Chapter 32

1.9K 95 0
                                    


Gilang melipat tangannya diatas mejaku dengan rapi. Agak tak terlalu pantas kurasa. Dengan wajah segarnya, dia terlihat terhimpit diantara layar monitor dan tumpukan berkasku dan tumpukan berkas diantara kami—yang tadinya menjadi bantalku.

"kamu tahu jam berapa sekarang?' Aku mundur bersandar di kursi dan melipat tanganku di dada. Aku benci dia begitu harum sementara aku begitu kumal. Dia sudah pulang ke rumah. Kenapa balik lagi ke kantor?

"aku gak perduli jam berapa sekarang." Aku tak perduli. Kenapa dia harus peduli? Kenapa dia selalu terlihat peduli? Kenapa?

"jam 2 pagi." Dia menjawabnya sendiri sambil memandangiku. Kumohon. Hentikan pandang memandang ini. Ah. Tiba-tiba saja oksigen seperti tak masuk lewat ventilasi. Siapa yang menutup ventilasi? Oke. Ventilasi itu sama sekali tak tertutup.

"jam berapa kamu mau pulang?"

Aku memandangnya dari balik kacamataku. "kamu kesini buat tahu aku bakalan disini sampai senin apa gak? Atau ngasih tahu aku jam berapa? Atau mau tahu kapan aku balik?" dia baru akan membuka mulut, aku menyelanya. "yang bakal aku jawab, bukan urusan kamu."

"aku kesini buat jemput kamu balik." Ucapnya setelah beberapa saat. Dan untuk yang satu ini? Aku nyaris jatuh dari kursi. Kenapa dia melakukan ini padaku? Kenapa?

Gilang tertawa kecil melihat mataku yang terbelalak. Sekarang, aku mulai cemas. Apa aku sedang bermimpi? Aku melirik jam ditanganku dan melihat, kalau sekarang baru lewat jam 2 pagi. Apa mungkin... ini hantu? Akhirnya ada hantu yang berani muncul di jam lemburku. Diana sering mengatakan ada hantu yang bergentayangan di kantor. Aku tak tahu kalau hantu itu begitu mirip dengan Gilang. Pantas dia tak pernah muncul walau aku lembur setiap malam.

"aku bukan hantu Jade." dia hantu. "i'm not. Pak richard coba nelp kamu dan gak diangkat. Mungkin setelah berapa kali nyoba, kamu angkat telp aku dan kamu cuma bilang halo. Dia langsung bilang kalau kamu masih di kantor."

Aku menghela nafas."jadi, kamu kesini karena disuruh papa? Aku bisa pulang sendiri." seharusnya dengan keberadaan Hany, papa sadar kalau aku sudah besar. Dia tak perlu memeriksa tempat tidurku setiap malam. Aku bebas untuk pulang atau tidak pulang sama sekali. Lagi pula, dia tahu aku selalu di kantor. Bukannya karena itu papa punya nomor hape penjaga gedung? Karena dia ingin memastikan anak semata wayangnya ini tak akan hilang di telan hantu lift.

Kenapa aku begitu banyak menyebut hantu?

"Hany suka sekali boneka yang kamu kasih." Tanganku yang sedang merapikan barang berhenti. Aku memandangnya. Dia kesini karena aku memberikan boneka beruang untuk anaknya?

"kamu tahu kan itu boneka bekas?"

Tak enak dengan kestabilan emosi Hany yang begitu labil, aku memberinya boneka beruang yang ada di kamarku. Satu-satunya yang membuatku berpikir mama belum melupakanku adalah boneka beruang yang selalu di kirimnya setiap aku merayakan ulang tahun. Sudah 20 buah sekarang. Dan aku benci boneka.

Aku membencinya seperti aku membenci... membenci... argh. Aku benci banyak hal. Demi menjaga perasaan papalah aku tak membuangnya. Meski aku menelponnya dan mengingatkan berulang kali kalau aku sudah besar dan boneka benda terakhir yang mungkin aku inginkan. Mama mengiyakan dan kembali mengirimiku boneka.

Jadi, mewariskan semua boneka itu pada Hany sebenarnya kata halus dari membuangnya. Aku sudah ingin membuang semua boneka-boneka itu tapi bik lin—pengurus rumah kami—bilang, ada baiknya aku bertanya pada Hany apa dia mau. Tentu saja Hany mau. Aku seperti memberinya harta karun.

"kamu gak perlu ke kantor aku jam 2 pagi Cuma buat ngucapin terima kasih." Bukannya kita serumah? Dia punya banyak waktu kalau sekedar untuk itu.

Gilang memandangku. "mungkin. Itu kalau kamu gak ngindarin aku setiap saat." Tanganku menggenggam kunci mobil dengan erat. Jadi kuanggap dia sadar aku berusaha menghindarinya. Aku bukan menghindarinya. Aku hanya menjaga jarak.

Demi kebaikan semuanya. Aku perlu menjauhi Gilang.

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang