Chapter 38

1.7K 90 0
                                    

Aku menghempas pintu mobil dengan kekuatan yang berlebihan. Kemudian melangkah pelan memasuki lobi gedung perkantoran kami. Banyak orang yang lalu lalang. Tapi rasanya tak sedikit yang memperhatikanku. Salah satu yang tak bisa kudapatkan di kantor ini adalah terhindar dari perhatian. Menjadi anak komisaris sebuah grup besar, tak akan membuatku sekedar menjadi kepala direksi keuangan biasa. Seperti sekarang, resepsionis itu ternganga memandangiku.

Dia pasti sadar aku datang menjelang istirahat makan siang.

Membuatku rasanya semakin jauh dari invisible saat berpas-pasan dengan semua karyawan yang keluar untuk makan siang. Contoh, Diana dan gengnya.

"bos!! Ya tuhan!!" jeritnya luar biasa kencang saat pintu lift terbuka. Dia keluar dan langsung menyerbuku yang sebenarnya akan masuk. "bos kemana?? Kenapa terlambat? Kenapa telp aku gak diangkat? Kenapa gak ngasih kabar? Bos ngelewatin rapat mingguan kita!"

Dia memberondongku dengan banyak pertanyaan. Sementara para cewek dibelakangnya-yang otomatis juga anak buahku-hanya mengangguk sopan. Meiling melambaikan tangannya. Aku menyunggingkan senyum. Sementra sisanya, sedang pasang telinga untuk apapun yang keluar dari mulutku. Belum lagi pasangan gosip paling tersohor lantai kami yang tepat di belakang Diana. Aku bisa melihat antena telinganya yang di tuning kearahku.

"met makan siang ya." Setelah itu aku lari ke dalam lift.

Dan bersusah payah menahan mulutku dari menjerit.

Aku muncul di kantor dengan tampang seperti itu?!! Yang benar saja.

Dari dinding kaca lift, jelas terlihat aku baru habis menjambak rambutku berulang kali. Karena-rambutku yang tadi pagi hanya kusisir rapi dan di jepit dengan 3 jepit lidi kecil menahan poni-sudah kehilangan semua jejak sisir dan jepit. Hanya ada satu jepit yang terlihat selamat. Sementara rambutku, persis terlihat seperti habis bertarung melawan beruang. Bagaimana rambut pendek bisa terlihat begitu kusut? Aku pasti punya bakat lebih dalam mengusutkan rambut.

Aku rasa, resepsionis gedung tadi melotot bukan karena aku anak komisaris, bukan karena aku datang luar biasa terlambat, tapi karena tampangku yang persis habis diserang 1000 ekor monyet. Aku mau mati saja.

Ding.

Pintu lift terbuka. 2 orang wanita masuk. Mereka begitu fokus bercerita sampai tak memperhatikan sama sekali aku yang baru saja selesai-mungkin-berusaha merapikan rambut dengan jari disudut lift.

"tinggal kasih laporan ini ke miss what itu, aku bebas!" jerit si wanita berambut di ikat rapi. Dia terlihat memeluk tumpukan berkas. Temannya mengangguk mendengar. "eh, kamu tahu gak? Pesta pak kadep Marketing malam sabtu kemaren itu, siapa yang gak di undang? Tebak."

Tanpa ditanya. Toh, aku yakin dia tetap akan bilang siapa yang tak di undang.

"ah, masa ada yang gak di undang? Bukannya undangan di broadcast lewat email ya?" temannya yang memakai blazer pink melanjutkan, betapa menyesalnya dia karena tak bisa datang.

Si rambut ikat rapi menghela nafas dengan gemas. "kamu sih gak datang. Semua petinggi ada kecuali dia. Si miss what itu. Dia gak di undang." Temannya tak percaya kalau miss what tak diundang. Si rambut ikat melotot mencela. "aku denger dari anak legal. Katanya dia satu-satunya yang gak diundang."

Lalu dua wanita itu saling pandang dan mengangguk, sepertinya mereka mencapai kesepakatan dalam diam untuk kasus miss what.

Ding.

Aku tiba di lantaiku.

"tunggu." Dengan kaget 2 gadis itu berbalik. "laporannya biar aku bawa sendiri."

***



The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang