Chapter 12

2.4K 118 0
                                    


Diana tertawa tanpa jeda. "he actually said that?"

Tak biasanya aku menceritakan sesuatu. Tapi begitu Diana menaruh ekspressoku dan dia mulai bercerita tentang kehebatan Gilang di depan hidungku lagi, aku jadi kelepasan. Seperti, kenapa dia memanggilku miss what?

"aku iri. Bos barengan sama pak Gilang? Bos benaran beruntung." Dan aku seperti melihat bintang dimata Diana. Aku baru saja merasa terhina dan dia memberikan respon seperti aku baru saja disanjung. "bos benaran gak mau cerita kenapa dia bisa panggil miss what?"

"kamu gak punya kerjaan lain lagi?" selaku.

"bukannya itu berarti dia perhatian sama bos? Pak Gilang tahu kebiasan bos yang what-what itu kurang dari seminggu. Berarti, bos sering ngomong ama dia ya? Soalnya aku sadar bos suka ngomong what aja pas udah 3 bulanan. Kan bos jarang ngomong." Mata Diana membesar kearahku dan bersamaan itu badannya semakin condong. Merobohkan semua pajangan mejaku. "ya tuhan! Pak Gilang naksir ama bos?"

"ya tuhan. Kamu boleh keluar sekarang Na." aku menunjuk pintu. Diana hanya tertawa sambil keluar tanpa protes. Saat aku berbalik komputer dan menekan tombol enter tanpa melihat warning apa yang muncul. Komputerku mati.

Ya tuhaaaan. Tidak. Aku sudah membuat koma komputer ku lagi?

***

"apa aku bilang, kamu gak bisa jauh dari aku barang seminggu aja Jade." Peter melenggang masuk ke ruanganku. Tak perduli aku yang mungkin terlihat seperti ingin melemparnya dengan jam digital di mejaku, dia tetap memberiku cengiran bodonya. Dia kepala departemen. Tapi kenapa dia selalu muncul setiap aku mengirimkan email meminta bantuan pada IT?

"Bisa kamu cek komputer aku gak pake prolog?".

"Jade.. Jade.. bisa kamu ramah sedikit sama pahlawan kayak aku?" aku mengangkat alisku dengan skeptik saat mendengarnya. Siapa pahlawan? Lalu aku meninggalkan Peter. Sebentar lagi kepalaku bakal meledak kalau harus dengar coletahan Peter selama dia membenari komputerku.

Masih pagi, jadi kantor terlihat begitu ramai dengan berbagai bunyi. Bunyi printer, bunyi telpon, bunyi mesin fax, atau fotocopy. Semuanya campur aduk jadi satu dengan semua orang yang terlihat sibuk. Sampai aku melihat sekumpulan anak departemenku sedang menyapa Gilang di koridor.

Aku hampir berbalik. Tapi, kenapa aku harus berbalik?

Jadi, aku dengan mantap melewati sekumpulan itu. Saat salah seorang dari mereka melihatku, mereka langsung kabur. Kalau Gilang punya aura menarik perhatian orang, aku punya aura sebaliknya. Saat diujung lorong, aku merasakan hapeku bergetar dan papa yang menelpon mengajak makan siang bareng.

"oke."

Mungkin satu-satunya kegiatan yang masih kulakukan meski tak sesuai dengan prinsipku adalah makan siang diluar bersama papa. Tak seperti semua orang, aku sangat menghargai jam istirahatku dengan makan siang sendiri dikantor. Begitu tenang dan damai. Paham yang berbeda dengan sebagaian besar pegawaiku. Diana misalnya.

Yang bertemu denganku tepat sebelum aku masuk ruangan dengan dandanan yang baru saja di poles ulang, siap keluar makan. Dia menyodorkan undangan beramplop merah dan terlihat, sangat meriah. Didepannya terpajang nama sekolahku. Well, ini undangan reuni kelas.

Aku menamatkan SMA saat aku berumur 15 tahun. Seperti yang kubilang, aku tak punya teman. Jadi poin penting reuni untuk bertemu teman lama hanya menjadi alasan penting aku tak datang. Ini reuni ke 3. Aku tak pernah datang saat reunian tahun-tahun kemarin. Aku rasa aku juga tak akan merubahnya untuk tahun ini.

"princess. Komputernya udah sehat. Mau bayar aku sama makan siang?" Peter berdiri congkak di pintu ruanganku. Siapa yang dipanggilny princess?

"sorry. Kamu telat."

"jadi, kamu mau datang reunian itu bareng aku?" dia menunjuk amplop yang kupegang. Sesaat aku hampir tertawa melihat ekspresi muka Peter yang frustasi saat kujawab, apa kita satu sekolah?

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang