Chapter 25

2K 100 0
                                    


"Jadica.. Jadica..."

Aku melotot padanya. Lagi-lagi, dia menyebut namaku berulang-ulang. Seperti saat di teras hotel. Saat kami ngobrol lebih manusiawi. Kemudian dia bilang aku tak menikmati hidup.

"apa kamu perlu melotot gitu?" tawa telah menghilangkan nada kesalnya tadi. Begitu cepatnya dia merubah mood. Orang ini kepribadian ganda. Aku memilih untuk kembali mengabaikannya. "sini, aku tahu cara ngurangin rasa sakit memar."

Dia mengambil pisau daging yang berkilau dari laci dan tersenyum kearahku. Mungkin aku memilih saat yang tak tepat untuk terpesona dengan senyumnya itu. hingga tahu-tahu dia sudah berada di depanku dengan pisau terangkat.

Aku menyambar pergelangan tangannya. Apa dia mau memotong kakiku?

"bukan. Kita bisa ngurangin memar kalau ditempelin ama pisau atau sendok. Kayak kompres." Aku tak melempas pergelangan tangannya yang kusambar. Dia pikir aku akan percaya? "Jade..."

Dengan keras kepala aku tetap tak melepas pergelangan tangannya. Gilang tertawa kecil lalu mengangkat jariku satu persatu dari melilit tangannya. Mungkin lagi-lagi aku terpesona, aku membiarkannya.

Lalu dengan perlahan dia menempelkan pisau besar itu bagian lututku yang memar. Aku berjengit tanpa suara saat permukaan dingin besi itu menempel di lututku. Apalagi saat dia menekannya lebih keras. Kali ini aku menggenggam pingiran konter sambil menahan jeritan yang rasanya sanggup merobohkan monas.

"aku bisa sendiri." Putusku beberapa saat kemudian. Dia sudah menunjukkan contoh. Hanya menempelkan pisau kan? Aku bisa.

"Jade. Semua orang juga bisa." Tapi dia menahan tanganku dari menggapai pisau. Aku melotot. "at least, anggap ini permintaan maaf Hany. oke?"

"aku gak nyalahin Hany." aku mungkin marah. Tapi lebih kepada papa. Kenapa dia bisa sebodoh itu? bagaimana dia bisa begitu ceroboh. Apa tak terlintas di pikirannya kalau rumah bisa terbakar? Bersama mereka sekalian. Dia bukan hanya membunuh dirinya sendiri. Tapi juga Hany. Dia hampir menghilangkan 2 nyawa dengan tindakan ceroboh itu. "justru aku mungkin yang perlu minta maaf. Papa hampir aja bikin celaka Hany."

Dan arti papa bagiku, akan sama dengan arti Hany bagi Gilang.

Aku tersentak saat tangan Gilang mengembalikan poni yang terjatuh menutupi keningku yang tertutup perban. Tanganku sendiri langsung terangkat merapikan rambut yang jatuh kemukaku. Sungguh. Aku akan memotong rambut ini dalam waktu dekat. Saat aku bisa berjalan dengan lebih lurus lagi mungkin.

Maka aku membiarkan dia menempelkan pisau daging itu ke lututku hingga 5 menit kemudian. Tanpa ada perbincangan. Membuat pikiranku melayang kemana-mana. Seperti memperhatikan wajah Gilang yang entah kenapa konsentrasi berlebih hanya untuk menekankan pisau ke lutut.

Well, mungkin saja dia tadinya benar berniat ingin memotong kakiku?

"kok gak ada perubahan apa-apa?" akhirnya, aku tak sabar. Karena hingga nyaris mungkin 10 abad kemudian, aku mulai curiga ini hanya akal-akalan Gilang saja.

"siip. Udah." Dia mengembalikan pisau ke dalam laci. Sementara aku memperhatikan lututku dan yakin, tak ada yang terjadi. "kenapa kamu lihat begitu?"

"kamu bohong kan barusan? Lihat. Gak ada perubahan sama sekali." Malah perasaanku mengatakan warnanya sudah berganti biru hitam merata sekarang. Gilang duduk disampingku, diatas konter. Lalu memperhatikan lutut yang kutunjuk. Sama sekali tak ada perubahan disana.

"ya gak mungkin langsung sembuh juga Jade. Paling enggak, lutut kamu gak bakal sakit-sakit amat lagi." Aku memberinya pandangan ragu. Sumpah, dia baru saja membohongiku. "kamu kenapa ke bawah? Kenapa gak gedor kamar om atau aku?"

"aku bisa sendiri." Kakiku bukan patah. Hanya memar. Toh, buktinya aku bisa sampai ke dapur tanpa di gendong. Kalau bukan menabrak lemari pendingin, aku pasti sudah duduk manis sambil minum kopi.

Saat berbalik menengok kearah Gilang. Dia sedang menatapku. Seperti biasa, dia tak merasa malu atau merasa perlu memalingkan muka karena aku memplototinya balik.

"terus, untuk alasan apa kamu kabur dari aku selama di bali?" aku sudah akan membuka mulut. Tapi kemudian menutupnya. Membuat Gilang mengangkat alisnya menungguku bicara.

Kuputuskan, aku hanya mengangkat kedua bahuku. Alasan kenapa aku mendiamkannya selama di bali, akan kubawa keliang kubur.

Nah. Sudah berapa yang harus kubawa ke liang kubur?

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang