Chapter 42

1.8K 90 1
                                    


Aku mengecek semua email yang masuk dan memilah mana yang penting dan mana yang tidak. Begitu tidak, langsung ku sarangkan ke folder sampah. Dalam 5 menit, semua email tak penting sudah berada rapi disana dan tinggal di hapus permanen. Klik. Selesai.

Kenapa masalah tak bisa diperlakukan semudah ini?

Aku dulu bisa melakukannya semuadah ini. Aku bisa dengan mudah mengabaikan atau menyelesaikan masalah dan tak membiarkannya memenuhi kepalaku seharian. Atau semalaman? Aku bangga dengan kemampuan itu. Jadi aku bisa melupakan semua hal yang tak penting dalam sekejap. Tak perduli apapun, aku hanya akan melupakannya begitu saja.

Tok.. tok..

Tanganku yang sedang memainkan mouse berhenti. Ya, itu yang kulakukan dari tadi. Scrolling ke atas dan ke bawah. Hingga hampir memutuskan untuk menghapus semua email yang ada di inbox ku sekalian.

"masuk."

Tak lama setelah jawabanku, pintu terbuka. Saat melihat ke jam kecil diatas meja, aku baru melihat sekarang jam setengah 10 malam. Sepertinya aku menghabiskan 2 jam terakhirku dengan memainkan mouse. Sungguh perbuatan yang produktif. Aku akan melepas mouse itu besok. Membuangnya ke alaska.

"mau kopi bos?"

Mengangkat kepala aku mendapati Meiling. Meiling? Dia di kantor?

"kamu?" kenapa bukan Diana?

Ah. Diana tak pernah mau lembur jumat malam. Bagi Diana, jumat malam adalah jamnya kehidupan. Masa bodoh dengan kantor. Dia lebih rela lembur disemua malam sepanjang minggu agar tak lembur di malam sabtu. Entah kenapa dia tetap tak punya pacar. Dia sudah berusaha cukup keras menurutku.

Melepas kacamata aku memberi senyum pada Meiling yang menaruh segelas kopi di mejaku.

"Cuma mau nganterin kopi bos. Lanjutin aja." Setelah itu dia berbalik tapi aku menahannya. Entah kenapa aku menahannya. Dengan canggung, Meiling duduk di kursi di depanku.

Bloody awkward.

"tumben kamu lembur? Biasanya geng kamu gak ada yang mau lembur jumat malam?" aku meminum kopi dalam diam sambil memperhatikan Meiling yang kembali masuk setelah menghilang 3 hari. Dia membuat teman-temannya cemas setengah mati.

"bos, bos pernah punya masalah?" tanyanya tiba-tiba.

Aku nyaris tersedak kopi.

"what?"

Meiling yang berbentuk bak boneka porselen cina itu terhenyak di kursi sambil menghela nafas panjang. Diana, Meiling, Nelly dan Sandra adalah geng paling ceria di lantai ini. Mereka semua punya kepribadian riang yang selalu heboh dimanapun bertemu. Hobby mereka ke toilet bareng-bareng dan menghilang ke kafetaria dalam sekejap mata. Tapi yang duduk dihadapanku sekarang adalah Meiling yang ku lihat di tangga.

Meiling yang menangis bersama denganku di tangga emergensi.

"semua orang punya masalah." Apa itu jawaban yang benar? Entahlah. Aku tak pernah menjadi tempat curhat siapapun dan tak punya pengalaman sama sekali untuk menghibur. Papa pun putus asa mengajakku curhat. Apa aku harus jujur pada Meiling?

Dia mungkin sebaiknya tak mencoba berbagi emosi denganku.

Meiling kembali menghela nafas. Dia menarik seluruh rambut panjangnya ke satu sisi bahu kemudian maju dan menatapku tajam.

"gimana nyelesain masalah yang paling cepat bos?"

Apa?

"gak usah terlalu dipikirin." Apa kubilang? "masalah makin berat kalau di pikirin berlebihan." Bagus. Aku baru saja mengambil kesimpulan dari yang kulakukan sepanjang siang hingga malam.

Apa yang kulakukan sepanjang siang hingga malam ini?

Kemunculan Karen, mantan istri Gilang di sekolah Hany mungkin hanya korek api yang dilemparkan ke bensin. Aku berdiri disana tak tahu harus bagaimana melihat Gilang yang melotot pada Karen. Atau, Hany yang tiba-tiba saja menangis. Papa sama bingungnya denganku.

Yang kutahu, aku bilang aku pulang naik taxi dan langsung kembali ke kantor. Kemudian aku mengerjakan semua hal hingga yang perlu kukerjakan 3 minggu dari sekarang. Apa saja asal aku tak harus pulang. Membuatku berpikir, apa yang sebenarnya membuatku tak ingin pulang.

Tak ingin melihat Karen?

Tak ingin melihat Gilang?

Aku lebih tak ingin melihat diriku sendiri melihat 2 orang itu. Kenapa aku harus datang ke acara itu? Kenapa?!

"bos." Meiling melambaikan tangannya di depanku. Menghela nafas aku memandangnya.

"aku juga lagi mikirin cara nyelesain masalah yang paling cepat Mei." Jujur. Aku juga sangat ingin menuntaskan semua ini dalam satu tarikan nafas. Atau sekali mengayunkan tongkat. Bisakah?

Meiling memainkan tangannya diatas meja. Memandangi benda-benda di depannya. Menarik nafas, lalu menghelanya.

"aku punya temen." Katanya pelan. "dia punya pacar yang dia pacarin udah lama. Cowok itu pernah ngajak dia nikah, tapi teman aku menolak. Kata orang mereka pasangan yang serasi. Setahun, dua tahun... keluarga temanku itu mulai mendesak agar dia cepat menikah. Masalahnya, si cowok merasa dia sedang berada di puncak karir dan gak bisa tiba-tiba begitu aja nikah. Keluarga teman aku mendesak. Sampai akhirnya, temen aku itu bakal di jodohin sama kenalan keluarga kalau belum ada kepastian bakal menikah sampai akhir tahun ini."

Dia memandangku.

What?

Dia baru saja menceritakan masalahnya... padaku?

"menurut bos, apa yang mesti dilakuin sama teman aku itu?" Meiling terlihat akan menangis sebentar lagi. "dia udah gak bisa maksa cowok itu lebih dari sekarang. Tapi buat nikah sama cowok lain, itu lebih gak bisa. Kasih tahu aku bos, temen aku itu mesti gimana?"

Tanganku yang memainkan kacamata berhenti. Terdiam melihat Meiling yang sudah melempar pandangan keluar jendela. Dimana kami bisa melihat hamparan lampu kota yang bersaing paling terang diantara yang lain. Aku mengikuti pandangannya.

"teman aku juga lagi ada masalah." Aku menarik nafas. "dia mungkin suka sama seorang cowok. Mungkin terlalu suka. Disisi lain dia yakin, cowok itu Cuma nganggap dia sebagai anak presiden direktur yang mesti dihormati. Sekarang, teman aku bingung. Gimana caranya dia mesti lupain cowok itu."

Kami saling pandang. Bisa kurasakan, mukaku mengikuti ekspresi muka Meiling. Sebentar lagi, aku pasti akan menangis.

"bisa kamu kasih tahu, teman aku itu mesti gimana?" tanyaku lebih pelan lagi. kami saling pandang beberapa saat sebelum akhirnya tertawa kecil yang menyedihkan.

"teman kita malang banget ya bos." Aku hanya mengangguk.

Sangat malang.

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang