Chapter 3

4.3K 163 1
                                    


What?

"SUMPAH BOS NGOMONG GITU?!" jerit gadis 22 tahun dengan rambut pendek yang tertata rapi itu padaku. Aku yang baru saja kembali dari memfotocopy berkas saat dia tiba-tiba masuk dan menjerit.

Diana. Dia asistenku. Ah, mungkin sebagai saingan papa, Diana bisa menjadi orang paling ceria yang kuketahui. Meski jujur, terkadang aku berharap dia bisa kehabisan batre dan diam saja di mejanya tak bersuara. Namun, selain gajinya kecil karena seminggu tak masuk, aku tak pernah melihatnya kehabisan batre. Apalagi sekarang. Dia histeria.

Diana selalu tersenyum dan tertawa. Bernyanyi kecil adalah salah satu kebiasaannya sambil mengetik. Tak cukup mendengar senandung sumbang papa-aku mendapat asisten yang tak jauh beda dengannya. Yang jujur, cukup sangat menggangu. Apalagi saat dia sedang punya banyak pikiran. Semakin tinggi dan semakin tak jelas lagunya, dia sedang dipresi.

Tapi, gadis cantik yang energik ini juga nyawa dari departemen kami, semua orang menyukainya. Bertolak belakang dengan atasannya ini. Kalau Diana lewat mereka menyapanya dengan semangat. Kalau aku lewat, mereka berdiri lurus seperti robot dengan senyum terpaksa. Padahal, seperti kata gadis di kafetaria tadi, aku lebih suka, mereka pura-pura tak melihatku.

Aku tak pernah memaksa mereka untuk memberiku senyum saat lewat. Sama seperti aku yang mengabaikan mereka sambil lewat, mereka juga bisa mengabaikanku. Terkadang, tata krama hanya menghabiskan waktu. Aku toh tak akan memecat mereka hanya karena mereka tak tersenyum padaku. Banyak hal produktif lain yang bisa mereka lakukan selain repot untuk merapikan baju dan tersenyum manis saat aku lewat.

"kamu ngomong apa sih Na?"

Sekarang, dengan cepat dia bercerita tetang 2 gadis di cafetaria yang kupecat karena tertangkap bergosip. Aku diam mendengarkannya sambil memeriksa laporan divisi finance regional 3 dan beberapa laporan dari divisi legal yang terbang masuk bersama Diana barusan. Dari semua hal yang bisa kubanggakan dari Diana, yang sangat aku hargai adalah ketelitiannya.

Termasuk dalam dunia pergaulan. Tak ada yang luput dari asistenku ini. Dari begitu banyak pekerjaan, aku salut bagaimana dia sanggup menangkap semua hal sekaligus. Kutebak Diana mungkin sarapan multivitamin dosis tinggi. Kalau tidak, dia mungkin menderita sejenis penyakit terlalu riang akut. Tak mungkin ada orang punya semangat 100% selama 48 jam penuh.

"nah, aku bakal pecat kamu juga karena udah bergosip." Dia melotot. Menuntutku mengkonfirmasi ceritanya.

Aku tak repot bertanya dari mana dia tahu. Biarpun di kantor ini semua orang terlihat bekerja, mereka selalu saling tahu apa yang terjadi di setiap departemen lebih cepat dari aku tahu hasil rapat yang tak kuhadari. Sebegitu hebatnya perkataan dari mulut ke mulut menyebar atau, dari email ke email? Lihat sekarang, ekspresso yang kubawa dari cafetaria belum habis, Diana sudah tahu apa yang terjadi. Lengkap dengan bumbu gosipnya.

"OH MY GOD! Aku kira mereka bohong. Gak mungkin bos pecat orang. Aku bilang, biarpun tampangnya sinis dan gak pernah senyum, bos gak setega itu. Iya kan bos? Masa benaran bos pecat?" dia menunggu dengan tak sabar di depan kursiku. "BOOOOOOSSS!" renggeknya. Aku hanya mengangkat sebelah alis dan membiarkan Diana berspekulasi. Akhirnya dia capek dan diam sendiri.

Hal lain yang kepelajari setelah 6 bulan pertama bekerja adalah, jangan pernah menimpali Diana atau dia tak akan berhenti sampai dia mesti kebelet pipis. Maka, aku hanya diam menunggunya selesai dengan sendirinya. Sekarang, bosan dengan gosip pemecatan dia berganti topik. Dia sibuk mengupdate ku dengan berbagai berita picisan lain yang berterbangan diatas bilik-bilik karyawan kami meski tak kutanya. Dia rutin melakukannya setiap pagi dan, sebelum pulang.

"what?" aku menyelanya. "apa yang barusan kamu bilang?"

Dia berhenti. Membuat mata besarnya terlihat makin besar karena kaget aku menghentikannya tiba-tiba. Lalu aku seperti bisa mendengar roda besar dikepala Diana sedang ditarik mundur, dia berpikir keras. "si Diah bakal nikah minggu depan?" Aku menggeleng. "diskon di butik yang ujung jalan?" aku menggeleng lagi. "yang mana bos?"

"barusan. Yang kadep operasio..."

"ooooh. Iya iya. Kadep operasional yang baru udah ada." Cetusnya cepat. "aku dengar dari Bima-asisten kadep operasional yang lama, tapi kayaknya gak bakal diganti. Katanya, udah ada yang bakal ngisi posisi kosong itu. Cuma belum jelas juga sih siapa." Aku menggangguk. Mungkin papa tak sempat menceritakannya mengingat aku kabur lebih cepat tadi pagi. Atau karena papa menolak membicarakan pekerjaan di meja makan?

BRAAK!! Diana tiba-tiba menghantamkan tangannya ke mejaku. Dan juga dengan mata lebih melotot dari pada sebelumnya.

"bos tahu siapa kadep baru kita?" dia terlihat begitu menginginkan jawaban. Sementara aku hanya berkedip beberapa kali. Apa aku terlihat tahu? "masa bos gak tahu? Bos bahkan gak tahu kalau udah ada yang ngisi?"

Apa aku terlihat peduli?

Setelah membenarkan pajangan di meja yang baru saja bergeser karena dihantam oleh Diana, aku menanyakan bagaimana persiapan Diah yang akan menikah. Dalam sekejap asistenku pun melanjutkan cerita seperti tak pernah disela sama sekali. Dengan fasih menceritakan persiapan si Diah yang akan menikah. Begitu rinci dan mendetail.

Kadep baru?

Bahkan disaat direktur perusahan kami gantipun, aku tak peduli.

***


The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang