Chapter 39

1.8K 90 0
                                    


Diana terlalu sibuk untuk melakukan semuanya. Jadi aku membawa sendiri semua berkas yang akan ku foto copy kelantai bawah. Mengingat, foto copy dilantai kami baru akan diperbaiki siang ini.

"hai Jade." Aku yang tadinya fokus setengah mati memfotocopy, menengok. Dan mendapati Peter, si kadep IT yang terhormat. Tentu dia akan beredar disini, ini lantainya. Aku hanya mengangguk dan kembali memfotocopy.

"sibuk?" tanyanya.

Apa itu perlu ditanyakan saat sebenarnya bisa dilihat? Lagi-lagi, aku mengangguk. Menurutku, dia tak harusnya duduk tak jauh dari tempatku menyusun berkas. Tapi, dia duduk disana. Sok tertarik melihat berkasku. "kenapa gak minta tolong fotocopy sama Diana atau yang lain? Masa direkturnya sendiri yang turun fotocopy?"

Aku menumpuk berkas terakhir yang kufotocopy. Menjepret dan menumpuknya dengan yang lain. Baru membagi perhatianku pada Peter.

"kamu kayaknya gak ada kerjaan sampai kepala departemen punya waktu luang buat patroli ke mesin fotocopy." Dia menyusun berkasku yang disampingnya lalu malah membawanya. "tunggu. Mau dibawa kemana?"

Aku menyusulnya yang melarikan berkasku sambil terburu-buru mengumpulkan berkas yang lain. Mau apa cowok itu?! Sumpah mati aku ingin memanggilnya. Tapi pandangan beberapa cowok yang mejanya tak jauh dari mesin fotocopy, menahanku melakukannya. Ya, berbeda dengan lantaiku yang penuh dengan cewek. Lantai IT di dominasi cowok.

Peter sialan. Mau apa dia?!

Saat aku berhasil menyusulnya, dia sudah menungguku di pintu lift. Memberiku senyum nakalnya melihatku ngos-ngosan mengejar. Apa dia gila?

"kembalikan." Perintahku setelah berhasil mengatur nafas. Lari dengan hak 9cm selalu bukan hal terbaik untuk dilakukan. Pilihan yang lebih baik diambil adalah melepas sepatu. Tapi bayangkan mata semua cewek itu melihatku mengejar kadep favorit mereka ini tanpa sepatu. "aku bisa bawa sendiri Peter."

Peter mendecak mencela nada bicaraku. Aku menahan nafas berusaha menahan emosi. Dia tahu apa yang terjadi karena dia tertawa sekarang.

"ish. Kesalnye. Tak baik gadis cantik kesal tu. Bikin wajahnye tak sedap di pandang." Dia memain-mainkan alisnya padaku. "smile up Jade. Kubantu bawa berkas keatas." Dia menunjuk dengan mulutnya pintu lift yang terbuka.

"gak lucu Peter. Kenapa kamu gak pernah dewasa. Kita bukan anak SMA lagi." Kecamku. Peter malah memberiku sikutan dengan cengiran bad boy kebanggaannya.

Aku pernah menyangka Peter punya otak yang tajam hingga bisa bertemu dengan ku lagi disini. Aku sempat tak mengenalinya saat pertama kali perkenalan di depan jajaran direksi. Tapi karena dia mengedipiku tak henti selama rapat itu, aku ingat siapa dia.

"ngomong-ngomong, kenapa kamu gak datang ke pesta kadep marketing? Kamu tahu aku nunggu kan?" dia memberiku tatapan sok sedih. Aku menunggu kapan Peter akan lebih dewasa. Seperti kata 2 karyawan di lift tadi, aku satu-satunya tak diundang karena tak mendapat broadcast message. Aku punya pengaturan sendiri untuk email. Tapi mereka pengetahuannya tak terpikir hingga, sebagai direksi, aku mendapat undangan resmi dalam bentuk kertas cetak cantik yang diikat pita rapi.

Dan Peter mengajakku datang bersamanya.

Membayangkan aku akan kepesta bersama Gilang. juga papa. Aku lebih memilih mengabdikan diriku dengan menemani Hany—yang entah menghapal apa—sementara aku sibuk mengawasi kucing salah nama—yang terlihat seperti ingin memakanku—karena paginya, aku menjepit dia secara tak sengaja di pintu geser teras. Aku tak lihat di disana! Tapi kucing salah nama itu sudah terlanjur tersinggung.

"oh ya? Nunggu. Tapi bukan itu yang aku dengar dari Diana. Katanya—wah. Heboh banget pesta pak kadep. Meriahnya luar biasa. Lihat cewek yang digandeng pak Peter?—dia gak bilang kamu kelihatan kayak sekedar nunggu."

"jade. Kamu tahu aku pintar berpura-pura. Aku Cuma pura-pura menikmati pesta padahal di dalam hati, aku sedih kamu gak datang." Dia menaruh tangannya di dada dengan ekpresi sedih. Aku muntah.

"ya, aku tahu banget kamu pintar berpura-pura. Seperti sekarang." Aku menarik berkas yang ditangannya tepat saat pintu lift terbuka.

"jadica! kamu lagi-lagi ngancurin hati aku." Teriaknya melow. Walau Peter menyebalkan. Dia cukup lucu. Sambil tertawa, aku mencibirnya dan berbalik kearah kantorku.

"wah. Fotocopy bisa segitu gembiranya bos?" Diana yang menyapaku lebih dulu sebelum aku mencapai papa dan Gilang. aku mengangkat kedua alisku. Bicara apa anak ini?

"what?" dia hanya mengangkat bahunya menahan tawa sambil mulutnya menunjuk-nunjuk lift.

"akhirnya, ngasih kesempatan ke kadep IT kita? Aku udah tebak, cepat atau lambat bos bakal luluh." Dia menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.

Makan siang apa anak ini? Aku yang baru saja habis di tilang oleh polisi konyol masih tetap bisa memakai akal sehat. Lalu, dia kenapa harus gila?

***

The Journey of Miss What (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang