Chapter 19

1.9K 98 1
                                    

Berapa tadi jumlah pohon kelapa yang kelihatan dari teras? 57.

Berapa orang yang main selancar? 21.

Berapa kali orang itu menekan bel? 17.

Berapa kali aku mengabaikan belnya? 17.

Dan kenapa orang itu belum pergi juga? Gak tahu.

Sekali lagi aku mengingat hal lain sambil menutup kedua telingaku dengan bantal. Berusaha mengabaikan bel kamarku yang ditekan dengan nada semakin lama semakin tak sabar. Apa dia tak berpikir kalau aku mungkin tak ada di kamar?

Sepanjang pagi Gilang menekan bel kamarku dan sebagai wanita yang sudah menetapkan hati, aku berpendirian. Aku tak ingin melihatnya sampai aku harus melihatnya di pesawat. Aku tak ingin otakku memikirkan hal-hal tak perlu. Menguras tenaga dan tak baik untuk kestabilan emosiku.

Kenapa dia mesti berada di bar bersama wanita itu lagi?

Kali ini aku bisa pastikan dia super model. Dia memang super model. Sungguh, aku dendam kenapa Gilang harus mengelap bibirku waktu itu. Dia.. aku menghela nafas. Baik. Berhenti disana Jadica Diraja. Sekarang masih sempat. Dalam satu atau dua hari kamu akan baik-baik saja.

Aku memandang bayanganku dikaca dengan penuh keyakinan. Kemudian menyadari kalau bel itu berhenti di tekan. Dia sudah menyerah?

***

Dengan langkah perlahan aku menyusuri pantai. Kembali menikmati liburanku. Setelah sempat kucing-kucingan dengan 3 abege kuliahan itu, aku berhasil menyusuri pantai dalam damai. Memandangi gulungan ombak yang pecah saat menyentuh pantai. Ini membuatku terharu. Kapan lagi aku mengagumi hal lain selain neraca yang balance?

Bagiku hal terindah adalah saat debit dan credit memiliki jumlah yang sama. Atau saat melihat grafik indah yang menterjemahkan laporan komplikasi. Itu, karya seni.

Baru saja aku merasa bangga dengan kegiatanku, mataku malah menangkap sepasang manusia yang berjalan tak jauh dariku. Gilang dan si super model. Apa mereka mengikutiku?

Tanganku sontak meraih ujung topi jerami super lebar merapatkannya ke muka. Kemudian bersusah payah mencari shadingku yang terlempar ke dalam tas anyamanku. Dimana shading itu?

Mungkin mengikuti naluri, saat melepas shading ketika berhasil menjauh dari pasangan sempurna itu, aku berdiri di depan pondok barbeque. Ah! Surga! Dengan penuh semangat, aku memesan semua menu mereka. Tanganku mengetuk-ngetuk tak sabar di meja sambil menunggu pesananku selesai di panggang.

Ah... aku lapar.

Sialnya, tanpa bisa kutahan, mataku mengikuti arah terakhir Gilang dan si wanita cantik super model. Mendapati, Gilang sedang memperhatikan wanita itu dilukis. Oleh seniman yang melukisku kemarin.

Seniman itu pengkhianat. Akan kubuang lukisannya.

Tapi aku bersyukur bisa menjauh dari Gilang. Papa pasti tak tahu dia hampir membuatku menjadi korban buaya ganas itu. Untung aku terselamatkan. Bayangkan kalau aku terlambat sadar. Aku pasti suda mengiris nadiku seperti anak SMP patah hati sekarang. Kukira dia super berdedikasi seperti papa. Nyatanya, belum lagi lewat 2 hari, dia sudah menggandeng cewek di pantai bali?

Oke, dia cukup cepat. Tapi cewek itu cantik. cowok berdedikasi melebihi papa sekalipun tak akan mungkin mengabaikannya. Apa seharusnya aku tak meninggalkan 3 brondong itu? Sekedar teman makan cumi bakar...

Jadica! Kamu gak pernah butuh teman dan kamu tak akan pernah butuh. Benar. Lihat, betapa menggiurkan semua hidangan ini.

Menenggelamkan pikiran melanturku, aku menghabiskan semua hidangan yang kupesan. Membuat cowok manis yang mengantarkan pesananku takjub.

"aku kira kamu Cuma mau buang uang pesan makanan sebanyak itu. Nyatanya, kamu sanggup makan semua." Setelah itu aku mendengar siulan. Aku mengalihkan pandangan dari capit kepiting yang baru akan kuserbu-capit kepiting terakhirku-kearah cowok manis yang mengantarkan makanan tadi.

"hmm." Jawabku pendek sambil menggigit capit kepiting. Kresss!!

Ya sallaam. Sadaappnya. Sungguh dosa ada orang yang tak menghabiskan makanan. Terlebih orang yang memuntahkan lagi makanan itu dengan alasan diet. Bayangkan kepiting sesedap ini diperlakukan semena-mena seperti itu? Aaaah. Kepiting kepiting.

Tawa kecil menyela fantasi liarku dari kepiting. Cowok yang mengantarkan makanan itu tak pergi. Dia duduk dimeja disampingku. Sepertinya sedang memperhatikanku makan.

"what?" tanyaku sambil mengangkat kedua alis. Tak pernah melihat orang makan? Lagi pula, aku juga tak pernah melihat ada orang yang bisa makan kepiting seanggun makan sup. Jadi, aku berhak terlihat begitu barbar.

"ntar malam bakal ada pesta di pantai, kamu mau datang?" tawarnya langsung. Aku memperhatikannya lebih cermat. Seperti ulasan awalku tadi, dia cukup manis. Tinggi dan tegap. Dan senyumnya begitu manis. Apa dia baru saja mengajakku ke pesta? Dan dia berharap aku mau?

"oke." Kemudian aku menggigit kepitingku lagi. Sayang, ini kepiting terakhir. Apa sebaiknya aku pesan lagi?

"tunggu. Kamu baru aja bilang oke?" aku menghela nafas dan memandangi cowok itu. Dia sudah menyela momen makanku. Lagi. "oke kayak oke, begitu?"

"kamu tuli?" bukannya aku dengan jelas menjawab oke? Lagi pula aku tak punya acara nanti malam. Tak perlu kupastikan, Gilang mungkin akan sibuk dengan cewek cantik itu. argh. Jadica. Apa ini? Kau tak boleh perduli. Bila perlu, kalau terjadi kebakaran, kunci kamar Gilang sekalian. Biar dia terbakar bersama api.

Oh my god. Betapa jahatnya aku.

Cowok itu berpindah dan duduk di depanku. Dia bertopang dagu sambil memandangku yang sedang menggigit udang kecil. "kamu baru aja bilang 'oke' kayak 'iya' aku ajak ke pesta?"

Aku menatapnya. "apa menurut kamu 'oke' punya arti lain selain 'iya'?"

Lagi-lagi dia tertawa kecil. "kamu pasti gak inget aku siapa kan?"

Aku mengangkat alis kiriku. Baik, setelah brondong, apa sekarang aku ketemu orang gila? Inilah alasan kenapa sebagai cewek lebih baik sendiri. Betapa anehnya cowok-cowok ini? Kenapa mereka tak pernah sadar kalau mereka menderita gagal mental?

Jadi tak bekeliaran bebas seperti ini. Apalagi yang bertampang lumayan. Kasihan gadis-gadis yang mungkin sudah mengiyakan ajakan pesta. Kemudian harus menerima kenyataan kalau cowok itu gila.

Lucu. aku sedang mencontohkan diriku sendiri. Lebih baik aku kembali ke hotel. Ada baiknya aku tidur. Sosialisasi selalu menghabiskan energi dari pada memeriksa laporan keuangan semua divisi.

"tunggu." Cowok itu menahan tanganku yang baru saja bersiap menarik tas. "kamu mau pergi?" aku melotot. "tapi kamu tetap bakal datang ke pesta kan?"

Aku menyebutkan hotel dan nomor kamarku. Lalu menyingkir dari sana. Nah, bagaimana dengan gadis yang baru saja menyebutkan alamatnya pada seseorang yang mungkin gila?

***


The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang