Chapter 17

2.1K 108 2
                                    

"kemana?" aku keluar kamar berbarengan dengan Gilang. Dia terlihat begitu santai dengan kaos polo dan celana gunung pendeknya. Belum lagi rambutnya itu. Damn. Diana benar. Cowok ini punya gaya rambut yang bagus.

Sekarang, aku yakin aku harus menampar diriku sendiri. Bisakah seseorang menjauhkan Gilang dari pandangan mataku? Karena beberapa syarafku terasa semakin lemah kalau harus melihatnya. Dan aku yakin, jatuh cinta pada Gilang bukan hal baik untuk terjadi. Kalian tahu kan? Aku punya perusahaan yang harus dijalankan. Err... Apa?

Oke. Syaraf mana yang goyang kali ini?

"Looks like?" jawabku seadanya.

"Dinner?" tanyanya. Aku mengangguk. Lalu aku melihatnya. Sebelum aku sempat menghentikan kebiasaanku, aku terlanjur melakukannya. Membenarkan kerah kaosnya yang tak terlipat. Kakiku begitu saja melangkah dan tanganku langsung terangkat. Gilang mundur selangkah tapi aku sudah menggapai kerahnya lebih dulu.

"kerahnya gak rapi." Aku melipat kerah itu ke posisi aslinya. Lihat. Jauh lebih sedap sekarang. Aku mundur dan melihat wajah terkejut Gilang. Tangannya langsung menuju kerah yang sudah kuperbaiki. Kabur Jadica.

Setelah itu aku langsung melangkah cepat ke lobi. Berhenti di pintu restoran saat penjaga pintunya menyapaku ramah. Aku hanya mengangguk.

"meja untuk dua orang?" wah, penjaga pintu itu cukup keren. Coba lihat dia saja Jadica. bersosialisasi. Apa? Kenapa aku harus ingat kata sosialisasi lagi? Sudah untung aku tak betemu korban sosialisasiku. Mengingat kami satu hotel.

"iya. Dua." Aku berbalik. Baru saja aku ingin mengatakan meja untuk satu orang. Siapa orang kedua? Gilang berdiri tepat dibelakangku. Dia tersenyum saat melihat wajah terkejutku. "kamu gak lupa kita liburan bareng kan?"

Apa itu artinya harus makan bareng juga?

"iya. Itu artinya makan bareng juga." Aku terbengong di pintu sampai Gilang memutuskan menarik tanganku dan membawaku mengikuti pelayan yang menunjukkan meja. Dia membawa kami ke meja yang berada diluar. Di pinggir kolam renang dengan lilin cantik diatas meja. Entah berapa kali aku harus terbengong.

Lagi-lagi aku terbengong. Untuk apa lilin itu diatas meja? dimakan?

Gilang mengucapkan terima kasih pada pelayan itu lalu menarikkan kursi untukku. Aku diam dan memutuskan untuk duduk. Begitu pelayan memberikan daftar menu, aku memesan semuanya.

"ohya, bisa lilinnya di pindahkan? Aku alergi asap." Kalian tahu? Makananku tak akan muat kalau harus menyisakan ruang untuk lilin tak penting itu. Lagi pula, untuk apa lilin kalau bukan karena mati lampu?

Pelayan itu mengiyakan tapi sebelumnya butuh waktu beberapa detik mencerna permintaanku. Begitu pelayan itu pergi, Gilang melotot padaku.

"kamu pesan sebanyak itu buat apa?" tanyanya. Aku lapar. Banyak apa? Aku hanya memesan seafood. Semua menu seafood.

"aku bakal bayar tagihanku sendiri." Kali ini, bola mata Gilang nyaris keluar dan menggelinding ke kolam renang. Dia memandangku beberapa saat. Aku mengabaikannya dengan memperhatikan pola bintang-bintang kecil yang ada di taplak meja.

"Jadica." aku mendongak. Mendapati wajah Gilang yang sepertinya setengah kesal. Aku mengangkat alisku. Menunggu dia mengatakan sesuatu. Tapi sepertinya dia menahannya saat pelayan membisikkan permisi menaruh makanan pesanan kami.

Uwaaahh. Aku bisa mati dan tak perduli kalau masuk neraka. Lihat makanan-makanan ini. Pelayan itu membalas senyumku dengan gembira saat aku mencicit berterima kasih begitu semua hidangan sudah mendarat dengan selamat diatas meja.

"kamu yakin bakal habis?" Gilang ngeri melihat makananku. Aku lega sudah menggulung rambutku menjadi cepol dan terusan lengan pendek yang kupakai. Betapa bebasnya aku melahap semua ini?

Watch me.

Tanpa bahan obrolan. Aku fokus makan. 5 menit pertama aku melahap lobster. 5 menit kemudian, aku mengunyah sate cumi sambil melihat sms masuk dari papa—mengingatkanku makan malam. 5 menit selanjutnya, aku sedang berusaha menggigit capit kepiting. Aku senang sudah memesan semua menu ini.

Saat aku mengangkat kepala, Gilang sedang memperhatikanku.

"what?"

Dia menggeleng. "kamu benar-benar makan banyak ya. Dikemanain semua yang kamu makan kalau badan kamu sekurus ini?" aku tertawa. Moodku selalu baik saat makan.

"hmm.. bumbu kepitingnya enak. Pedes." Aku menjilat jariku tanpa menggubris Gilang. Sampai sebuah tangan dengan sarbet muncul mengelap sekeliling mulutku yang belepotan saos kepiting. Aku mengambil sarbet dari tangan Gilang.

"aku bisa sendiri." Sergahku. Apa dia perlu memperlakukanku seperti anaknya?

Tak merasa tersinggung. Gilang menunjukku salah satu bagian pipiku. Sepertinya masih tersisa. Memangnya bagaimana aku memakan kepiting itu tadi?

"disini?" aku mengelap kearah yang ditunjuknya. Dia menggeleng. Lebih kekiri. Lebih kekanan. Agak keatas. "kamu bohong?"

Putus asa. Gilang mengambil sarbet itu kembali dari tanganku dan mengelap sudut sebelah kiri pipiku.

"lihat, kamu gak bisa sendiri." Kemudian dia tertawa kecil. "Jadica, Jadica...."

Aku menarik nafas. "aku ke toilet dulu."

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang