Chapter 9

2.6K 138 0
                                    


Jam istirahat tiba. Aku tahu bukan karena aku melihat jam atau mendengar bel tapi aku bisa tahu dari riuhnya suasana diluar pintuku. Dari riuh selama 5 menit, kemudian langsung sunyi sepi. Diana and the geng akan menghilang begitu cepat di jam istirahat. Mereka selalu makan diluar dan menangis kalau diluar sedang hujan deras. Bagi mereka, jam istirahat adalah waktunya memoles dandanan dan berkelana mencari eksekutif muda yang berserakan dijam yang sama. Jauh dari arti istirahat yang ada dikamusku.

"kamu gak istirahat?" tak siap dengan pintuku yang tiba-tiba terbuka, berputar menghadap pintu membuat lututku menabrak tiang meja. Mengabaikan sakitnya, aku melihat Gilang sudah didepan mejaku. Sesaat aku lupa dia siapa. Maksudku, aku sukses melupakan dia selama beberapa jam saat melihat neraca keuangan.

"kamu? Salah ruangan?" kenapa dia ada disini? Kafetaria jelas 2 lantai dibawah lantai ini dan jelas tak ada tulisan 'direksi' yang tergantung dipintunya.

"gak. Aku emang mau ketemu kamu." Jawabannya pendek sambil mempersilahkan diri sendiri duduk di sofa. "mau makan siang bareng?"

What?

Sudah berapa lama aku kerja disini? 2 tahun. Sudah berapa kali orang mengajakku makan siang bareng? Belum pernah. Ya, mungkin Peter. Tapi anak itu tak masuk hitungan. Lalu kenapa di hari pertamanya kerja, cowok ini harus mengubah kenyataan itu?

"apa aku perlu ulangi lagi kalau kamu gak usah sok ramah sama aku dan gak usah ngomong selain soal pekerjaan?" aku mulai capek mengulang prinsip itu. Tidak disini, tidak dirumah. Mungkin aku perlu membuat selebaran? Aku akan membuatnya nanti malam. Akan kubuat dalam bahasa kucing sekalian, bagaimanapun caranya.

Aaargh. Hidupku yang damai.

"ayo. Duduk disini. Lemasin pinggang kamu." dia menunjuk sofa disampingnya. Apa? Sabar Jadica. Sabar. Tarik nafas perlahan. Hitung mundur dengan teratur dan lupakan semua niat pengen ngelempar cowok itu dengan monitor. Saat dia bilang dia sudah memesan makanan, sampai disitu kesabaranku hilang ditiup angin.

Dia bilang apa? Aku menghantamkan pena yang kupengang keatas meja lalu melepas kacamataku. Sebelumnya menarik nafas panjang. Aku tak bisa membunuhnya disini. Kalau aku melemparnya keluar jendela, akan terlalu banyak saksi yang melihatnya terjun bebas dari lantaiku.

Lihat. Aku sudah merencanakan berpuluh-puluh pembunuhan sejak pertama kali melihatnya. Ini buruk. Aku mungkin akan mati muda bukan karena hidup membosankan yang kumiliki seperti kata papa tapi karena hidup terlalu seru yang kujalani 2 hari ini.

"kamu punya rencana pengen bikin aku mati bunuh diri atau kamu yang mati terbunuh?" karena aku yakin, dia tak mungkin tersenyum ramah tanpa alasan. Dia tak tahu? Tak ada yang tersenyum padaku. Dia seharusnya tahu begitu menginjakkan kaki di kantor ini.

"aku Cuma mau makan bareng. Gak ada niat bunuh siapapun.".

"gak, terima kasih. Aku udah pesan pizza. Kamu bisa makan diruangan kamu sendiri dan jangan pernah ke ruangan aku lagi dengan alasan konyol kayak gini." Aku benci dia. Aku benci.

Dia berdiri dan berjalan kearahku. Kali ini, aku menolak kalah. Diatas hak tinggiku yang menjulang, aku menatapnya dengan tajam.

"oke. Kalau gitu kita makan pizza." Dia mengangguk-ngangguk puas. "sebenarnya aku belum pesan apa-apa Cuma takut kamu udah ada acara." Lalu dia bilang dia sangat suka pizza. Aku terbengong. Mengabaikan sama sekali birunya langit yang ada dibelakang Gilang, aku fokus melihatnya.

"kamu bilang apa?"

Tangannya terulur lalu dengan kekuatan yang dimilikinya dia menarikku dan mendudukkanku di sofa. "masih lama gak pizza nya? Aku laper."

Aku menyambar tangannya yang baru akan membuka pintu untuk menerima pizza. Dia berbalik dengan ekspresi bertanya.

"kalau aku udah salah aku minta maaf tapi, bisa kamu tinggalin aku?" jangan pernah muncul seperti ini dikantorku. Jangan pernah berpikir untuk berteman denganku. Jangan. Aku berhasil menjalani hidupku dengan begitu baik dan aku mohon, jangan ganggu aku.

"aku mau tunjukin contoh ketiga kegiatan yang gak bisa kamu lakuin sendiri." Dia melepas tanganku dengan perlahan lalu menaruh pizza berbau harum itu tepat diantara kami. "perasaan bahagia makan bareng rekan kerja."

Dia tersenyum.

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang