Chapter 29

1.9K 111 0
                                    

Dia. Baru. Saja. MENCIUM pipiku!!!

Gilang mengambil tanganku yang mencengkram lengan bajunya. Menepuk-nepuknya beberapa kali sambil tertawa baru mengembalikan tanganku dengan rapi keatas pangkuan. Kenapa dia tertawa?!

"Jadica.. Jadica..." setelah itu menyalakan mobil.

Apa? Berani-beraninya setan kecil itu mencium pipiku. Dia menciumku dengan bibir yang sama dengan yang mencium papa, Gilang, dan juga kucing salah nama. Dia menciumku!! Oh. Aku tak bisa bernafas. Sama sekali tak bisa. Aku butuh oksigen.

"Jadica."

"what?!" mungkin agak terlalu kencang karena Gilang terlihat kaget. Lalu dia bilang kami sudah sampai. Secepat itu?!

"apa kamu masih histeria di cium Hany?" histeria? Apa aku terlihat histeria? Aku histeris!! Rasanya aku akan serangan jantung sebentar lagi. Seumur hidup aku tak pernah dicium anak kecil dan tak akan pernah mau. Aku benci anak kecil. Dan monyet liar itu menciumku?!! Berani-beraninya dia..

Gilang lagi-lagi tertawa. Aku menatapnya tajam. Apa ini lucu? maafkan aku, tapi aku sama sekali tak bisa memahami bagian mana yang lucu. aku baru saja mengalami pelecehan seksual. Benar. Apalagi namanya kalau bukan pelecehan seksual? Aku akan menuntutnya.

"coba kamu bayangin kemana aja bibir Hany udah nyium!" aku gila. Tadi malam dia tidur denganku. Memelukku sepanjang malam. Anak itu merabaku!! Dan sekarang.... menciumku? "dia cium kamu! Papa! Bahkan kucing..

"bunny." Sela Gilang.

"bahkan kucing sialan itu! dengan bibir yang sama juga dia cium aku?!!" aku akan meledak sebentar lagi. Anak itu beruntung lututku cidera. Kalau tidak, aku pasti sudah mengejar dan mengulitinya. Berani-beraninya dia?!

Gilang mengguncang bahuku sampai aku kembali fokus melihatnya. "kamu gak suka di cium Hany karena bibirnya pernah cium aku?"

Aku melipat tanganku didada. "kamu. Papa. Semua orang. Bahkan kucing! Kenapa dia harus cium aku juga?!" tak bisa dia lihat ini dari sudut pandangku? "aku gak suka di cium!" suka? Aku bahkan benci.

"masa?" aku melotot. Apa maksud komentarnya itu? "kamu gak suka di cium. Kamu gak suka di peluk. Benar gak suka atau karena yang meluk aja bukan orang yang kamu suka?"

Dia baru saja berusaha mengajakku bercanda dengan mood seperti ini? Dia punya nyali. Kemudian dia memberiku isyarat agar lebih condong ke arahnya. Aku diam. Hingga akhirnya dia yang menarikku. Lalu memegang lenganku agar aku tak bergeser. Mau apa dia?

Cup.

Dia mencium pipi kiriku.

"nah, sekarang udah aku ambil lagi ciuman Hany. kamu bisa hidup dengan tenang gak mati penasaran." Tangannya menepuk-nepuk rambutku sambil bibirnya menyunggingkan senyum manis.

***

Mati saja Jadica. mati saja. Gali kuburanmu sekarang. Cepat! Atau mau loncat dari gedung saja? Oh. Silahkan. Kamu ada dilantai 20 dan positif, kamu akan langsung mati. Mau gantung diri? Bagaimana kalau mencampurkan racun ke dalam kopi?

Aha! Cemerlang. Mati dengan kopi. Jenius!

"bos. Ngapain nempel ke kaca begitu?"

Gubrak! Aku mencium lantai.

"astaga astaga astaga!!!" Diana melompat dari pintu dan langsung membantuku berdiri. Aku melotot padanya. Menahan setengah mulutku yang ingin meneriakinya. "bos maaf..."

Dia menepuk-nepuk lututku dengan pelan sambil memapahku ke sofa. Dari semua hal, kenapa Diana harus membuatku kaget dan nyaris menghantamkan lutut cideraku kembali ke lantai?

"mungkin kalau tadi kaca jendela itu terbuka, aku udah terjun bebas ke aspal dibawah sana." Diana cengengesan sambil duduk di sofa disampingku. Lalu menaruh berkas yang dibawanya di meja kecil dihadapan kami. Mungkin juga, kalau aku sudah menempel di aspal bawah sana, Diana akan sadar betapa pentingnya mengetuk pintu sebelum masuk.

"bos sih. Tumben-tumbenannya ngelamun. Lagi jatuh cinta ya?" aku menegak ekspressoku. "astaga! Benaran lagi jatuh cintah?!!"

Aku menyemburkan ekspresso yang telat ku telan. "Na! Kamu apa-apaan sih?!" aku melotot. Dia kembali meminta maaf sambil mengambil tisyu dari atas meja kerjaku.

"sorry bos." Dia tertawa tapi bisa kulihat matanya yang menyelidik. "benaran gak jatuh cinta?"

"Di..

"siang." Seseorang menyela. Orang itu berdiri gagah didepan pintu yang terbuka. "lagi sibuk?"

"pak Gilang." Diana langsung berdiri dan melayang ke pintu. "gak kok pak. Udah jam istirahat juga kan? Mau ketemu bu Jadica?"

Hah. Baru kali ini aku mendengar Diana memanggilku bu Jadica. sejak aku masuk, aku sudah menyuruhnya memanggilku bu tapi dia mengubahnya jadi bos. Kemudian semua orang memanggilku bos.

Gilang mengangguk sambil tersenyum dan menanyakan kabar Diana sekedar basa basi. Setelah Diana meninggalkan kami sambil menutup pintu-tak lupa dia berkedip-kedip seperti sakit mata-Gilang mengangkat bungkusan yang dibawanya.

"makan siang." Ucapnya ceria.

Aku seharusnya benar bunuh diri saja saat masih ada kesempatan. Sekarang, terlambat. Terlambat Jadica.

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang