampai Arini ingat bahwa ia membawa handphone dan segera mengambil handphone nya.

"Man? Kamu di mana? Aku ada di depan rumah kamu dan seperti nya ada yang mencari kamu,"

Chilleo sontak menoleh dan menatap Arini dengan pandangan tidak percaya, tidak, jangan sampai ia menyebut nama nya dan semua nya akan benar-benar kacau. Akhirnya, dengan perlahan Chilleo memutar badan nya dan berjalan secepat mungkin menuju mobil nya.

"Ayo, kita ke kantor sekarang juga."

Sementara itu, Arini masih tidak menyadari bahwa Chilleo tidak ada di belakang nya.

"..."

"Ah gitu, yaudah nggak papa kok. Nggak, jangan buru-buru Manㅡaduh aku lupa tanya nama nya. Sebentar, sebentar."

"Loh?" gumam Arini seraya menatap halaman rumah yang tampak kosong dan pria itu tidak ada di tempat nya lagi. Kenapa bisa?

"Manㅡbentar deh, tadi orang nya bener-bener ada di sini, tapi kok sekarang udah nggak ada ya?" ujar Arini bingung.

Arini mengangguk kan kepala nyaㅡyang mungkin tidak akan terlihat oleh si penerima telepon. Kala Manda mengatakan untuk tidak ambil pusing dengan kejadian yang baru saja terjadi itu.

Manda menghembuskan nafas nya pelan. Pemikiran nya tiba-tiba bercabang kemana-mana. Tidak, itu bukan Chilleo, batin nya dalam hati. Tidak mungkin pria itu yang mencari nya, bukan? Mereka sudah selesai. Dalam semua hal.

"Mbak, di cari Pak Naren. Di suruh ke ruangan beliau sekarang." suara wanita yang tadi di ketauhi nya bernama Finda itu membuat Manda tersadar dan segera mengangguk kepada Finda yang kemudian berlalu hingga ujung lorong sana.

Dengan langkah cepat Manda melangkah menuju lift dan setelah memencet tombol lima, ia beranjak ke bagian belakang dan menyenderkan tubuh nya. Dan saat diri nya sampai di lantai dua, tiba-tiba lift menjadi penuh sesak karena banyak karyawati yang masuk ke dalam lift.

"Lo tau Marchilleo Guerra, Den?"

Deg. Nama itu lagi. Sial, kenapa selalu nama itu yang harus terdengar oleh telinga nya? Konyol, memang konyol berharap untuk tidak mendengarkan nama nya di sini. Istilah nya, diri nya berpijak di satu tanah yang sama, diri nya menghirup udara yang sama dengan pria itu. Dengan segala anugerah yang Tuhan beri untuk dia, bagaimana bisa ia meminta untuk sehari saja tidak mendengar nama itu? Mustahil, sangat mustahil.

"Tau, tau. Anak konglomerat yang punya kembaran itu kan? Sayang banget kembaran nya udah punya tunangan," ujar teman nya yang lain.

Wanita tadi tertawa kecil. "Lah, si Marchilleo juga udah punya tunangan kali. Tapi gue denger-denger sih, dia di tinggalin gitu. Ah, bego banget kan ya si wanita nya itu?" cerocos nya panjang lebar, tidak memperdulikan kondisi lift yang tampak penuh dan tidak perduli pula dengan sosok yang tersudut di belakang dan terdiam menahan perih karena nama itu, nama yang justru mereka elu-elu kan sedari tadi.

"Tapi gue denger juga sih Wi, kalau sekarang dia juga udah punya tunangan lagi. Tapi nggak tahu deh itu kelanjutan nya kayak gimana, sayang nya wajah wanita nya nggak pernah muncul juga."

Itu aku, itu aku. Dan bukan, aku bukan tunangan pria itu, tidak untuk sekarang, dan tidak untuk saat itu, teriak sudut hati Manda. Hati nya sakit, hal itu yang sampai sekarang belum sanggup ia temukan obat untuk itu.

Ting

Lift berhenti tepat di lantai lima, dan seperti nya wanita-wanita di hadapan nya tidak berniat untuk keluar dan akhirnya dengan kepala tertunduk sedikit Manda mencoba untuk keluar. Dan berhasil, ia berhasil keluar dari tempat kotak yang seperti nya sanggup menelan nya jika ia telat untuk keluar dari dalam sana.

"Apa? Tapi, saya nggak bisa Ren. Itu sedikit terdengar nggak adil untuk yang lain." ujar Manda pelan saat Naren mengatakan bahwa pekerjaan akan menjadi sekertaris pribadi pria itu.

"Di bagian mana yang menurut kamu nggak adil? Kamu lulusan Ekonomi, nggak mungkin saya naruh kamu di bagian produksi kan? Apalagi di bagian office girl... Itu tambah tidak masuk di akal, Amanda."

Amanda duduk dengan gelisah, tangan nya sudah dingin sedari tadi. Membayangkan apa yang akan di dapat kan nya ketika semua karyawati di sini mengetahui hal ini, oh Tuhan, ini apa lagi?

"Kamu diam, dan artinya iya." ujar Naren seraya tersenyum lembut.

"Tapi sayaㅡ"

"Saya tahu. Saya tahu apa yang kamu takut kan, nggak perlu takut kalau kamu tidak pernah melakukan kesalahan. Anggap saja ini gift dari Tuhan untuk kamu?"

"Semua nya memang hadian dari Tuhan. Dan aku sepatut nya bersyukur. Terimakasih."

Tbc.

Haii, ini nggak sempet edit dll kalo ada yg perlu di koreksi silahkan comment. Ini sistem nya kebut ahahahaha. Thankyouuu!

#edisiUKK :')

Agairana AmandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang