Chapter 10

2.7K 128 0
                                    



Aku pantang menangis. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali aku menangis. Tapi sungguh. Sekarang rasanya aku ingin menangis. Semakin menyadari apa yang terjadi, aku benar-benar ingin menangis. Kenapa ini terjadi? Apa aku sudah melakukan kesalahan yang begitu buruk tuhan?

Kenapa tiba-tiba dunia ku terbalik seperti ini?

Kenapa?

Aku wanita karir dengan masa depan begitu cerah. Mungkin aku tak cantik tapi aku kaya raya. Biarpun tak cukup hingga 7 turunan, tak masalah. Papa Cuma punya satu keturunan dan aku belum tentu membuat generasi baru. Lalu, kenapa aku harus mengalami ini semua? Kemana masa depan cemerlangku tadi?

Yang kulakukan adalah, mengomeli diriku sendiri di depan laptop, diantara tumpukan berkas yang kubawa pulang. Ya. Aku sedang mengasihani diriku sendiri. Juga berusaha menyadarkannya. Maksudku, kenapa mataku malah bolak balik memandangi belakang kepala Gilang yang sedang menonton TV dari pada memperhatikan neraca keuangan yang tepat didepan hidungku ini?

Ini benar-benar terjadi dan aku sungguh sangat kecewa pada diriku sendiri. Akhirnya, gagal membuat diriku berpikiran normal, aku menghantamkan kepalaku ke meja. Meski sakit, aku tak bergerak. Sudah sewajarnya kepalaku membentur sesuatu. Otakku tak berfungsi dengan baik hari ini.

Untuk apa aku memperhatikan Gilang?

Ini semua karena makan siang konyol itu dan Diana. Iya. Rasanya aku merasa lebih baik kalau mengatakan dia turut andil. Maksudku, sepanjang hari, setiap dia masuk keruaanganku—sambil membanting pintu—tentu saja, dia bercerita tentang Gilang. Setahuku bosnya itu aku tapi dia jelas menaruh seluruh perhatiannya pada Gilang.

Bagaimana cara kadep operasional itu memandang? Bagaimana kerennya rambut kadep operasional itu? Senyumnya yang luar biasa. Bahkan dia tahu kalau Gilang menyukai kopinya dengan susu. Tebakanku benar, Diana tahu jenis kopi kesukaan Gilang di hari pertama pria itu kerja.

Dia menjeritkan itu saat pamit akan pulang tadi sore. Entah bagaimana dia tahu. Setahuku departemen rekrutmen sekalipun tak akan menanyakan detail kopi kesukaan saat merekrut seseorang. Mereka tak menanyakan itu padaku dulu atau ini perlakuan khusus untuk Gilang?

Mereka begitu saja mengabaikan fakta bahwa Gilang duda yang baru saja bercerai. Ya, fakta itu lewat begitu saja. Fakta kalau anaknya itu menyebalkan minta ampun juga lewat. Apalagi fakta kucing bermata jahat itu. Lewat sama sekali. Semuanya tertutup senyum hangat Gilang saat memperkenalkan diri.

Jadica. lihat laporan marketing itu. Kembalikan matamu ke berkas!

Maka, aku benar-benar lega saat suara ribut papa dan Hany tiba-tiba muncul dari pintu depan. Dan dua orang ini, menjadi kasus yang perlu kuperhatikan lagi. Mereka baru saja pulang dari makan malam setelah sebelumnya ke taman hiburan sepanjang sore.

1. Papa tak pernah mengajakku ke taman hiburan.

2. Dia baru mengenal Hany beberapa hari.

3. Dia bahkan ke taman hiburan di hari senin. Senin.

4. Papa tak pernah mengajakku ke taman hiburan.

5. Papaku terlihat sangat bahagia.

2 orang itu tertawa gembira dari garasi hingga muncul di ruang tengah. Hany langsung berlari memeluk Gilang begitu masuk. Sementara papa yang memakai topeng—aku tak tahu tokoh kartun apa—langsung bergaya didepanku. Mengatakan sesuatu. Tapi karena saking semangatnya dia, aku tak tahu dia sedang berusaha mengatakan apa. Aku hanya terbengong dari balik kacamataku. Apa ini benar papa?

Papaku histeria. Dia benar-benar gembira. Selama ini menurutku dia memasang wajah ceria untuk menularkan keceriaan itu padaku—tapi gagal dengan menyedihkan. Meski gagal, papa pantang menyerah. Tapi hari ini, dia benar-benar gembira. Dan kegembiraannya itu, karena Hany.

Saat aku mengalihkan padangan, pandanganku bertemu dengan Gilang. Sepertinya dia melihat aku yang baru saja terpatung memandangi pasangan super gembira di depan kami itu. Aku bisa membaca kalau dia baru saja membaca apa yang kupikirkan. Alisnya terangkat sebelah dan dia menahan senyum. Aku juga mengangkat sebelah alisku dan lalu mendengus mengalihkan pandangan.

Bisa dia berhenti bertingkah sok tahu?

"kak jadica, I bought you something." Hany langsung naik ke sofa sampingku dan menjejalkan sesuatu ke mukaku. Jangan panggil aku kakak!!

Ingin sekali aku mendorongnya. Dia bisa menunjukkan sesuatu tapi apa perlu menempelkannya di mukaku? Aku tak suka berdekatan dengan seseorang. Terlebih lagi anak yang baru saja menghabiskan harinya dengan keliling taman hiburan. Aku rindu malam-malanku yang sepi sunyi dan damai.

"what?"

"Tadaa...!!" katanya semangat. Lalu sebuah gantungan kunci berbentuk bunga matahari dipajang tepat di depan hidungku. Bukan berarti aku langsung mengenali itu apa karena dia menempelkannya di depan hidungku. Aku menarik benda itu dari mukaku untuk mengenalinya.

"opa bilang kakak suka bunga matahari. Terus, kita lihat gantungan ini. Imut banget kan?!" lagi-lagi, dia menjerit. "lihat, aku beli juga."

Yang terlintas dikepalaku pertama kali adalah, apa dia benar-benar hidup? Karena aku sempat mengira dia monyet liar yang lepas dari kebun binatang. Mukanya bersemu merah karena sangat gembira. Setelah menghela nafas, aku mengambil gantungan yang disodorkannya.

"jangang pernah panggil aku kakak." Aku menaruh gantungan itu diatas meja dan mengambil berkasku. Saat itulah kau merasakan sikutan kencang di sikuku. Papa seharusnya punya alasan yang kuat melakukan ini. "apa?"

"its not the way to talk to a kid." Dia menarik Hany kedalam pelukannya.

"it is." Tidak bisakah mereka semua meninggalkanku? Mata Hany terlihat akan menangis sebentar lagi, dia memegang gantungan tangan yang sama denganku itu dengan erat dengan muka siap hujan badai. "aku bakal terima gantungan ini kalau kamu berhenti panggil aku kakak."

Aku bukan bertanya. Tapi aku mengultimatumnya. Papa memplototiku dan aku balas memplototinya. Hany melihat kepapanya dan aku, malah ikut melihat ke Gilang. Dia, sedang melihatku.

"deal." Jawabnya pelan sambil mengambil gantungang itu dari meja dan memberikannya padaku. "kalau kamu pasang ini dihandphone, aku bakal minta bunny biar gak manggil kamu kakak lagi."

Aku seperti, bunuh saja aku. Sekarang!

Papa terbahak dibelakang ku dan begitu juga Gilang. Sementara aku hanya terpaku ditempatku sambil mengurutkan semua hal buruk yang terjadi selama hidupku dan tak bisa menemukan mana yang lebih buruk dari ini.

"deal." Aku mengambil gantungan itu dan akan membuangnya disuatu tempat setelah ini. Namun yang mengagetkanku adalah saat boca itu malah melompat memelukku sambil bilang kalau ini, thankyouhug. Dengan gesit aku menahan kepalanya dan mendorongnya hingga satu meter dariku dan aku yakin, wajahku terlihat sangat horor. Apa yang baru saja dilakukannya?


The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang