Aku melempar koperku ke tempat tidur. Saat mengecek hape, nama papa sudah bertengger di kotak panggilan tak terjawab. Aku serius. Aku akan mendiamkan pak tua itu kali ini. Dia baru saja hampir membuatku berkemah.
Sungguh. Emosiku begitu labil kalau mendengar kata berkemah. Siapa orang gila yang memberikan ide reuni sambil berkemah? mungkin salah satu anak kelas yang paling aktif waktu itu. Yang punya obsesi pencinta alam. Kalau saja mereka meminta pendapatku maka kegiatan reuni yang akan kurancang adalah tidak ada reuni sama sekali.
Lihat, indahnya pantai yang terbentang diluar teras kamarku ini.
"iya sayang. Papa udah nyampe. Kamu udah makan siang?" aku berpaling ke teras sebelah kamarku. Mendapati Gilang yang sedang bersandar di pagar teras sambil menelpon. Tunggu, apa dia perlu menelpon tanpa memakai baju seperti itu?
Tanpa memperdulikan aku yang hanya berjarak setengah meter darinya, Gilang lanjut menanyakan banyak hal. Berulang kali dia harus mengulang pertanyaannya karena tak mendapatkan jawaban. Sampai akhirnya aku melihat dia menjauhkan telp.
"Hany, jangan teriak begitu."
Aku tertawa. Mungkin cukup kencang karena Gilang melihat. Tak lama kemudian dia menyebutkan namaku. setelah itu menutup telp.
"ada yang lucu?" tanyanya sambil mendekat ke arah terasku. Aku merapikan rambutku yang diterbangkan tak karuan oleh angin.
"aku udah bilang kalau Hany pesan, kamu jangan sering nelp dia?" Hany memintaku berjanji sebelum berangkat tadi. Aku rasa dia mendengarnya waktu itu.
Gilang tertawa. "kamu bukan seorang ayah Jade."
Aku mengangguk. "ya, mungkin kesamaan aku sama Hany. kami sama-sama korban ayah yang posesif." Setelah mengatakan itu, aku malah tertawa.
Papa membesarkanku sendiri. Karena nenek tak menyetujui pernikahannya, papa tak punya siapa-siapa untuk merawatku. Aku besar diantara perjuangan bisnis papa. Dari menghadiri rapat diwarung bakso, hingga di ruangan seluas lapangan bola. Tak heran papa akan gila kalau aku diluar jangkauan.
"kamu tahu. Kamu benar-benar berbeda kalau tersenyum apalagi tertawa." Aku menengok. Mendapati Gilang yang sedang memandangku. Lalu tiba-tiba saja tawaku hilang.
"kamu gak kenal aku Gilang." Aku rasa itu jawaban yang tepat. Dia baru mengenalku 2 minggu. Siapa dia menilaiku. Saat aku menengok, lagi-lagi dia sedang memandangku. "you figure staring is not polite, right?"
Dia tertawa. "i'm not staring. I'm looking continously."
Sekali lagi. Aku harus menahan rambut dari mengembang seperti medusa. Mungkin sebaiknya ku potong pendek? Hmmm... patut dipertimbangkan.
"kamu itu terlalu serius Jade. Terlalu banyak yang kamu pertimbangkan." Aku kira pembicaraan analisa kami sudah selesai. Tapi sepertinya tidak. Dia mengatakannya tanpa memandangku. Membuatku bebas looking continously ke muka cakepnya. Apa? Tidak. Kenapa lagi-lagi aku memuji wajah itu? Ingat Jade, wajah itu tak sebegitu cakepnya lagi waktu kamu membentak Hany.
Aku mengangguk. Dia toh bukan orang pertama yang mengatakan aku terlalu serius. "some people need to take life seriously, Gilang."
Dia bergeser agar lebih dekat kearahku. "but it doesnt meant that you cant live it up."
Aku menengok. Dia mau bilang hidupku membosankan kan?
"i am. Living it up." Dia menggeleng mendengar jawabanku. Apa caraku hidup bukan menikmati hidup? Semua orang sepertinya tak setuju dengan caraku menikmati hidup.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey of Miss What (completed)
RomanceWHAT? Di umur 18 tahun, aku seorang master akuntansi lulusan universitas ternama Inggris. 2 tahun setelah itu, sekarang, aku seorang wanita karir dengan aktifitas yang serba teratur. Seperti, aku bangun dijam setengah 5 pagi dan jam 7 aku siap beran...