Chapter 36

1.8K 90 3
                                    


"kamu mau aku mati serangan jantung?" aku ingin menjeritinya tapi aku rasa bukan pilihan baik di jam 4 pagi.

Untuk apa dia menempelkan mukanya di kaca jendela seperti itu? aku nyaris mati terduduk. Sekaligus penasaran karena tak bisa menebak hantu jenis apa yang membuatku mati barusan.

Hany malah tersenyum sambil memeluk kucing salah nama. "aku dengar suara mobil. Tapi heran kamu gak masuk-masuk juga. Kamu ngapain duduk diam begitu di dalam mobil?"

Sudah berapa lama dia memperhatikanku?Apa dia memperhatikanku dengan menempelkan muka di kaca jendela sejak tadi dan aku sama sekali tak sadar? Ya tuhan. Menyeramkan.

Dan, apa perlu menjelaskan alasan kenapa aku duduk diam di mobil ini? Aku mungkin akan menjelaskannya pada jeepo. Tapi tak akan pada bocah 8 tahun dan di saksikan oleh seekor kucing salah nama. Mungkin saja kucing bermata jahat ini sebenarnya bisa bicara dan membocorkannya pada seluruh dunia.

"ayo kita masuk." Aku menutup pintu mobil dan berjalan mendahului Hany. Dia dengan cepat mengikuti dan menyambar tanganku sekalian. Aku menarik tanganku dari genggamannya tapi dia mencengkram lebih erat. Tak perduli aku memplototinya. Dia hanya kekeuh menggenggam tanganku. Akhirnya, dengan Hany menggandeng tanganku, kami masuk ke rumah.

"Hany. kamu sayang mama kamu?" tangan anak itu mencengkram tanganku lebih erat. aku menunggu dia menjawab. Tapi hingga tiba di kamarnya, dia tak menjawab.

***

Ini hanya butuh keyakinan dan aku wanita yang berkeyakinan kuat.

Lihat dikaca itu. Aku wanita karir modern yang tak akan membiarkan masalah percintaan kandas sebagai alasan untuk tak menjadi diriku lagi. Aku bisa. Aku selalu bisa melakukan semuanya sendiri. Sekedar bangkit dengan kakiku sendiri, seharusnya bukan masalah.

Aku mengabaikan Gilang yang menyapaku saat berpas-pasan di tangga. Kemudian mengabaikannya saat sarapan. Mengabaikannya saat satu lift. Mengunci pintu ruanganku saat jam istirahat. Mengganti jadwal ke toilet. Dan pulang dengan muka paling letih hingga tak ada yang menahanku sama sekali.

Aku punya keyakinan yang kuat.

"bos. Apa bos yakin gak perlu ke dokter?" aku mengangkat kepalaku dari berkas yang sedang kuperiksa. Diana maju ke pinggir meja dan membuat bentuk teropong kearahku.

"what?"

"karena teropong aku bilang. Kalau orang minum 10 gelas lebih kopi sehari itu, sakit." Dia menunjuk tumpukan bekas gelas kopi instan yang berada di tong sampah. Apa sebanyak itu aku minum kopi? "iya bos. Sebanyak itu."

"kamu bisa baca pikiran Na?" seseorang sering melakukan ini padaku. Dia sering menjawab perkataan yang sepertinya tak kusuarakan.

Diana bersandar di kursi sambil mendecak. "bos sering thinking aloud. Kelepasan ngomong. Bos gak tahu?" aku tak tahu.

"gimana kabar Meiling?" aku tak pernah bicara lagi dengan Meiling sejak peristiwa senasib kami itu. Hanya sekedar bertukar sapaan di koridor. Kembali seperti semula.

"BOS TAHU TENTANG MEILING?!!!" jerit Diana mendadak sambil menggebrak mejaku sekalian. Aku begitu terkejut hingga menumpahkan kopi yang baru saja ingin kuminum. Apa tak bisa sekali saja Diana bertingkah normal dan tak perlu meledak disana-sini? Selain pintu. Aku mulai mengkhawatirkan mejaku.

"gak usah teriak Na. Aku gak budek." Aku memplototinya tapi Diana tak mengubah posisi. Dia masih setengah berdiri sambil tangannya mengecap diatas meja kacaku. Pajanganku yang malang. Sudah roboh kali ini.

"bos tahu kalau Meiling mau resign?" bisiknya.

"what?"

Mata Diana meredup. Kemudian dia menghempaskan diri kembali ke kursi. "dia baru cerita tadi pagi. Katanya mungkin bakal resign. Dia gak bilang karena apa. Memei gak pintar bohong bos. Jadi dia cuma geleng waktu ditanya alasan. Kita benar-benar gak tahu dia kenapa. Beberapa hari kemarin dia juga kabur gitu aja padahal paginya masuk—waktu bos juga gak masuk itu loh. Ada yang lihat dia ribut sama Bima ditangga emergensi. Tapi dia bilang bukan karena itu. Dia cuma bilang kemungkinan bakal resign."

Diana maju mendadak dengan tangan terulur keatas meja mencengkram tanganku. "bos tahu kenapa?" aku menggeleng cepat. Lebih karena aku shock. "darimana bos tahu? Dari HRD ya? Dia udah lapor ke HRD?" aku hanya berkedip. Tak tahu harus menjawab apa. "gimana kalau dia benar resign bos?"

Apa sebesar itu masalah Meiling? Dia terlihat baik-baik saja kemarin-kemarin. Kenapa dia mau resign?

"dia gak cerita ke Bima?"

Asistenku itu kembali menggeleng sedih. "Bima malah kaget banget waktu kita tanya. Dia gak tahu sama sekali." Dia menghela nafas. "Meiling itu kelihatannya aja cablak. Tapi dia gak pernah cerita yang pribadi."

Kami diam beberapa saat kemudian. Aku pikir, hidupku yang baru saja hancur. Tapi Meiling malah berakhir. Hanya saja, dia punya teman-teman yang mengkhawatirkannya. Diana dan geng makan siangnya it,. terlihat jelas mereka mengkhawatirkan Meiling. Sementara aku... menghabiskan bercup-cup kopi agar bisa sekedar berdiri.

Lucu Jadica. kamu bilang gak butuh teman kan?

Apa sekarang berubah pikiran?

"bos." Diana terlihat begitu serius. "kalau Meiling masukin surat pengunduran diri, buang aja. Oke?"

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang