Chapter 47

1.8K 78 0
                                    

Sepanjang hari kami mencari Hany.

Mulai dari sekolahnya hingga semua tempat. Menghubungi semua temannya, semua teman Gilang, Karen, pokoknya semua orang yang mungkin dihubungi.

"gimana?"

Mereka menyerbuku begitu kembali ke rumah bersama Daniel dalam keadaan basah kuyup. Tapi langsung kecewa begitu aku menggeleng.

Aku tak berani mendekati Gilang yang sedang memeluk Karen yang menangis. Jadi aku hanya terduduk di kursi sambil mendiamkan papa.

"bos. Ganti baju dulu ya. Basah semua. Nanti sakit." Seseorang menaruh handuk di pangkuanku. Mengangkat kepala, aku melihat Diana.

Mengangguk. Aku melirik Daniel yang sibuk dengan hapenya. Mungkin mengumpulkan informasi. Beranjak dari kursi aku menemui Daniel.

"kamu gak mau ganti baju? Aku bisa pinjamin baju papa." Aku memberinya handuk.

Tersenyum, dia mematikan telp.

"kamu gak bisa ngelapin muka aku? Biar romantis." Terlalu kaget. Aku hanya melongo. Daniel tertawa kecil lalu mengambil handuk dari tanganku.

"aku mau balik ke kantor polisi bareng Gilang. Kita mau nunggu informasi disana." Setelah mengelap mukanya dia mengembalikan handuk. "jangan khawatir. Kita pasti bakal ketemu sebentar lagi."

Mengacak rambutku dan memberi senyum dia berbalik kearah Gilang. Kemudian ditambah Karen serta papa, mereka semua pergi ke kantor polisi. Tinggallah aku dan Diana.

"bos gak papa?"

Aku berbalik. Menatap Diana beberapa saat kemudian memeluknya.

"aku gak papa."

***

Hany ditemukan dan dia dibawa ke rumah sakit.

Aku dan Diana yang seharian menunggu di ruang tengah berlari ke mobil dan langsung ngebut ke rumah sakit. Saat telp berdering, kami mendengar kabar itu. Hany ada di pasar tradisonal tak jauh dari komplek perumahan kami. Dia seharian lalu lalang saat hujan deras di pasar. Ditemukan pingsan karena kedinginan.

"bos! Kita bisa dikirim ke rumah sakit duluan kalau gini. JANGAN NGEBUT!!"

Diana berpegangan erat ke sabuk pengaman dan tak membuka matanya sama sekali.

Pingsan karena kedinginan?! Anak itu bodoh!!

Dalam hal lari aku terseret-seret di belakang Diana. Berdua kami lari menyusuri lorong UGD dan mencari orang-orang yang mungkin kami kenal. Hingga beberapa saat kami tak menemukan siapapun disana.

"bos. Hany udah dipindah keruangan biasa."

Oh. Terima kasih tuhan aku punya Diana yang berpikir rasional disaat tepat. Aku bahkan tak berpikir untuk menggunakan hape sama sekali.

Putar haluan kami berlari menyusuri lorong lain hingga akhirnya melihat papa yang menungguku di depan sebuah kamar.

"Hany gak papa?" aku menyerobot masuk tapi papa menahanku. Tak mengerti, aku kembali berusaha maju tapi kembali ditahan oleh papa. Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya. Melihat ke dalam, aku bisa melihat Gilang dan Karen yang menangis tanpa henti. Tapi aku tetap belum bisa melihat Hany.

Apa dia sudah baik-baik saja?

"pak, kenapa kita gak boleh masuk?" tepat sekali Diana. Kenapa kami tak boleh masuk?

Mengisyaratkan agar tak ribut, papa mendorong kami keluar lorong.

"Karen gak mau diganggu."

Begitu singkat. Membuat tanganku yang masih berusaha melepas tangan papa terjatuh.

Apa?

Aku memandang papa beberapa saat. Papa hanya mengusap pipiku dan bilang kalau Hany tak apa. Sebentar lagi mungkin sudah boleh pulang. Kemudian papa menyeret kami keluar dari rumah sakit.

Diana tak berani bicara apa-apa sepanjang perjalanan pulang. Mungkin dia bisa membaca dengan baik kalau mood ku sangat labil. Anehnya, aku bahkan tak tahu kenapa aku harus labil.

"Na, aku boleh tidur di rumah kamu?"

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang