Chapter 30

1.9K 99 0
                                    

Jeepo. Aku rasa, aku benar-benar gak tertolong lagi. Bisa kamu sadarkan aku? Aku mulai gak jadi diriku sendiri akhir-akhir ini. Masa semua sudut, yang kulihat itu Gilang?

Pagi-pagi harus selisih jalan di tangga dengan Gilang yang topless abis olahraga. Sarapan, dia duduk di depanku. Di garasi, dia akan mengucapkan hati-hati dijalan untukku. Siang, dia datang membawakanku makan siang. Sebelum pulang, dia mampir ke ruanganku. Begitu tiba di rumah, aku harus mendengarnya mengucapkan selamat malam.

Jeepo.. aku benar gak tertolong lagi.

Kenapa jeep ku ini sama sekali tak menjawab? Apa dia tak tahu aku butuh saran? Dia seharusnya tahu aku sangat terpuruk. Demi rambutku! Aku sudah memotongnya dan kenapa aku masih tak beruntung? Maksudku, paling tidak, aku tak perlu memikirkan apa makan siang yang akan dibawa Gilang besok tepat setelah cowok itu baru saja keluar dari ruanganku setelah makan siang.

Kemana pikiran normalku? Kemana akal sehatku?

Sungguh. Aku butuh pertolongan!

Kenapa aku harus memikirkan duda anak satu itu tanpa henti?

***

"Jade. Gunung tertinggi apa?" aku menjawabnya.

"sungai terdalam dimana?" aku menjawabnya.

"tsunami aceh kapan?" kembali, aku menjawabnya.

"siapa penemu komputer?" aku menjawab.

"berapa panjang tembok besar cina?" kujawab lagi.

"siapa pemimpin taliban?" masa dia tak tahu?

"kalau cut nyak dien, wafat kapan?" aku menjawab dengan cepat.

"anggota suju yang sebentar lagi ikut wajib militer siapa?" anggota... militer suju?

"what?" aku menurunkan majalah yang kubaca. Dengan kakiku yang masih menderita, aku menikmati akhir pekan dengan duduk di ayunan teras atas bersama Hany dan kucing salah nama yang melintas kulu kilir. Hanya ancaman akan melemparnya keluar teraslah yang menahan Hany dari memangku kucing itu.

Sebenarnya, aku belum memaafkan monyet liar ini. Aku masih sangat dendam dia mencium pipiku tapi aku bersumpah tak akan menyebut peristiwa itu lagi. Karena ada peristiwa yang mengikutinya.

Salah satu peristiwa yang.... ingin kubawa hingga ke liang kubur juga. Berapa rahasia yang harus kubawa mati? Sebentar lagi koleksiku bisa segunung.

"anggota apa?" dan terjebak menjawab pertanyaan game kuis who wants to be a milliore-nya Hany. dia akan terus bertanya hingga aku menjawab. Kuputuskan, langsung menjawabnya saja.

Dia memandangku dengan menuntut. "anggota suju. Super junior." Ucapnya dengan nada menghina. Alisku terangkat. Apa itu sejenis nama militan rahasia Amerika sewaktu ingin menangkap osama bin laden?

"itu nama boy band korea kan? Yang baru konser kemaren?" papa muncul dengan tampang segar. Dia baru saja pulang dari main tenis bersama Gilang.

"opaaa!!" Hany berlari menyusul papa. Dengan sigap papa merangkulnya dan kemudian memegang kedua tangan kecil itu sebelum memutarnya berkeliling. Oh. Itu hanya hal biasa yang dilakukan seorang kakek pada cucunya. Atau seorang pria paruh baya yang obsesi punya cucu. Kapan papa akan sembuh dari obsesi itu?

Boyband korea? Hah. Bagaimana mungkin aku tahu?

"jeng.. jeng." Satu gelas kopi dengan aroma luar biasa sedap muncul diantara mukaku dan buku yang sedang kubaca. Aku menengadah. Mendapati wajah segar Gilang yang baru saja habis mandi. "kopi?"

"aku bisa buat sendiri." Aku mendorong kopinya. Dia melotot. Aku mengangkat buku yang kubaca lebih tinggi. Setelah melihat aku tak menyambut kopinya, Gilang menaruh kopi itu ke meja kecil di sampingku.

"my dad!!" Hany melompat tiba-tiba ke ayunan. Tak perduli aku sudah menurunkan buku dan melotot padanya, Hany Cuma tertawa. Apalagi Gilang yang langsung menggelitikinya, Hany lupa dunia.

"ehem." Deheman pelan papa itu membuatku mengalihkan pandangan. Dia sedang berdiri bersandar di pagar teras, tepat di depan kami. Bibirku mengatakan 'what?' tanpa suara. Papa tertawa. Dia menunjuk Gilang dengan matanya dan aku bergantian. Maksudnya?

"opa! Aku mau main kapal terbang." Sekali lagi, Hany melompat turun dari ayunan dan menyambar papa. Sungguh. Apa dulu istri Gilang ngidam monyet? Kalau bukan, aku tak bisa menemukan alasan bagaimana hanya bisa semirip monyet. Dia monyet liar yang seharusnya jangan pernah dikeluarkan dari hutan.

Satu sikutan membuatku menengok. "diminum kopinya. Nanti dingin."

Sekali lagi aku mengangkat buku lebih tinggi dan mengabaikan Gilang. Dia turun dari ayunan kemudian berdiri di depanku. Hingga aku naik darah karena dia tak begeser. "ming.."

Dia menyorongkan kopi kemulutku. "hmppt!"

Sebelum kopi itu membasahi apapun, aku meneguknya. Kemudian yang terdengar adalah tawa gembira Gilang yang sukses menjejaliku dengan kopi. Dia baru saja memaksaku minum kopi?!! Apa tanganku patah hingga tak bisa memegang gelas sendiri?

"kamu gila?! Aku bisa minum sendiri!" semburku. Dia meminum sisa kopi yang tadinya di jejalkannya ke mulutku. Tetap sambil tertawa kecil. Aku melempar buku yang kubaca kepangkuan Gilang.

"tapi, kamu tetap gak bisa bersihin bekas makan atau minum sendiri." Lalu tangannya terulur membersihkan pinggiran bibirku yang sepertinya belepotan kopi. Lagi-lagi, melakukannya dengan senyum manis yang membuatku hampir pingsan di tempat.

Diana pernah bilang, senyuman Gilang bisa bikin kita lihat pelangi mendadak. Sekarang, aku melihat pelangi melintas bak komet bergantian diatas kepalaku. Tak perduli pelangi dan komet itu beda. Mereka hanya melintas diatas kepalaku.

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang