Papa menyambarku saat aku sudah menjerit tak jelas pada gangang telp dan menjelaskan kalau aku tak salah rumah dan tak ada pencuri yang masuk. Hingga butuh beberapa waktu sampai aku sadar dan bisa duduk disofa ruang tamu dan menghadapai pencuri—maksudku, tamu kami. Seorang pria. Anak kecil. Juga kucing. Dan 2 koper besar.
Seseorang perlu menjelaskan semua ini sebelum aku menelpon polisi.
"papa tadinya mau ngasih tahu kamu tadi pagi. Tapi kamu udah keburu kabur. Papa juga udah coba telp kamu tapi kamu gak mau angkat. Jadi, sekarang..." aku memplototi papa. Kalau dia berniat membuat pidato pembukaan sekarang, dia sudah sangat terlambat. Dia seharusnya melakukan itu sebelum aku menghantamkan salah satu anggota badanku ke marmer yang keras.
"jadi, ini anaknya Heriansyah. Teman papa. Inget kan? Namanya Gilang. Dia bakal jadi kadep operasional kamu untuk sementara ini sampai kita ketemu yang baru. Berhubung dia gak lama, jadi papa pikir tanggung kalau mesti sewa rumah. Lagi pula, kita banyak kamar kosong. Makanya, papa ajak tinggal sama kita. Kamu gak keberatan kan?"
Kadep operasional baru. Bersama anaknya. Akan tinggal disini untuk sementara waktu? Juga, kucingnya. Si kucing ikut memplototiku. Dengan ekornya yang berbulu luar biasa lebat, dia menggerakkannya kekiri dan kekanan. Seperti mengulang pertanyaan papa dengan gerakan ekornya itu.
Apa aku keberatan? Aku, keberatan.
Jadi bagaimana? Papa akan mengusir pria dan anaknya ini malam ini, saat ini juga? Termasuk kucing berbulu super lebat itu. Atau papa akan menunggu hingga besok pagi? Atau, dia basa basi bertanya? Dia hanya basa basi bertanya.
"aku gak peduli." Dengan begitu aku melipat tangan didada dan mengangkat sebelah kakiku. Duduk seprofesional mungkin meski tulang pinggangku berderak. "aku Jadica."
Setelah semuanya menunggu jawabanku, sekarang mereka hanya terpana. Apa mereka tak sadar? Aku baru saja menyambut mereka.
"pa, ini kakaknya gak sopan ya." jelas sekali terdengar ketelingaku saat si anak kecil mengangkat tangannya untuk berbisik ke papanya. Sepertinya, dia baru saja membicarakanku. Maka aku berdiri dan memandangi semua orang sekali lagi satu persatu. Tapi diluar perkiraanku, tamu kami juga ikut berdiri. Pria itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
"Gilang." tanpa mengurangi senyumnya, dia terlihat sangat ramah dengan tangan yang menunggu kusambut.
Benar sekali. Meski tadi aku tak sepenuhnya sadar saat mengatakan dia tampan, aku serius sekarang, dia sangat tampan. Bahkan kutu buku gila kerja sepertikupun, tahu. Dia tinggi dengan rambut yang butuh potongan serta berantakan. Tapi matanya bersinar sangat cemerlang mengikuti keramahan senyumnya. Anaknya, jelas tak terlalu mirip dengannya. Karena berbeda jauh dengan nyanyian maskulin dari Gilang, anaknya, terlihat begitu ayu.
Tapi punya mata yang sama dan anaknya itu sedang menatapku. Juga kucingnya. Membuatku yakin, kalau sepertinya aku pernah mendapat tatapan setajam ini sebelumnya.
Aku menyambut tangan itu tapi tak menyebutkan namaku. "aku harap kita gak perlu basa-basi selain urusan kerja." Setelah itu aku melepas tangannya. Membuat papa tersedak disampingku. Dia buru-buru ikut berdiri dan melotot.
Apa? Aku baru saja mengatakan hal yang ingin kusampaikan dari tadi. Tak perduli kami bahkan satu kamar sekalipun, dia tak punya hak mencampuri kehidupanku lebih dari sekedar pekerjaan.
Meski terlihat terkejut, Gilang malah mengangguk sambil tetap tersenyum. membuatku beberapa saat tak suka. Aku tak suka dengan kerlingan matanya. Dia terlihat tak peduli dengan garis tegas yang baru saja kukatakan. Apa aku harus bilang kalau setidaknya, aku tak mungkin suka pada duda?
"oke. That's all." Aku berbalik akan pergi sambil menyambar sepatu hak tinggiku yang tadinya menghantam kepalaku saat manuver di tangga. Namun baru beberapa langkah, sesuatu mendadak muncul di depanku. Maksudku, manusia dan segumpal bola bulu. Anak kecil. Tepatnya. Bersama seekor kucing.
Dia terlihat kesal sekarang. Pipinya menggembung dan kuncir duanya yang tinggi sebelah itu, terlihat menegang seperti tersengat listrik. Aku menengok kekiri dan kekanan lalu yakin, dia baru saja menghadang jalanku. Mengabaikan sama sekali panggilan papanya. Satu tangannya memeluk si kucing dan satu lagi diacungkan padaku.
"nama aku Hany dan ini, bunny." Tangannya terulur dan tangan si kucing—atau kaki—juga terulur. "hai kak Jadica."
Aku diam sebentar memperhatikannya dan kuputuskan, dia menyia-nyiakan waktuku. Jadi, aku melintasinya tanpa menyambut uluran tangan. Tapi nyatanya, uluran tangan itu menangkap tanganku dan dia menggenggamnya dengan erat.
"lepaskan." Gumamku. Aku mengabaikan panggilan papa dan dia, juga mengabaikan panggilan papanya. Hanya tetap menggenggam tanganku sambil kembali menyebutkan nama. "lepaskan atau kamu bakal nyesal."
Aku bisa saja mendorongnya.
"nama kakak siapa?" dia tetap tak melepas tanganku. Malah menatapku makin berani. Dan saat itu, papanya sudah berdiri tepat dibelakang si anak kecil dan berusaha membujuknya. Dia tetap tak mau melepaskan sampai aku meyebutkan namaku. Sementara papa, sibuk minta maaf dan dia sendiri, sudah berdiri dibelakangku.
Aku bukan memperhatikan si anak kecil tapi papanya. Maksudku, Gilang. "aku gak suka anak kecil dan aku lebih gak suka lagi sama kucing. Bisa kamu pastiin dua benda ini gak bakal dekat-dekat aku?"
Mungkin terkejut. Dia melepas tanganku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey of Miss What (completed)
RomanceWHAT? Di umur 18 tahun, aku seorang master akuntansi lulusan universitas ternama Inggris. 2 tahun setelah itu, sekarang, aku seorang wanita karir dengan aktifitas yang serba teratur. Seperti, aku bangun dijam setengah 5 pagi dan jam 7 aku siap beran...