Chapter 49 - end

3.4K 92 1
                                    

Diana sialan.

"hi Cathy! Looks great this morning."

Cathy. Pemilik toko bunga di depan apartemen kami membalas lambaianku dengan semangat. Aku juga memberinya senyum lebar sebelum merapatkan syal dan melaju ke ujung jalan untuk mengejar kereta bawah tanah.

Tahu apa yang aku lakukan?

Diana berhasil membujuk temannya untuk meminjamkan dia hardcopy proposal dan kemudian dia memilih untuk sakit perut bulanan. Tahu kelanjutannya? Tentu. Dia mengirimku. Dia berjanji akan mengerjakan semua pekerjaan rumah selama seminggu dan aku bilang aku bisa mengerjakannya sendiri. Hingga akhirnya dia putus asa dan menangis. Benar. Anak itu menangis. Bukannya dia bisa minta scan email? Atau bisa mengganti hari?

Diana bilang ini adalah kesempatan satu-satuanya dan dia ingin contoh proposal itu sore ini juga. Lihat. Dia bahkan tak malu mengatakan itu padaku disaat dia jelas-jelas minta tolong.

"teman kuliah aku itu benaran cakep bos. Gak bakal rugi kalau bos ketemu dia. Ntar sekalian aja gebet. Ajak nonton atau ke bar. Kemana aja. Ini kan juga Saturday nite!" dia memberikan nada yang begitu ceria untuk ukuran orang yang duduk dengan posisi kepala di bawah.

"what? Kamu bikin aku gak mau pergi sama sekali." aku melempar lagi mantelku ke kursi. Aku tak akan keluar. Biarpun salju tak sedang turun dan musim salju adalah favoritku, aku punya novel yang ingin selesai kubaca sore ini.

Diana menangis.

Itulah yang membuatku terduduk di kereta dan menikmati setiap menit ku disini dengan mengutuk Diana. Aku punya 30 menit untuk mengutuknya. Lagi pula. Siapa yang memilih bertemu di persimpangan jalan paling ramai di newyork?! Dia meminjam proposal pada siapa? Polisi lalu lintas?!

Begitu turun di stasiun aku tak tega saat melihat seorang anak kecil yang menjaga stand bunga kecil di sudut depan stasiun.

"hellow sweetheart. Give me a bucket please?" dia bertanya bunga apa yang kumau. "you choose."

Sambil tertawa kecil dia memberiku bucket bunga matahari. Bunga matahari?

"because your smile is so warming."

"thanks."

Anak ini pasti tak tahu kalau aku akan keberatan membawa bunga ini. Kenapa dia tak memberi mawar? Aku mungkin akan bisa memasukannya ke dalam tas.

Pelan tapi pasti, aku tiba di persimpangan lampu merah dan melihat jam. Tepat disaat seharusnya teman Diana muncul di seberang jalan.

"Diana. Aku udah tepat disamping lampu merah. Mana teman kamu?"

Diana mengomeliku dengan bilang, aku seharusnya mengucapkan salam dulu sebelum mengatakan apapun. saat kubilang, aku akan pulang saja, dia langsung berubah ramah.

"tunggu bos. 5 detik lagi."

Apa dia bilang?

"5... 4... 3.. 2... 1. Bos, lihat ke iklan yang ada di seberang jalan."

"apa?"

"lihat aja dulu...."

Anak ini sedang mempermainkanku? Kalau iya aku tak akan melepaskannya. Tanpa menutup telp, aku memandang ke seberang jalan dan melihat ke layar iklan besar yang tepat di depanku.

Dan aku melihat mukaku.

What?

Aku yang baru saja membuka pintu apartemen. Memberi lambaian ceria pada pemilik toko bunga di depan apartemen. Aku yang menyapa tukang hot dogs saat baru akan masuk stasiun. Aku yang tertawa saat mendengar lelucon seorang cowok di gerbong. Aku yang tersenyum senang sambil memeluk bunga matahari yang baru saja kubeli. Kemudian, aku yang sedang berdiri di samping lampu merah.

"excuse me, is that really you?" seorang ibu muda di sebelahku menyapa. Dia dan beberapa orang yang ada di sekitar ku berdiri. Juga semua orang yang melihat apa yang ditayangkan layar tersebut.

Sementara, gambarku yang diambil dari belakang itu semakin jelas semakin jelas. Hingga akhirnya aku berbalik membelakangi layar dan mendapati layar handycam yang tak jauh di depanku.

"hai Jade."

Gilang melambai dari balik handycam.

Apa?

"aku menepati janji." Katanya.

Belum lagi aku tersadar.. seseorang sudah menubrukku.

"jadicaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!!! I miss you!!"

"Hany?"

Gadis kecil itu mendongak. "we're taking you home."

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang