Chapter 2

4.8K 183 0
                                    

Sebelum naik ke lantaiku, aku mampir 2 lantai dibawahnya. Kafetaria. Mesin penjual minuman yang ada disudut cafe. Tanpa memperhatikan sekeliling, aku melangkah pelan kesana. Meski begitu, aku tak bisa mengabaikan 2 orang pegawai perempuan yang sedang seru bergosip dengan suara tinggi. Jelas, dunia hanya milik mereka berdua.

Bergosip saat sarapan. Bergosip saat bertemu di toilet. Bergosip saat menunggu kiriman fax. Bergosip saat mengantar berkas. Bahkan bergosip saat meminjam lem kertas. Ada apa dengan semua gadis-gadis ini? Apa topik pembicaraan bisa begitu banyak dan tak habis-habisnya meski mereka bertemu sepanjang hari di kantor?

"eh, menurut kamu, anak pak Ricard itu gimana?" Tanya salah seorang diantara mereka begitu menelan satu suap nasi gorengnya. Aku terhenyak. Bukan menguping tapi kafetaria begitu sepi dan suara mereka mungkin terdengar hingga lift atau hingga lantai 50.

"apanya?"

"ya semuanya."

Temannya terlihat berpikir sebentar. "ehm, cantik sih cantik. Tapi kayaknya rada sombong ya?"

"sombong? Dia mah SOK! Seumur jagung aja belagu."

"aku pernah pas-pasan ama dia, terus senyum. Dianya Cuma diem aja kayak yang aku sapa itu tembok. Abis itu benaran kapok. Mending pura-pura gak lihat dari pada dicuekin." Temannya mengangguk cepat. Dia menambahkan, aku mungkin saja sebenarnya robot canggih keluaran Jepang dan jelas tak punya sifat manusia. Robot? Aku yakin, papa akan menganggap ini benar-benar lucu.

Dari pantulan kaca mesin penjual minuman dihadapanku, aku memandangi mereka. Juga pantulan seorang OB yang tak jauh dari sana. Dia melihat antara aku dan kedua gadis itu bergantian.

"kamu tahu yang paling WAH? Dengar-dengar nih ya... Dia belum pernah pacaran." Dan reaksi yang diberikan temannya, sungguh luar biasa.

"SUMPAH?!!" dia hampir menumpahkan minum. "Tahu darimana? Eh tapi wajar sih. Lihat aja bentuknya. Kotak. Gak pernah senyum. Terus saking kakunya, rambut dia mungkin gak bakal goyang dihantam badai. Cowok mana yang berani ngedekatin dia?"

Lalu kepala dua wanita itu beradu di tengah meja. Bergosip seru. Membuatku terheran-heran. Bukan bagian semua keburukanku itu tapi fakta kalau mereka punya bahan untuk digosipkan tentangku saat aku bahkan tak mengenal mereka. Mereka bahkan bukan dari departemenku. Lalu semuanya semakin menjadi-jadi hingga aku susah payah untuk tak tertawa. Apalagi saat bagian mereka bilang kalau aku melakukan operasi plastik, sungguh, aku hampir meledak tertawa. Lihat, bahkan si OB nyaris menelan pel nya mendengar gosip hangat itu. Woah... memang diperlukan kemampuan khusus untuk bergosip. Sambil jalan, aku menarik 2 kaleng ekspresso lagi dan membawanya ke meja 2 pegawai yang sibuk bergosip itu.

"morning." Sapaku dan mereka mengacuhkannya. Aku baru mendapatkan perhatian mereka setelah menghantamkan 3 kaleng ekspresso ke atas meja. Tak keras tapi mereka akhirnya melihatku. "pagi?"

Yang satu tersedak makanan dan yang satu menyemburkan minuman. Beberapa saat mereka terlihat susah bernafas sebelum akhirnya berteriak berbarengan. "KEPALA DIREKSI!"

Wajah mereka dari hijau menjadi sepucat kertas.

Begitulah bagaimana aku memulai dan mengakhiri hariku selama 2 tahun. Tak perduli kata papa itu membosankan yang penting aku menikmatinya. Seperti, siapa peduli pada semua pendapat tak penting itu?

Bukannya aku tutup mata pada semua gosip yang menyebar lebih cepat dari virus apapun di kantor. Hanya saja, aku memilih mengurus urusanku sendiri. Tak seperti kebanyakan orang yang tak bisa mengurus urusannya sendiri dan sibuk mengobrak-abrik tong sampah orang lain.

OB yang tercengang sambil tetap mengepel pada satu tempat itu akhirnya kukenali sebagai OB yang sering kutemui di dekat lift. Sambil melintasinya, aku memberi kaleng ekspresso terakhir. Meski tak sepenuhnya yakin aku sedang mengulurkan itu padanya, dia mengambilnya dan mengucapkan terima kasih dengan pelan.

Aku sudah akan pergi saat aku mendengar si OB menghela nafas panjang. Dia sangat kaget saat aku berbalik dan, memandanginya.

"kamu potong rambut?" aku ingat dia selalu punya rambut yang agak gondrong hingga kucurigai dia pengikut sejenis aliran sesat sampai aku mendengarnya bilang kalau itu gaya rambut trend milik boyband. Dia tak menjawab. Hanya menggenggam tangkai pelnya sambil mengangguk.

"bagus." kataku pelan sebelum akhirnya benar-benar berjalan kearah lift. Aku punya begitu banyak hal yang menungguku diatas.

***


The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang