Chapter 37

1.7K 93 0
                                    

"what?!" aku menempelkan hape ke bahu sambil berusaha menyetir. "Na, jangan panik. Ngomongnya pelan-pelan. Aku gak bisa ngerti kalau kamu ngomong berebutan gitu."

Terdengar lagi suara Diana yang antara berusaha mengatakan sesuatu dan menenangkan dirinya sekalian. Dia asissten yang hebat tapi dia bisa benar-benar tak terkendali saat panik. Seperti sekarang. Aku berusaha menenangkannya dan mengurutkan apa yang coba dikatakannya—bukan hal mudah. Sekaligus, berusaha menyetir tanpa menabrak.

"kamu bakar mesin kopi?!" Diana menjerit kencang. Lalu mengulang lagi penjelasannya. Dengan nada yang lebih teratur. Mungkin sudah lebih tenang sekarang.

"what?" dia bilang apa barusan?

Priiiittttt.....!!!

Apa Diana bisa bicara lebih jelas? Mengingat dia menelponku saat jelas tahu aku sedang dijalan jelas seharusnya masalah penting. Meski terkadang dia tak bisa membedakan mana yang penting dan bukan. Tapi bisa saja kali ini mungkin ikas mas kokinya yang dipantry mati.

Ciiiiittttt....!!!

Ya tuhan. Apa itu?

Aku banting stir mendadak ke samping dan berhenti dengan sempurna 1 senti sebelum menabrak trotoar. Apa-apaan?!! Mobil polisi yang berhenti mendadak di depan ku itu jelas berusaha membunuhku. Apa yang dilakukannya?

Dengan telp yang masih menempel di telinga aku turun. Bersamaan dengan petugas yang juga turun berniat menghampiri mobilku.

"bapak gak bisa nyetir?! Kenapa berhenti mendadak di depa..."

Woah. Pandanganku langsung terpaku pada seorang polisi yang berjalan lebih di depan dari rekannya. Kami saling pandang beberapa saat. Dia mengingatku dan aku juga mengingatnya. Tapi, dia polisi?

"selamat pagi." Ucap rekannya yang sudah menyusul. Sementara polisi satunya sedang memandangiku dengan seksama.

Secara sambil lalu penjelasan polisi itu terdengar olehku. Aku melibas lampu merah. Mereka membunyikan peluit. Aku tak berhenti. Hingga mereka perlu menyusulku dengan mobil patroli lalu lintas. Sementara pandanganku sepenuhnya masih terpaku dengan polisi yang sedang memandangiku itu.

"kamu tunggu di mobil. Saya yang akan urus ini." Rekannya terpaku sebentar. Tapi kemudian mengangguk hormat kembali ke mobilnya.

Lalu, dia memberiku seluruh perhatian. "selamat pagi."

Dia mengulang sapaan rekanya dengan ramah.

Lucu. Ini tak mungkin dia. Maksudku, ini tak mungkin cowok yang sama dengan yang berpesta semalaman bersamaku di bali kan?

"kamu.. polisi?" tanyaku pelan sambil memperhatikan sebaik mungkin mukanya. Aku terbiasa melupakan hal yang menurutku tak penting. Tapi, aku yakin ini dia. Berbeda denganku, dia sadar dari rasa kaget dengan cepat. Karena dia sudah memberiku senyum petugas kepolisan sekarang. Sementara aku masih berusaha mencerna. Dia polisi?

Dia menggiringku kembali ke mobil.

"bisa tolong perlihatkan SIM dan STNKnya bu?" Apa? Aku bengong.

Dengan masih berusaha mencerna informasi, aku berangsur mencari tas dan menggapai dompet. Dia minta apa tadi? SIM dan STNK?

Dia menerima SIM dan STNK ku dengan sikap hormat berlebihan. Ini lucu. apa dia ingat aku nyaris menciumnya di pantai? Argh. Sungguh. Apa kesalahanku akhir-akhir ini?

"Jadica? Nama yang bagus." Sambil mengatakan itu, dia bersiap menuliskannya. Tapi dengan sigap tanganku menutupi kertas yang akan ditulisinya.

"tunggu. Kamu benaran bakal nilang aku?" dia akan menilangku? Sebagai jawaban, dia mengangguk sementara tangannya menyingkirkan tanganku dari atas kertasnya. Dia benar akan menilangku? Tanganku kembali menutupi berkas.

"kamu ingat aku kan?" sekali lagi. Dia mengangguk. "benarkan ingat?"

Kali ini dia mengalihkan pandangan dari kertas yang ditulisinya.

"ibu Jadica." ucapnya lantang. "Senang akhirnya bisa tahu nama ibu." Tambahnya dengan nada ramah. Lalu kembali memberiku senyum manis. Senyum manis yang selalu diberikannya padaku selama di Bali. Aku melihat nama yang tertera di bajunya. Daniel. Namanya bagus.

Lalu aku tersentak saat jeritan Diana terdengar dari hape. Sial. Dia masih menelponku? Dengan kesal aku mematikan telp dan menjejalkannya ke kantong blazer. Saat mendongak, mata Daniel mengikuti tanganku yang tadinya memegang hape.

"oke. Bisa saya lihat, handphone ibu tidak hilang." Dia mengangguk-angguk sambil mencorat-coret kertas di papannya. apa hapeku harusnya hilang?

"melanggar lampu merah, menggunakan telp sambil berkendara. 2 pasal. Ini surat tilangnya. Selamat pagi." Sambil mengatakan itu, dia mengembalikan SIM, menahan STNK dan memberiku surat tilang. Dia benar akan menilangku?

Tunggu! Aku mengejar dan melompat berdiri di menghadangnya.

"apa ini gak bisa di selesaikan secara damai?" dengan itu, aku memberinya pandangan memelas. Mendengar pertanyaanku, dia menggeleng-geleng sok penting. Dan bertanya apa maksud pertanyaanku barusan. "maksud aku, gak bisa ini diselesaikan disini aja pak?"

Dia memandangiku. "caranya?"

Apa? Caranya? Baik. Aku tak tahu. Ini pertama kalinya aku di tilang. "pake uang?" tanyaku pelan. Apa aku perlu mengatakannya segamplang ini? Tapi dengan ajaib, dia mengangguk mengerti. Dia setuju?!

"melanggar lampu merah. Menelpon sambil berkendara dan berusaha menyuap aparat?" katanya sambil menghela nafas memandangiku. Aku melotot. Dimana pandangan penuh pengertiannya tadi? Dia memberiku pandangan pengertian beberapa saat tadi.

"what?" aku menarik nafas perlahan. Kepalaku langsung nyut-nyutan. "apa kamu sengaja bikin ini sulit?"

"silahkan datang ke persidangan ibu Jadica. selamat pagi." Dia berjalan melintasiku dan kembali ke mobilnya. Sekali lagi, aku mengejar dan menghadang di depannya. Lebih tepat dikatakan. Aku berdiri antara dia dan pegangan pintu mobil. Tak percaya dia menilangku. Dia memujiku cantik sepanjang malam di bali. Kenapa bisa di menilangku?

"kamu benaran gak cabut surat tilang?" Dia menarik lengannya yang kutahan. Kemudian menggeserku dari depan pintu mobilnya.

"ibu punya kesempatan biar semua ini tidak terjadi. Tapi ibu mengabaikannya." Dia bilang apa? Aku menggeleng tak mengerti. Dia menghela nafas.

"sejak pulang dari bali, saya menunggu dan ibu tidak menelp. Dugaan pertama, mungkin ibu kehilangan handphone. Ternyata tidak. Dugaan kedua, ibu melupakan saya. Ternyata tidak. Jadi, ya, ibu menyia-nyiakan kesempatan dengan tidak menelpon."

Mungkin aku terlalu lama kaget. Soalnya, polisi itu merasa perlu untuk menjentikkan jarinya di depan mukaku. Di tengah ramainya lalu lintas pagi, aku termanggu memandangi polisi yang baru saja mengatakan hal paling absurd yang bisa kubayangkan.

Dia menilangku karena aku tak menelponnya? Apa ini? Sinetron?

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang