Chapter 24

1.9K 105 0
                                    

Mataku terbuka mendadak dan rasa sakit diseluruh badan membuatku tak bisa begerak. Kening dan lututku yang lecet dan memar. Tapi seluruh badanku sakit karena shock habis jatuh. Jadi aku hanya memandang langit-langit kamar hingga aku mampu duduk bangun diatas tempat tidur.

Apa dokter itu bilang? Istirahat paling tidak hingga 3 hari? Bukan aku yang membakar rumah dan kenapa harus aku yang menanggung akibatnya?

Aku sudah meninggalkan kantor selama 3 hari dan harus bertambah jadi seminggu? Tidak. Mungkin kantor akan baik-baik saja tanpa aku. Masalahnya, aku yang tak akan baik-baik saja tanpa kantor. Aku bisa gila kalau berdiam diri tanpa bekerja selama 3 hari. Atau mungkin tanpa sengaja menggantung diriku di ventilasi teras tepat disamping keranjang kucing salah nama itu.

Ugh.

Setelah rasanya tiga abad kemudian. Dengan badan penuh keringat dingin, aku berhasil mencapai dapur. Ini perjalanan ke dapur terlama yang pernah kulakukan. Apa ini? Siapa yang memindahkan dapur?

Atau sebaiknya aku tak menghantamkan lutut ke lantai bermarmer batu alam tak rata? Ya. Mungkin aku yang bodoh.

Beberapa lama aku bertahan di pegangan lemari pendingin. Mengatur nafas dan nyawaku yang sepertinya tercecer sepanjang jalan. Aku butuh segelas kopi. Aku butuh kafein. Mungkin bisa mengurangi sakit kepalaku.

Usahaku berhenti saat lututku malah menabrak lemari pendingin yang baru saja kujadikan tumpuan.

Aaarrrggghh!!!

Ohmpt!

"kamu ngapain?" tangan kokoh menahan pinggangku saat aku baru saja kembali hampir jatuh terjerambab karena kehilangan keseimbangan. Setelah berhasil membuatku kembali berdiri. Aku kembali mencoba berjalan dan berhenti disaat itu juga karena lututku berdenyut luar biasa. Yang kutahu, kemudian malah kakiku tak menginjak lantai.

"turunin!" jeritku tertahan. Kaget karena tiba-tiba aku digendong ala pengantin di dapurku yang berbau bekas kebakaran dari teras belakang.

Muka Gilang yang begitu dekat dengan mukaku itu terlihat kesal. Tanpa bicara dan tak perduli dengar rontaanku yang meminta turun, dia menaruhku di konter dapur. Lalu berdiri melipat tangan didada memandangku galak. Kenapa dia terlihat marah? Bukan aku yang menyuruhnya menggendongku?

"kamu ngapain?" tadi dia menanyakannya setengah kaget. Tapi sekarang dia menanyakannya dengan kesal. Aku menyamai posisinya dengan melipat tangan didada dan memberinya muka kesal.

"kamu gak perlu gendong-gendong segala. Aku bisa jalan." Sekarang, mukanya terlihat seperti ingin mendorongku dari atas konter sekalian.

"apa kamu jalan sambil nyium lantai?" apa? Berani-beraninya dia...

Aku diam dan menolak melihat kearahnya. Kenapa harus dia yang kutemui jam 3 subuh? Apa tak bisa hantu saja? Pocong juga tak masalah. Sekarang, aku harus terlihat begitu menyedihkan. Jangankan berjalan. Aku bahkan tak bisa berdiri. Seharusnya aku menahan sakit kepala hingga pagi sekalian.

"kamu ngapain?!" tanpa bisa ditahan aku menjerit saat telunjuk Gilang menekan lututku yang membiru. Aku menepis tangannya begitu cepat. Apa dia pikir aku baru saja akting tak bisa jalan? Sampai dia perlu menekan biru kehitaman di lututku itu?!

Tapi dia malah tertawa. "Jadica.. Jadica..."

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang