Chapter 7

2.9K 137 1
                                    

Demi menjaga ketenangan batinku sendiri, aku menyibukkan sepanjang pagi untuk menyiapkan makan siang. Bik Lin, pengurus rumahku yang sedang membersihkan dapur mungkin buru-buru pulang karena melihat aku mencincang daging dengan pisau penuh nafsu. Kelihatan cantik saat marah?

Apa? Yang benar saja. Dia bahkan melebihi Peter!

Bersusah payah aku berusaha meredam suara tawa dan meong-an kucing dari teras belakang. Ini buruk. Aku bahkan tak yakin aku akan melewati hari pertama dengan mulus. Apa aku harus terima kenyataan kalau 2 orang dan seekor kucing itu sudah menghancurkan kehidupanku?

Maksudku, aku terkenal sanggup berkepala dingin dalam situasi apapun. Apapun disini, apapun!

Satu kantor bisa menggosipkanku dengan topik paling kotorpun dan aku tak terpengaruh. Semua orang bisa menghinaku dan aku bisa dengan menganggap kalau Jadica yang sedang mereka bicarakan itu, bukan aku. Tapi, lihat sekarang. Aku kehilangan semua kemampuan itu dalam sekejap.

Tidak. Aku lebih baik dari ini dan aku, seorang Jadica.

"kamu pintar masak?" aku terlonjak dan mengangkat pisau yang sedang memotong sayuran kearah suara yang menyapaku. Gilang tersenyum disamping kulkas. Dia baru saja menyimpan kembali botol jus yang baru diminumnya. Sudah berapa lama dia disana? "woah. Kaget banget. Apa yang kamu pikirin sambil motong sayur?"

Abaikan. Jade, tetap fokus pada sayuran itu. Kita mau buat apa tadi? Tumis daging cincang dan rebusan sayur yang sehat kan? Lakukan itu saja.

Lalu, aku mengiris telunjukku sendiri.

Aku belum sempat melihat luka ditelunjukku saat sepasang tangan sudah mengangkat tangan kiriku. Dia masih di dapur?

Tanpa komentar dia memeriksa telunjukku yang sudah bersimba darah. Entah kenapa aku melupakan rasa sakit dan hanya memperhatikan orang yang memperhatikan telunjukku. Dia baru saja akan mengatakan sesuatu tapi aku sudah menarik tanganku. Tapi dia menariknya lagi. "P3K nya dimana?"

Aku menarik tanganku kembali. "aku bisa sendiri."

"aku Cuma..." dia belum selesai bicara saat aku memotongnya.

"aku serius waktu bilang, jangan pernah ikut campur sama semua urusan aku. Apa kamu sebegitu bodoh sampai perlu aku ulang terus?" aku sungguh sangat serius. Aku benci ada orang-orang disekelilingku!!

Tapi dia tetap berdiri dan hanya melihat telunjukku.

Sampai aku selesai membalutkan ban aid ke telunjukku Gilang tak begeser dari dapur. Dia seperti memastikan kalau aku benar akan membalut luka kecil itu. Setelah itu dia duduk dimeja makan kecil kami memperhatikan papa dan Hany yang sedang berkejar-kejaran ria ditaman samping.

"jadi, kalau kamu tiba-tiba motong tangan di depan muka aku sekalipun, aku tetap gak boleh ikut campur?" menghela nafas, aku mendongak memandangnya. Dia sedang memandangku. Terlihat tak terlalu suka aku bisa mengurus telunjukku sendiri tanpa bantuannya. Aku cantik saat marah? Aku juga cantik saat membunuh. Dia mau lihat?

Aku hanya diam dan mengabaikannya lalu kembali lanjut memasak. Dengan begini, aku baru saja berhasil menyelamatkan nyawa satu orang dari kibasan pisau daging.

"kamu tahu, aku belum genap sehari disini tapi kayaknya kamu udah benci setengah mati. Apa aku udah salah tanpa sadar?" dia kembali bersuara? Aku menghantamkan pisau ke atas wortel. Lalu berbalik menghadapnya.

Dia yang lurus sedang menatapku sambil mengunyah stroberi yang sudah kucuci diatas meja. Aku tak mencuci itu untuknya tapi kenapa dia memakannya begitu saja? Semua yang dia lakukan salah dan dia masih bertanya apa yang salah? Dia punya nyali.

"dengar. Aku gak peduli kamu disukai seribu orang diluar sana atau punya milyaran teman. Satu mesti kamu ingat. Aku gak mau punya hubungan apapun selain kerjaan. Paham? Gak usah sok-sok ramah dan bersahabat karena aku gak peduli. Tinggalin aku sendiri. Kita urus, urusan masing-masing." Amitaba. Aku rasa, aku sudah mengungkapkan maksudku dengan sangat jelas. Iya kan? Karena kalau tidak, aku mungkin akan menggunakan pisau daging.

Yang menjadi lawan bicaraku mengangguk. Lalu dia melangkah pelan kearah konter. Bersandar di depannya, tepat di depanku. "apa kamu pikir kamu gak bakal butuh orang lain Jade?"

"aku gak butuh orang lain." Selain papa. Aku sudah punya apa yang kubutuhkan. Gilang memandangiku. Bukan. Dia mengamatiku.

"karena itu kamu gak mau aku bantu perban luka?" aku membalas tatapannya. "terus, kamu bisa betulin genteng sendiri?"

"aku bisa bayar orang buat betulin genteng. Pakai uang aku sendiri." Kenapa aku bahkan perlu menjawab pertanyaan bodoh seperti itu? Tapi dia mengangguk mendengarnya. Lalu mendadak bertepuk tangan dengan wajah gembira. Sekali lagi, aku tertangkap pada matanya yang cemerlang.

"oke. Mulai sekarang, bakal aku tujukin banyak hal yang gak bisa kamu lakukan sendiri." Dia tiba-tiba maju melintasi konter. Aku mengangkat spatula yang sedang kupegang menjadikannya perisai. "contoh pertama, kamu gak tahu kalau pipi kiri kamu kena darah daging kalau aku gak kasih tahu."

Aku berkedip. Dia mengedipkan sebelah matanya sambil mengangkat sarbet putih dengan noda darah diatasnya setelah mengusap pipiku.

Apa yang dilakukannya?!

"woaah. Daging! Aku suka daging!!" pekikan itu menyela masuk dapur dan menyerang gendang telingaku. "kakak masak makanan kesukaan aku?"

Berbalik aku mendapati Hany yang berlari menubrukku dari pintu dapur bersama papa yang menyusulnya dengan nafas ngos-ngosan. Hingga aku butuh beberapa detik untuk sadar kalau anak itu, sedang memelukku dengan erat. Saat melepasku, matanya berbinar-binar menyilaukan dan bibirnya berbisik...

"makasih kak."

Gilang tertawa di depanku. "contoh dua, kamu gak bisa meluk diri kamu sendiri. Apa mau aku tunjukin atau Hany udah cukup?"

Hik! Hik! Hik! Aku cekukan.

"dagiiiing!! Yuhuuu!" papa bergabung dan meongan kucingbergema.

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang